Tradisi Adat Dalam
Keterbatasan Konsep Kekinian
Dalam kehidupan manusia, budaya dan tradisi menjadi suatu hal yang
mutlak sebagai bagian integral dari peradaban bangsa itu sendiri. Setiap budaya
dan tradisi yang melekat dalam masyarakat memiliki nilai positif yang
mencerminkan kami masyarakat Ile Ape sebagi kaum yang berbudi luhur dalam
konsep budaya ketimuran. Namun
seiring waktu beranjak dan manusia pun berubah didalamnya. Demikian pula
perubahan budaya yang melekat dalam masyarakat seakan telah mengikis,
mengerdilkan hakikat dan harkat kaum hawa yang saya junjung tinggi tersebut.
Berikut adalah beberapa budaya atau tradisi yang menjadi pertikaian
dalam benak saya selama ini. Masyarakat Ile Ape sebagi bagian dari suku
Lamaholot adalah masyarakat yang menganut garis keturunan patriliniar di mana dalam konsep berpikir kasar bahwa perempuan
adalah wanita yang dibeli sehingga
dalam berbagi hal wanita sangat di batasi atau selalu terkekangan dalam hak dan
kewajiban mereka.
Sebuah contoh yang sering muncul, katakanlah seorang pria yang
merantau dan meninggalkan anak istrinya.
Setibanya di tanah rantau lalu ia menikah lagi namun dalam hal ini wanita masih
dibatasi karena sudah diberikan belis
sebagi ikatan. Apabila wanita menikah maka belis harus di kembalikan seakan -
akan perbuatan seorang pria menjadi sesuatu yang lumrah namun bila si wanita
berusaha menentukan pilihannya maka ini di anggap sebagai sebuah pelanggaran.
Lalu pertanyan-pertanyaan pun muncul disana. Dimanakah nilai
keadilan yang kita sebagi orang Lamaholot kedepankan ketika perlakuan yang
dibuat oleh seorang pria kepada wanita tanpa ada tanggung jawab yang jelas?.
Apakah sang hawa harus dikekang dalam kebebasan menentukan masa
depan hidupnya dari sang pria yang seakan tak bertanggung jawab tersebut?.
Seolah-olah harta adalah sesuatu yang lebih kitakedepankan
ketimbang nilai kebebasan dan harga diri dari wanita itu sendiri.
Dalam kondisi yang paling hancur sekalipun wanita harus dipaksa
untuk tetap bertahan dan tidak diberikan kebebasan untuk menentukan arah
hidupnya karena terbentur ikatan belis itu sendiri. Apakah nilai belis lebih
besar dari segala-galanya, termasuk harga diri?. Sanggupkah kita menerima
situasi ini jika Dia yang melahirkan kitalah yang mengalami hal ini?. Apakah
tidak seharusnya wanitapun harus diberikan kebebasan untuk menentukan hidupnya
sendiri dan terlepas dari belis yang telah diberikan?.
Hakikat dari belis adalah sebagi bentuk penghargaan tetapi tidak
dalam semua hal belis adalah penghargaan. Misalkan saja yang seorang pria yang
tidak bertanggung jawab kepada wanita yang terlanjur hamil di luar nikah, maka
diberikan denda gading tiga kain sarung yang dimana tiga kain sarung ini sama nilainya dengan orang yang bertanggung
jawab kepada saudari sendiri. Harusnya orang yang tidak mau bertanggung jawab
harus diberi nilai belis yang lebih besar sehinga menimbulkan efek jera,
disamping itu pula untuk mengurangi janda dan melindungi harkat dan martabat
perempuan sehinga kaum laki laki tidak bertindak semena-mena.
Persoalan di atas merupakan tradisi yang telah meleset dan seakan
jadi konsumsi yang tak memberikan unsur positif diantara kedua pihak. Mungkin
masih banyak hal yang belum dan tidak kita ketahui. Inilah buah pikiran dalam
segala keterbatasan saya. Mungkin karena wanita tidak dilibatkan ketika
berbicara masalah adat sehingga semua keputusan yang di ambil dalam kacamata
berpikir kaum laki-laki yang sadar atau tidak masalah yang dibicarakan
menyangkut masa depan mereka juga. Beberapa contoh pengikisan adat mengerdilkan
kepiawaian adat yang saya angkat tersebut semoga menjadi refrensi berpikir kita
bagimana dan seharusnya budaya itu sendiri.
Kalau saja wanita punya kesempatan yang sama untuk berbicara
masalah adat, maka mungkin ada satu dari ribuan wanita di tanah Ile Ape yang
akan terlahir menjadi Kartini Baru dalam menyuarakan suara di setiap
keterbatasn hak mereka ini.
Penulis; Mahasiswa FKIP PJKR Universitas PGRI-Kupang semesteter VI
0 komentar:
Posting Komentar