Sabtu, 02 Maret 2013

Senin, 28 Januari 2013

UJUNG SEPTEMBER ‘’09, MEMBAWA PERUBAHAN DALAM HIDUPKU



UJUNG SEPTEMBER ‘’09,
MEMBAWA PERUBAHAN DALAM HIDUPKU
Oleh: Abdul Basir Langoday

Tak ada namanya kebetulan.
Dan apa yang kita ketahui sebagai sekedar kebetulan,
sebenarnya muncul dari sumber takdir yang terdalam...



Kutulis cerita ini, tatkala malam mulai hening dan kesepian merasuk diantara batas penantian yang kian merisaukan dan kenangan manis yag terukir di setiap perkenalan, membingkai harapan kepada cinta dan tentang cinta; refleksi kemerdekaan cinta yang tersemai.
Namaku Abdul Basirun Lela Langoday (ABL), anak terakhir dari empat bersaudara. Lahir di sebuah nusa kecil yaitu Lomblen namanya, yang kemudian menjadi Kabupaten Lembata sesuai dengan tuntutan administrasi.
Kakak sulungku hanya memiliki Ijazah SD. Ia merasa cukup dengan ijazah tersebut karena memaklumi kondisi ekonomi keluarga kami waktu itu. Mungkin juga ia merasa iba melihat susah - payahnya ibu sendirian bekerja tuk menopang hidup yang ditinggalkan sang Ayah sudah bertahun-tahun tidak memberi kabar seperginya ke perantauan. Bekerjalah ia untuk membantu ibu. Sedangkan kakak kedua dan ketiga berhasil meraih ijazah dengan satu jenjang diatas kakak pertamaku, yaitu SMP.
Bermodalkan ijazah SD dan SMP tentu belum menjanjikan pekerjaan yang layak untuk mereka. Pemandangan yang tidak asing lagi untuk keadaan di sekelilingku ketika bertani & buruh bangunan menjadi  suatu alternatif sumber penghasilan untuk orang-orang yang senasib seperti saudara-saudaraku itu. Hasilnya pun tidak mencukupi dalam kehidupan sehari – hari, sebulan apalagi untuk bertahun. Keadaan seperti inilah yang membangunkan aku, dari ketidakadaan untuk merubah semuanya itu!. “Aku tak mau seperti itu. Ya, aku harus terus menuntut ilmu & mengejar harapanku sampai sarjana".
Di akhir Mei 2009, ku melangkahkan kaki ke pulau seberang. Di pulau itulah Kota yang ku tuju berada. Kupang alias Kota Karang, begitulah sapaan manisnya. Sampai di Kota Karang, Aku mencoba ikut ujian tes masuk di salah satu perguruan tinggi. Dengan doa dan dukungan dari orang tua & restu leluhur lewotanah akhirnya aku di terima di perguruan tinggi tersebut. Tepatnya di Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana.
Bulan pertama masuk kuliah tempat rutinitas keseharian saya hanya kampus – kost, kost - kampus. “Ahhhh, kehidupan hanya di kampus dan kost lalu kapan karakter ku ini bisa berubah??. Gumam ku dalam sebuah lamunan.
Untuk membawa perubahan di hari esok, apakah hanya ijazah yang cukup??. “Apakah semua ini cukup untuk modal di hari esok??. Pertanyaan ini yang kerap buatku bingung, harus berbuat apa. Semakin di pikir justru buatku semakin panik.
Tak lama kemudian bertamulah seorang pria ke kamar kost ku, membagikan sehelai kertas dengan tulisan di bagian kopnya “Panitia Pelaksanaan Penerimaan Anggota Baru (MPAB) Dan Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar (LKTD)” Angkatan Mudah Mahasiswa Asal Ile Ape (AMMAPAI)-Kupang.
Aku mulai terbangun dan terbisik dari hati untuk bergabung di dalamnya. Mungkin di dalam sana bisa membina mental dan merubah pola pikir yang kreatif dalam menghadapi tantangan zaman global seperti saat ini.
Sering ku bergaul dengan anak-anak jalanan dan bertanya; berbuat apa supaya kita bisa dikenal dan membawa perubahan dalam hidup?? Sebagian besar dari mereka menjawab, kalau mau berubah harus banyak bergaul. Jadi, pergaulan itu swendiri seperti apa?.
Kembali kekamar kostku, dan ku termenung lagi. Pergaulan seorang mahasiswa itu sendiri seperti apa?? Akirnya kutemukan jawabanya yaitu pergaulan di dalam kampus dan di luar kampus. Di luar kampus sepeti membina diri di organisasi. Aku mulai langkakan kaki, ketempat pendaftaran sesuai yang tertulis di dalam kertas yang ku terima waktu itu. Di Jalan Perintis Kemerdekaan No.XI Walikota Baru Kupang, disitulah Lango Beruin berada. “Lango beruin”, nama itulah yang selalu kami sebut sebagai panggilan untuk sekretariat tersebut. Tempat berbagi suka – duka untuk mereka yang menuntut ilmu di Kota Kupang.
Penghujung september 2009, kegiatan penerimaan pun di mulai yang bertepat di Gedung Kuwarda Provinsi NTT, dengan jumlah peserta 16. Kami di bina, di didik selama 1 minggu. Waktunya begtu singkat , tapi sangat berarti bagi kami semua pesrta. Karena cuman 1 minggu,tapi mental dan pola pikir kami berubah sangat begtu derastis. Itulah kebangganku tersendiri bergabung bersama AMMAPAI.
Satu kejadian yang ku rasakan pada saat kegiatan yaitu pada hari terakhir, saat-saatku di lahirkan dari tubuh AMMAPAI. Renungan begitu mendalam, sampai aku pun tak sadarkan diri, semua panitia kepanikan melihat aku yang tertidur kaku. Ini semua terjadi karena didikan, arahan kakak-kakak senior selama seminggu, yang mengingatkanku saat pertama kali aku keluar dari rumah dengan mendengar bisikan dari Ayah & Ibuku yang mengatakan dengan bahasa lamaholot:
 “ Ama, pana mai seba buku biliken teratu, pena matan pulupito,mai tulis tedo basa dore, mo buku lepan jawan nong pena ih’in sinan ti tutu k’loho maring teka. Pile pupul koda sinan, lau kupang tana karang, anin gahan kiring jawan weli Timor tana susa, ti balik mang gelekat lewo, tuen mang gewayan tana, lewo  nimun Lepan Bata,tana nawan Ile Ape. Mo tobo doan ata tana, tobo mian’no kenato, mo pae lela ata tana pae wenger no’on nenaw, tekan tabe ukut bage weli piring matan sinan, tenu tabe lobong luang weli makok tukan jawan”.
Ungkapkan isi hati dari orang tuaku bahwa keputusan yang di ambil untuk menuntut ilmu harus dijalani sampai tuntas dan harus tetap semangat agar kelak bisa kembali tuk mengabdi di lewotana  Lembata pada umumnya dan Ile Ape pada khususnya.
“Walaupun Ayah dan Ibumu tidak punya apa-apa, tapi dengan ketidakpunyaan itulah maka kamu haruslah mencari apa yang ada di dalam ketidakpunyaan itu”.
Termotifasi dari renungan di bawakan dari kakak-kakak senior inilah yang mengingatkanku akan petuah orang tua. Tetap semangat dalam berorganisasi dan fokus dalam perkuliahan untuk menggapi impian orang tuaku yaitu mencapai sarjana.
Banyak pandangan dari orang tua bahwa bergabung di organisasi akan menghambat perkuliahan. Pemahaman ini memang benar adanya, tetapi sesuai pengelaman saya mahasiswa yang berorganisasi tidak akan gagal dalam perkuliahan. Karena di organisasi tidak diajarkan seorang mahasiswa untuk tidak melakukan tugas pokoknya, tapi justru berorganisasi dapat mendorong kita untuk melakukan aktivitas yang lebih utama. Tulang punggung bangsa, yang bisa membawa perubahan yang lebih baik di hari esok yaitu orang yang biasa di sebut aktivis. Tanpa aktivis, masyarakat kecil tetap menderita. Karena fungsi dari aktivis adalah pelindung dan pembela masyrakat.
Share:

Tradisi Adat Dalam Keterbatasan Konsep Kekinian



Tradisi Adat Dalam Keterbatasan Konsep Kekinian
Oleh: Yosep Lako Domaking


Dalam kehidupan manusia, budaya dan tradisi menjadi suatu hal yang mutlak sebagai bagian integral dari peradaban bangsa itu sendiri. Setiap budaya dan tradisi yang melekat dalam masyarakat memiliki nilai positif yang mencerminkan kami masyarakat Ile Ape sebagi kaum yang berbudi luhur dalam konsep budaya ketimuran. Namun seiring waktu beranjak dan manusia pun berubah didalamnya. Demikian pula perubahan budaya yang melekat dalam masyarakat seakan telah mengikis, mengerdilkan hakikat dan harkat kaum hawa yang  saya junjung tinggi tersebut.
Berikut adalah beberapa budaya atau tradisi yang menjadi pertikaian dalam benak saya selama ini. Masyarakat Ile Ape sebagi bagian dari suku Lamaholot adalah masyarakat yang menganut garis keturunan patriliniar di mana dalam konsep berpikir kasar bahwa perempuan adalah wanita yang dibeli sehingga dalam berbagi hal wanita sangat di batasi atau selalu terkekangan dalam hak dan kewajiban mereka.
Sebuah contoh yang sering muncul, katakanlah seorang pria yang merantau  dan meninggalkan anak istrinya. Setibanya di tanah rantau lalu ia menikah lagi namun dalam hal ini wanita masih dibatasi karena sudah diberikan belis sebagi ikatan. Apabila wanita menikah maka belis harus di kembalikan seakan - akan perbuatan seorang pria menjadi sesuatu yang lumrah namun bila si wanita berusaha menentukan pilihannya maka ini di anggap sebagai sebuah pelanggaran.
Lalu pertanyan-pertanyaan pun muncul disana. Dimanakah nilai keadilan yang kita sebagi orang Lamaholot kedepankan ketika perlakuan yang dibuat oleh seorang pria kepada wanita tanpa ada tanggung jawab yang jelas?.
Apakah sang hawa harus dikekang dalam kebebasan menentukan masa depan hidupnya dari sang pria yang seakan tak bertanggung jawab tersebut?.
Seolah-olah harta adalah sesuatu yang lebih kitakedepankan ketimbang nilai kebebasan dan harga diri dari wanita itu sendiri.
Dalam kondisi yang paling hancur sekalipun wanita harus dipaksa untuk tetap bertahan dan tidak diberikan kebebasan untuk menentukan arah hidupnya karena terbentur ikatan belis itu sendiri. Apakah nilai belis lebih besar dari segala-galanya, termasuk harga diri?. Sanggupkah kita menerima situasi ini jika Dia yang melahirkan kitalah yang mengalami hal ini?. Apakah tidak seharusnya wanitapun harus diberikan kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri dan terlepas dari belis yang telah diberikan?.
Hakikat dari belis adalah sebagi bentuk penghargaan tetapi tidak dalam semua hal belis adalah penghargaan. Misalkan saja yang seorang pria yang tidak bertanggung jawab kepada wanita yang terlanjur hamil di luar nikah, maka diberikan denda gading tiga kain sarung  yang dimana tiga kain sarung ini sama nilainya dengan orang yang bertanggung jawab kepada saudari sendiri. Harusnya orang yang tidak mau bertanggung jawab harus diberi nilai belis yang lebih besar sehinga menimbulkan efek jera, disamping itu pula untuk mengurangi janda dan melindungi harkat dan martabat perempuan sehinga kaum laki laki tidak bertindak semena-mena.
Persoalan di atas merupakan tradisi yang telah meleset dan seakan jadi konsumsi yang tak memberikan unsur positif diantara kedua pihak. Mungkin masih banyak hal yang belum dan tidak kita ketahui. Inilah buah pikiran dalam segala keterbatasan saya. Mungkin karena wanita tidak dilibatkan ketika berbicara masalah adat sehingga semua keputusan yang di ambil dalam kacamata berpikir kaum laki-laki yang sadar atau tidak masalah yang dibicarakan menyangkut masa depan mereka juga. Beberapa contoh pengikisan adat mengerdilkan kepiawaian adat yang saya angkat tersebut semoga menjadi refrensi berpikir kita bagimana dan seharusnya budaya itu sendiri.
Kalau saja wanita punya kesempatan yang sama untuk berbicara masalah adat, maka mungkin ada satu dari ribuan wanita di tanah Ile Ape yang akan terlahir menjadi Kartini Baru dalam menyuarakan suara di setiap keterbatasn hak mereka ini.

Penulis; Mahasiswa FKIP PJKR Universitas PGRI-Kupang semesteter VI

Share:

PUISI - Balada Kaum Muda



Balada Kaum Muda
Igo Hali Making

Kaum mudaku…
Terlelap pulas dalam pelukan mimpi
Seolah segalanya telah usai
Kau mendengkur menikmati tidur
Seolah semuanya sudah terjawab
Kaum mudaku…
Kau sandang gelar semeter dibalik namamu
Tapi kau lupa diri
Kaum mudaku…
Kau bangga dengan predikat sebagai intelektual
namun yang ada kau tak lebih dari pecundang ibukota
Kau masih terbelenggu dengan hedonistikmu
Kau kian tak menentu memanggul salib idealismemu
Hingga dunia kecilku tak menyadari
Ada kau kaum mudaku…
Lalu dimanakah idealismemu?
Dimanakah daya juangmu?
Sadarlah kaum mudaku!!!
Kau adalah pejuang!!!
Pemikir!!!
Pemikir Pejuang!!!
Share:
Flag Counter

Featured Post 3

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support