Jumat, 18 Juli 2014

Menuju Pemilu 2014 Berkualitas dan Bermartabat


 Menuju Pemilu 2014 Berkualitas dan Bermartabat
 

Igo Halimaking
Pemred Majalah Rosa PMKRI Cabang Kupang
 
Tulisan ini sudah di publikasikan penulis di 
SKH Timor Express, Selasa, 08 April 2014

Pelaksanaan Pemilu legislatif 2014 yang sedianya akan digelar pada 9 April 2014 dan diikuti 12 partai politik secara nasional dan tiga partai lokal Aceh tinggal menghitung jam. Selama rentang waktu dari tanggal 11 Januari 2014 sampai 5 April 2014, KPU sudah memberikan kesempatan kampanye terbuka kepada calen legislatif. Tentunya selama masa kampanye terbuka kita telah menyaksikan berbagai bentuk suguhan dari para elit parpol atau non parpol, baik dari calon wakil rakyat atau tim pemenangan calon wakil rakyat untuk menarik simpati atau dukungan agar mendapatkan jatah kursi untuk mewakili rakyat. Para calon wakil rakyat telah menawarkan suguhan yang juga bervariasi, mulai dari yang memiliki pola, strategi, dan taktik (mayoritas oleh caleg pemilik modal), maupun tanpa pola/bentuk (modal percaya diri atau kenekatan untuk dikenal rakyat). Ruang-ruang publik (millik rakyat) saat ini sesak dijejali perilaku, tingkah laku, senyum, bahkan janji-janji manis bertabur dusta untuk mendapat kuasa dari rakyat. Fenomena kampanye di ranah publik telah dibanjiri poster, spanduk, baliho, blusukan, safari atau  silaturrahmi politik ke masyarakat, hingga visualisasi pencitraan secara massif.

Proses masa kampanye Pemilu DPR, DPRD Provinsi dan Kab/Kota, maupun DPD telah berakhir dan tinggal untuk melakukan pemilihan. Untuk itu beberapa hal yang perlu diperhatikan agar proses pemilihan nanti menjadi pemilu yang berkualitas atau bermartabat.

Bagi Pemilih

Janji–janji manis para caleg selama masa kampanye telah kita dengar, saatnya kita masyarakat untuk menyaring dan menentukan pilihan secara benar. Karena ketika salah memilih caleg berarti salah dalam melangkah dan sekaligus salah pula memberikan amanah rakyat. Mereka (caleg) yang terpilih berarti mereka yang akan mengharubirukan negeri dengan jumlah penduduk salah satu terbesar di dunia.

Olehnya ungkapan terkenal masa "orba" layak didengungkan kembali dengan ungkapan "jangan membeli kucing dalam karung". Ungkapan ini merujuk pada pengertian ketika memilih calon pemimpin jangan asal comot dan tidak dikenal kualitas pribadi dan kompetensi akademisnya (kemampuan berfikir). Maka dari itu, sebelum menentukan pilihannya seyogyannya harus mengenal terlebih dahulu caleg "luar dalamnya". Dengan kata lain, dalam menentukan pilihan terhadap caleg harus mengetahui benar tentang track record dan trade mark-nya sehingga tidak salah memilih. Ungkapan ini pas betul dengan iklan tempoe doloe dengan istilah teliti sebelum membeli.

Karena itu, dalam menentukan pilihan tidak lain adalah ukuranya adalah profil pribadi dalam kesehariannya. Karena prilaku seorang caleg merupakan simbol keperibadiannya, maka dari itu, prilaku melalui profil kesehariannya yang dapat dijadikan referensi dalam memilih calon legeslatif tersebut.

Jadilah pemilih cerdas yang didasarkan atas kesadaran rasional, kritis, dan hati nurani, bukan berdasarkan transaksi politik uang, sehingga mencederai jaminan konstitusional hak asasi manusia setiap warga negara dalam penyelenggaraan Pemilu.

Melalui pemilu legislatif kali ini menjadi tolok ukur kecerdasan rakyat untuk membangun negerinya lima tahun mendatang. Pemilu sebelumnya hendaknya menjadi bahan evaluasi untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Terbukti banyak caleg yang bermasalah dalam menjalankan tugasnya. Diantaranya harus berurusan dengan pihak hukum. Hal itu akibat kesalahan pemilih dalam memilih yang tidak dilakukan secara cerdas dan berkualitas. Untuk itu, momen pemilu legislatif ini layak dijadikan modal dasar untuk pemilu yang cerdas berkualitas. Dengan begitu pemilunya berjalan dengan lancar dan damai. Demikian pula caleg yang terpilih akan datang adalah caleg yang cerdas berkualitas karena ia terpilih secara ketat dengan kompetisi sehat.

Bagi Caleg

Menyikapi kemenangan dan kekalahan para caleg, pesan moral dan kearifan perlu dikedepankan. Bagi caleg yang memenangkan pemilu legislatif bahwa sesungguhnya kemenangan itu merupakan amanah yang harus dilaksanakan dengan segala kesungguhan, bukan sebaliknya dengan merayakan pesta pora. Jika hal itu yang terjadi, maka akan muncul caleg-caleg tidak berkualitas yang justru menambah penderitaan rakyat. Lebih jauh dari itu, sesungguhnya ia telah mengekploitasi dan menyakiti rakyat.

Bagi yang kalah, tetap menjaga kehormatan dan legowo bahwa sesungguhnya manusia hanya bisa merencanakan dan menyusun strategi, tetapi yang sejatinya menentukan kemenangan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena itu, bila caleg ingin berjuang demi rakyat banyak, maka kekalahan merupakan langkah untuk melakukan evaluasi diri tentang kekurangan selama ini yang dimiliki atau karena Tuhan belum berkenan untuk memberikan amanah yang berat itu. Tetapi juga sebaliknya, bila caleg dengan berbagai cara ingin meraih kemenangan dengan ongkos politik yang mahal, bila mengalami kekelahan dan hatinya tidak legowo, maka yang terjadi bisa-bisa ia kehilangan jati diri dan kehilangan akalbudi.

Bagi Penyelenggara Pemilu dan LSM
Tidak bisa dipungkiri bahwa pemilu yang berkualitas merupakan kristalisasi dari keterlibatan setiap komponen bangsa. Keterlibatan dalam hal ini tentunya yang konstruktif sehingga pemilu dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan.  Untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas maka ada beberapa lembaga yang bisa menjadi ujung tombak. Pertama penyelnggara pemilu mulai tingkatan KPU daerah hingga KPU harus dapat memastikan semua hal-hal teknis sudah dipersiapkan dengan baik dan maksimal, sehingga kita tidak terjebak dalam urusan teknis dalam setiap kali ada pemilu. Selain itu peran Badan Pengawas Pemilu harus dipastikan dalam berjalan dengan baik sehingga tidak ada pelanggaran dalam pemilu yang dibiarkan terjadi. Kedua partai politik dan peserta pemilu (legislatif maupun presiden dan wakil presiden) harus menjadi aktor utama dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas. Ketiga peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) menjadi sangat sentral dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas. Selain itu para alim ulama juga harus dilibatkan, sebab mereka masih sangat dipercaya oleh masyarakat sebagai panutan. Yang terkahir adalah peran pemilih itu sendiri menjadi sangat penting. Jika pemilih menyadari arti penting keterlibatannya dalam pemilu maka dapat dipastikan yang bersangkutan dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik berdasarkan pertimbangan yang rasional bukan emosional.

Akhirnya terwujudnya pemilu 2014 yang berkualitas merupakan tanggungjawab semua komponen bangsa baik penyelenggara, peserta pemilu maupun lembaga masyarakat dan pemilih itu sendiri. Pemilu yang berkualitas diyakini dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas pula seperti yang terjadi di negara demokrasi lainya.

Pemimpin yang berkualitas tentunya lahir dalam proses yang berkualitas. Semoga tahun 2014 menjadi tahun yang dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai cita-cita proklamasi. (*)
Share:

Guru Harus menjadi Pengajar dan Penjaga Moral

Guru Harus menjadi Pengajar dan Penjaga Moral
Mahasiswa Universitas PGRI NTT- FKIP Bahasa & Sastra Indonesia

 
Oleh: Igo Halimaking
(Tulisan ini sudah dipublikasikan penulis di SKH Timor Express
Senin, 25 November 2013)

Berbicara pendidikan, tentu tidak terlepas dari peran salah satu unsur pentingnya, yaitu guru. Guru memang bukan satu-satunya elemen penentu keberhasilan pendidikan. Namun, tidak berlebihan apabila dikatakan guru adalah kunci utama pendidikan. Guru menempati posisi penting dan sentral dalam pendidikan. Berhasil tidaknya pendidikan sangat ditentukan oleh guru.
Filosofi Pendidikan di Indonesia telah memberikan peran ganda kepada guru. Ada tiga tugas penting yang harus diemban oleh seorang guru, yaitu mengajarkan ilmu, membentuk karakter yang mulia, serta menanam optimisme dan cita-cita positif. Selain, mentransfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kepada peserta didik, guru juga dituntut untuk menjadi penjaga moral peserta didik. Dengan ini, peran guru merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pembangunan pendidikan.
Berbicara mengenai guru, ada banyak hal yang dapat diungkap, ada banyak sisi yang dapat disoroti. Mulai dari masalah kesejahteraan, distribusi, sampai dengan masalah kualitas. Dulu, keberadaan guru selalu penuh dengan ironi yang memprihatinkan, hidup pas-pasan dan terkadang harus terseok-seok menghidupi diri dan keluarganya. Ironi itu perlahan namun pasti mulai dipupus pemerintah lewat alokasi anggaran negara untuk sektor pendidikan termasuk program sertifikasi guru.
Pada tataran perjuangan kesejahteraan, mungkin problem guru sedikit teratasi. Itu artinya bahwa sekarang menjadi guru bukan lagi pilihan yang dilematis melainkan sebuah pilihan yang prestisius. Jika dulu guru berjalan dalam kesunyian, kini guru berjalan dengan tubuh tegak berdiri. Memang tak cukup hanya ‘Hymne Guru’, tak cukup rasanya hanya penghargaan ‘batin’, maka penghargaan materi pun harus pula diperhatikan. Agar tak ada lagi cerita, guru jadi tukang ojek, guru merangkap jadi buruh, bahkan pemulung. Agar mereka dapat berkonsentrasi terhadap perkembangan anak didiknya, agar mereka dapat berkonsentrasi menyiapkan generasi baru bangsa ini.
Ketika kesejahteraan telah diupayakan dan kian disempurnakan, permasalahan guru tak berarti selesai. Kita masih perlu merefleksikan banyak hal tentang guru. Kita tidak lagi bicara soal gelapnya kesejahteraan guru karena matahari telah menampakkan sinarnya. Permasalahan guru saat ini tak hanya soal kesejahteran, tapi lebih dari itu. Bagaimana mencari guru yang sejati di negeri ini. Guru yang benar-benar menjadi ’guru’.
Diakui atau tidak, hemat penulis, dewasa ini peran guru telah mengalami distorsi yang cukup parah. Guru lebih banyak berperan sebagai “tukang” yang menjual jasa. Sementara peserta didik, adalah orang menerima jasa untuk menjadi pintar.
Atau dalam bahasa yang lebih ekstrim, bahwa pendidikan kita dewasa ini, memiliki kecenderungan ibarat sebuah transaksi bisnis. Ada yang menjual jasa pendidikan dan ada yang membelinya. Anehnya, pendidikan lebih mengejar pada aspek materialis. dan telah meninggalkan aspek idealis.
Di tengah absurditas peran guru tersebut, agaknya perlu kita pertanyakan kembali kepada guru ini. Apa sebetulnya, yang menjadi alasan mereka memilih bekerja menjadi guru. Ada sebagian guru yang menjawab, daripada menjadi sarjana pengangguran, lebih baik jadi guru. Sebagian lagi menjawab, hanya untuk coba-coba saja, iseng. Yang sedikit lebih “hebat” alasan memilih menjadi guru, ingin mencari kesenangan. Karena pekerjaan sangat ringan, tak rumit palagi ruwet, hanya cuap-cuap, dapat gaji, dan panjang masa liburannya. 
Ada juga menjawab, gaji guru besar. Kalau guru telah disertifikasi, gaji menjadi dua kali lipat. Hampir tidak ada yang menjawab, jadi guru supaya dapat mengabdi untuk mendidik anak bangsa supaya cerdas, berakhlak mulia dan mandiri serta mendapat pahala dari Allah.
Saat ini banyak yang masuk dalam dunia pendidikkan atau yang mengambil kuliah jurusan FKIP (fakultas keguruan dan ilmu Pendidikkan) bukan berdasarkan hati nuraninya namun lebih kepada pertimbangan materi dikemudian hari bagaiman jurusan Guru adalah profesi yang menjanjikan dan akan mudah untuk bekerja dan menjadi PNS (pegawai nunggu Sore) dan ini yang menjadi awal mengapa banyak guru yang kurang berkualitas di negara ini.
Ini adalah sebuah penyakit bangsa ini, ketika matrealisme menjadi sebuah tujan utama maka hasil yang diperolehpun akan sama, siswa yang ditetaskan pun akan memiliki naluri yang pemikiran yang sama, yaitu mereka tidak akan memiliki rasa sebagai seorang siswa namun hanya sebagai sebuah alasan untuk mendapatkan Ijazah dan nilai yang baik, tanpa melihat pemahaman yang akan diturnkan dan diaplikasikan dimasyarakat. Artinya tidak ada proses pendidikkan seperti dalam tridharma perguruan tingi.
Menjadi guru adalah sebuah laku misi yang penuh dengan moralitas. dan idealitas. Menjadi guru harus punya spirit excellence atau ruh untuk mendidik, ruh perubahan dan pencerahan. Ruh di sini sesuatu yang lahir berasal dari idealisme, dari pergulatan batin untuk mendidik anak-anak bangsa. Tanpa ada ruh, perbuatan mendidik anak bangsa,  hanya ibarat tugas rutinitas belaka. Guru yang tidak punya ruh dan idealisme, hanya bekerja setengah-setengah dan asal-asalan.
Ilmu yang diajarkan dan tingkah laku yang “dipertontonkan” guru pada anak didik, sebenarnya, muncul dari hati nurani yang dalam setelah terlebih dahulu mengalami proses akumulasi atau kristalisasi. Bagaimana ilmu dan tingkah laku yang bernas bisa lahir, kalau gurunya tidak memiliki ruh (misi idealisme). Kalau sang guru itu, menyadari posisinya dan pekerjaannya sebagai amanah, tugas suci, dan misinya sangat sakral. Guru tentu lebih mengutamakan pengabdian tulus, tanpa syarat apa lagi dengan embel-embel materi.
Perubahan zaman menuntut guru untuk terus meningkatkan kompetensi diri. Guru tak bisa lagi berpangku tangan bila tak ingin tergerus zaman. Selain berupaya melakukan peningkatan penguasaan ilmu, seorang guru juga harus memiliki kecintaan terhadap profesinya. Guru juga harus peka terhadap kebutuhan pendidikan saat ini. Guru harus memiliki jiwa pembaharu mengingat guru merupakan agen perubahan ke arah yang lebih baik. Guru harus berupaya untuk menunjukkan etos dan totalitas dalam mengajar dan mendidik.
Moment Hari Guru Nasional yang jatuh 25 November kali ini, patut kiranya kita merenung kembali hakikat menjadi seorang guru. Guru akan dikenang dan dihormati apabila kehadirannya bermanfaat bagi orang lain dan tingkah laku serta ajarannya memiliki spirit effect yang besar terhadap anak didik dan masyarakat.
 Kalau ini, tidak terjadi, lebih baik jangan menjadi guru. Bagi yang bermental separuh jadi guru atau tidak menjadi guru power full, juga tak berkeinginan untuk mengembangkan dirinya untuk memberikan perubahan dan pencerahan kepada anak didik dan masyarakatnya, dari sekarang ucapkan selamat tinggal menjadi guru.
Pendidikan yang baik hanya dapat terwujud di tangan guru-guru yang berkualitas, kreatif, berdedikasi dan berintegritas tinggi. Menjadi guru ala kadarnya, akan menghasilkan kemampuan anak didik ala kadarnya pula. Sesungguhnya, pesaing utama seorang guru bukanlah guru lain di sekitarnya, tetapi perubahan zaman. Oleh karena itu, guru yang luar biasa adalah guru yang selalu belajar dan terus belajar.
Menjadi guru ala kadarnya, akan menghasilkan kemampuan anak didik ala kadarnya pula. Teringat ucapan Aristoteles, filsuf berkebangsaan Yunani, “Berusaha, bekerja, dan berbuat demi kesenangan semata adalah perbuatan yang bodoh dan sungguh kekanak-kanakan. Kalau guru bermental setengah-setengah (non power full) dan hanya mencari kesenangan semata, pendidikan akan menjadi belenggu. Guru seperti itu akan membungkam nilai-nilai kemanusian yang terkandung dalam pendidikan. Sehingga ujung-ujungnya perkembangan manusia menjadi absurd, abnormal, dan peradabannya menjadi peradaban yang tidak sesuai dengan hakikat kemanusian.
Akhirnya perlu selektifitas dari setiap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam menerima calon guru agar menghasilkan tenaga pendidik yang memiliki jiwa moral yang terbaik dan menjalankan profesi sebagai sebuah panggilan jiwa seperti Kihajar Dewantara, bukan sebuah profesi matrealisme, dan lulus dalam jurusan pendidikkan sebagai seorang yang memiliki deret moral sebagai standarisasinya, bukan hanya akademik karena mendidik dan pendidikkan bukan hanya akademik tapi juga moral, bukan hanya IQ namun juga EQ, SQ, dan RQ. Karena kenyataan selama ini banyak yang lulus dari segi akademik tapi masih banyak pula yang tidak lulus dari segi etika profesinya. SELAMAT HARI GURU.

Share:

KETIKA GURU TAK LAGI DIGUGU & DITIRU


KETIKA GURU TAK LAGI DIGUGU & DITIRU

Oleh Igo Halimaking 
Mahasiswa FKIP Bahasa & Sastra Indonesia Universitas PGRI NTT
(Tulisan ini sudah dipublikasikan penulis di SKH Timor Express
Selasa, 08 Juli 2014)

Kebobrokan moral bangsa ini rupanya semakin menyeruak ke permukaan. Pelecehan seksual di lembaga pendidikan semakin menjadi-jadi. Kasus pelecehan seksual oleh kepala sekolah Kristoforus Mboko bersama guru bantunya Laurensius Lalong di SMPN 2 Nita Maumere terhadap muridnya yang mengemuka berberapa waktu lalu menjadi tamparan hebat untuk wajah pendididikan di Nusa Tenggara Timur. Kasus biadab yang diperankan oleh guru di atas sudah menjadi bukti yang tak terbantahkan jika bangsa ini telah mengalami keruntuhan moral yang seakan tidak terbendung lagi.
Pertanyaan yang mendasar dan mengusik nurani kita adalah, mengapa seorang guru yang notabene, terpelajar, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tata susila, dalam segala tingkah laku dan perbuatan dapat bertindak amoral dan merendahkan martabat dan harga dirinya sendiri? Jawabannya tentu saja bisa beragam, ada yang berpendapat bahwa profesi acapkali terdak berkait dengan urusan moralitas. Hal ini sudah banyak sekali contohnya, misalnya kalangan kejaksaan, kehakiman, dan penegak hukum lainnya, yang notabene melek masalah hukum justru melakukan tindakan-tindakan melawan hukum seperti korupsi, suap, dan sebagainya. Hal ini juga sama terjadi di kalangan wakil rakyat kita, yang semestinya benar-benar sebagai tameng moral para pemimpin negeri ini, tapi anehnya juga tak luput dari aroma busuk perselingkungan, korupsi, dan suap.
Menurut Maurice Duverger, manusia cendrung berlomba-lomba untuk memuaskan diri di dunia, ada yang berhasil, namun tak sedikit pula yang frustasi. Nah, rasa frustasi inilah yang yang menjadi salah satu pemicu kemerosotan moral manusia yang menimbulkan konflik-konflik kemanusiaan. Pada ranah yang lebih kecil, sikap frustasi bisa - bisa membiak berubah menjadi perilaku menyimpang, amoral, melawan hukum, egois, dan tidak mempedulikan pihak lain. Terlebih dalam jejaring ada pihak-pihak yang berkuasa dan terdapat pihak-pihak yang dikuasai, akan sangat mudah memantik perilaku atau tindakan-tindakan kekerasan, pelecehan, dan ancaman.
Lantas bagaimana dengan guru-guru yang melakukan tindakan pelecehan seksual dan kekerasan? Kecil kemungkinan hal itu disebabkan kenikmatan hidup yang bersifat kebendaan (material), tapi lebih banyak disebabkan faktor-faktor individual yang bersifat personal, seperti rasa tidak puas, frustasi, dan bisa jadi pengalaman semasa kecil atau remaja yang pernah mengalami tindakan kekerasan maupun pelecehan seksual. Banyak pakar psikologi yang mengungkapkan bahwa kasus-kasus sodomi para pelakunya sebagian besar mengalami pengalaman pahit di masa kecil atau remajanya.
Fakta lain yang mendorong tindakan kekerasan dan pelecehan seksual adalah praksis pendidikan di Tanah Air ini yang masih belum bisa memerdekakan siswa dan guru itu sendiri. Meski sekarang kita memasuki era reformasi dan paradigma pendidikan yang tengah berubah, tapi warisan pendidikan gaya orde baru yang bersifat Budaya Politik Manipulatif dan Eksploitatif (Manipulatif and Exploitative Political Culture) masih bercokol. Faktanya korupsi dan bentuk manipulasi di sekolah-sekolah masih terjadi. Sementara praktik mengajar guru-guru di kelas masih memenjarakan siswa, menerapkan hukuman, dan memposisikan guru sebagai penguasa kelas. Tak mengherankan jika kemudian perilaku para guru menyimpang dari alurnya.
Ketika guru tidak bisa memahami tugas dan peran yang diembannya, yang ada guru hanya mampu mentransfer ilmu pengetahuan dan melupakan moralitas. Akibatnya, bangsa ini tidak mampu melahirkan generasi penurus yang berkualitas dan berkarakter. Memang peradaban bangsa akan maju dengan adanya pendidikan. Namun juga sebaliknya, sebuah bangsa akan mengalami kehancuran jika dunia pendidikan diserahkan kepada pendidik yang tak bermoral yang dengan tidak manusiawi melakukan pelecehan seksual terhadap siswa
Benahi Moral Guru
Lantas apa yang harus dibenahi menghadapi fenomena kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah-sekolah oleh guru? Beberapa alternatif telah mengemuka seperti pengawasan dan supervisi yang ketat terhadap para guru dan adanya tes psikologi dan mental secara berkala bagi para guru. Tapi saya melihat hal itu bisa menimbulkan kecemasan berlebihan di kalangan guru, mengganggu konsentrasi mengajar, dan acapkali bersifat temporer. Padahal beban di pundak guru semakin berat, bahkan acapkali menjadi kambing hitam dalam dunia pendidikan. Langkah komprehensif tentu saja berbagai solusi tadi diimbangi dengan inovasi yang dilakukan PT pencetak para guru dan stakeholder sekolah dengan menerapkan visi dan misi yang secara teknis diejawantahkan dalam berbagai kegiatan yang mengasah sikap moral, empati, pengenalan diri, dan demokrasi. Dengan cara demikian, akan melahirkan sosok manusia yang menjunjung tinggi nilai dan moralitas di lingkungan sekolah, baik di kalangan siswa dan guru dengan semangat memerdekakan siswa.
Guru yang memunyai moralitas negative akan berimbas pada moralitas siswanya pula. Sejatinya, sebagai guru harus menjadi panutan dan teladan bagi para siswanya, sebagaimana asal kata guru itu sendiri: digugu dan ditiru. Sebagai guru, konsekuensinya adalah harus mampu lebih dari yang bukan guru, khususnya dari sisi moralitas. Guru sebagai profesi pembentuk karakter dan moral peserta didiknya tentu dituntut untuk lebih memunyai kepekaan terhadap hal itu. Kapan dan dimanapun guru berada, moralitasnya pasti selalu terpantau oleh masyarakat. Beberapa kasus yang terjadi di republik ini tentang moralitas yang terabaikan oleh guru mendapat posisi headline pada pemberitaan media cetak dan elektronik. Hal ini wajar, karena guru sebagai profesi teladan akan sangat tabu jika memunyai prilaku menyimpang dari moralitas. Jangankan yang berkaitan dengan kriminalitas seperti pelecehan seksual atau tindak kekerasan, prilaku yang wajar untuk yang bukan guru, dapat menjadi sesuatu yang tak wajar bagi seorang guru. Tertawa terbahak-bahak, berpakaian ketat, merokok, dan lainnya merupakan contoh prilaku yang jika dilakukan oleh guru maka terkesan tidak pantas, padahal jika bukan guru masih menjadi prilaku yang wajar saja. Selain itu, sekarang dengan adanya kesejahteraan guru lebih meningkat, maka item indikasi kurangnya moralitas guru semakin bertambah. Guru harus semakin baik dari sisi moralitas dan akademik. Hal itu berjalan seiring dengan semakin seriusnya perhatian masyarakat terhadap guru. Banyaknya pelaporan orangtua siswa dan masyarakat terhadap prilaku guru dalam proses pembelajaran di sekolah, merupakan bukti nyata hal tersebut.
Harapannya, tak ada lagi kasus atau tindakan yang mencederai keanggunan guru sebagai profesi yang menjunjung tinggi penegakan moralitas anak bangsa.Sebab saya khwatir sikap skeptis Ivan Illich sekitar tiga puluh tahun lalu yang berkoar bahwa sekolah tidak lagi berguna bagi masyarakat menjadi kenyataan. Sebab sudah banyak siswa yang menjadi korban karena persekolahan. Sudah saatnya stop pelecehan oleh guru di sekolah sekarang juga!
Share:
Flag Counter

Featured Post 3

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support