Post views: counter

Senin, 05 Januari 2015

NTT: Nasib Tergantung Tindakan


ADA apa dengan NTT? Pemerintah berganti pemerintah; DPRD berganti DPRD; aneka program dan kebijakan diluncurkan namun stereotipe sebagai provinsi miskin dan terbelakang masih terus melekat.   Mengubah Paradigma Sudah cukup lama NTT diplesetkan sebagai provinsi yang nasibnya tidak tentu. Lantas karena plesetan itu, lalu kita orang NTT mesti berbesar hati dengan menyatakan NTT dengan “nanti Tuhan tolong”.

Memang sekilas ada hubungan antara nasib tidak tentu dan nanti Tuhan tolong. Orang yang nasibnya tidak tentu selalu berharap pada pertolongan Tuhan, berharap pada keajaiban dan mujizat. Nanti Tuhan tolong pun tidak ada gunanya jika orang NTT tidak berusaha tetapi tetap membiarkan dirinya berada dalam nasib yang tidak tentu.

Pertolongan Tuhan mesti ditunjang oleh upaya dan perjuangan masyarakat NTT untuk menjadikan nasibnya tertentu, untuk memperbaiki nasib menjadi lebih baik dari sebelumnya. Harapan pada pertolongan Tuhan harus diimbangi dengan bekerja keras. Seperti kata pepatah ora et labora (berdoa dan bekerja).  

Lantas, paradigma macam manakah yang bisa melepaskan NTT dari stereotip minus di atas?  Hemat saya, sudah saatnya NTT dipahami sebagai “nasib tergantung tindakan”, namun “tetap dalam Tuhan”. Pernyataan ini menarik karena sudah saatnya orang NTT dan Pemerintah NTT menentukan arah hidup dan masa depan NTT dengan tindakan-tindakan yang benar dan luhur.

Nasib NTT ini sangat tergantung oleh tindakan-tindakan yang pemerintah dan masyarakat NTT lakukan saat ini. Nasib baik NTT itu tergantung pada apakah orang NTT mau bekerja keras atau tidak, mau berjuang atau tidak, mau mencari peluang kerja atau tidak.

Jika untuk mengubah nasib, orang NTT harus bekerja, maka ada satu hal yang tidak boleh terlupakan yakni selalu dalam Tuhan. Hanya dalam kehendak dan penyelenggaraan Tuhan nasib dan masa depan NTT bisa menjadi lebih baik.   Ada satu anekdot yang menggambarkan bahwa stereotip NTT sebagai nasib tidak tentu adalah nonsens dan hanya ada dalam kamus para pemalas.

Ada banyak rekan-rekan kita dari luar NTT yang datang dan berusaha di NTT. Mereka bekerja apa saja yang halal.Dari hasil mengolah keterampilan di NTT mereka bisa pulang ke daerahnya dengan membawa begitu banyak uang, bisa membangun rumah, mengongkosi sekolah anak dan taraf hidup menjadi lebih baik.

Lantas apa yang salah dengan orang NTT? Ternyata di NTT orang bisa mengubah nasib menjadi lebih baik, karena mereka yakin bahwa nasib mereka tergantung tindakan mereka. Aneh jika kita orang NTT masih melihat daerah ini sebagai daerah miskin, terbelakang sementara nasib orang dari luar yang bekerja di NTT jauh lebih baik karena usaha dan kerja keras mereka di tanah NTT ini.

Dengan anekdot kecil ini, saya mau mengatakan bahwa seindah-indahnya visi, misi, agenda dan program pembangunan di NTT, tanpa niat luhur untuk mengimplementasikannya dalam tindakan, kerja keras, pengorbanan dan keringat, maka NTT kembali jatuh ke stereotipe nasib tidak tentu.

Itu berarti, tugas pemerintah NTT saat ini adalah menyadarkan masyarakat NTT untuk kembali ke inti kesadaran bahwa NTT akan maju dan berkembang jika NTT dipahami sebagai nasib tergantung tindakan, namun tetap dalam Tuhan bukan nasib tidak tentu dan nanti Tuhan tolong.

Smart NTT bisa keluar dari stereotipe kemiskinan jika orang NTT tampil sebagai orang-orang yang smart, cerdas dan berwawasan. Itu berarti, faktor sumber daya manusia orang NTT harus menjadi prioritas utama. Apapun program, kebijakan, regulasi yang dibuat untuk mempercepat kesejahteraan NTT tak akan ada artinya jika manusia-manusia NTT tidak cerdas, tidak trampil dan tidak pandai membaca peluang. 

Di lain pihak, pemerintah NTT mesti tampil dengan wawasan yang smart dalam berbagai program, kebijakan dan prioritas-prioritas pembangunan. Wawasan yang smart itu pertama, specific. Program pembangunan NTT harus spesifik, langsung ke hal-hal yang konkrit dan sesuai konteks daerah setempat. Cukup sudah mengimpor program pembangunan NTT dari luar NTT.

Karena spesifik maka harus khas sesuai dengan kondisi wilayah NTT. Spesifik berarti juga fokus. NTT saat ini terlalu banyak dijejali dengan berbagai predikasi sebagai provinsi koperasi, provinsi cendana, provinsi ternak, provinsi jagung, provinsi kepulauan, provinsi pariwisata. Mau fokus yang mana? Akhirnya pengelolaan dan pendekatan pun tidak utuh. Kedua, measureable.

Program-program pembangunan itu  harus terukur. Kemajuan dan kegagalan setiap tahun harus jadi acuan program/kegiatan. Bukan turut suka dan turut mau pimpinan SKPD atau desakan legislatif belaka. Ketiga, achievable. Program-program yang dibuat haruslah program yang dapat dicapai, yang rasional. Bukan program yang abstrak, yang membayangkan saja susah apalagi melaksanakannya.

Keempat, relevant. Program-program yang dibuat sejatinya harus relevan dengan situasi masyarakat atau suatu daerah. Seringkali asal ada program, lantas mubazir karena memang tidak sesuai kebutuhan masyarakat setempat. Kelima, timebound.

Program-program yang dibuat mesti memiliki jangka waktu dan batas waktu. Dengan batas waktu itu, sebuah program bisa dievaluasi apakah tepat sasar, efektif atau malah tidak bermanfaat sama sekali.   Pada akhirnya kita harus bangga jadi orang NTT karena NTT adalah negeri penuh susu dan madu yang harus ditapaki sampai ke tujuannya. NTT adalah harapan bersama.

Berbagai stereotipe tidak harus menjadikan orang NTT minder di tanah sendiri. Jadilah itu pelecut untuk berprestasi dalam berbagai bidang, juga dalam mempercepat kesejahteraan NTT. Yang pasti, Tuhan selalu bersama kita, bila kita melibatkan-Nya dalam seluruh derap pembangunan NTT.
(Victory News, Oct 22, 2014)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support