Meski dianggap sebuah keniscayaan, modernitas perlahan tapi pasti terus menggerus budaya lokal, tak terkecuali di Kampung Adat Lewohala. Bagaimana perubahan perilaku sosial yang terjadi di sana?
SITUS Kampung Adat Lewohala secara geografis berlokasi di Desa Jontona, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata. Dengan jarak tempuh dari Desa Jontona sekitar 3 kilo meter, sedangkan dari kota Lewoleba (Ibu Kota Kabupaten Lembata), mencapai 20-an kilo meter.
Kampung tua Lewohala, merupakan kampung adat tempat digelarnya pesta kacang, ritual tahunan yang digelar untuk mensyukuri anugrah dari Yang Maha Kuasa yang di terima anak keturunan Lewohala. Masyarakat adat Lewohala, dapat dikatakan bagian dari tidak banyak kearifan lokal yang masih “tersisa” di Kabupaten Lembata.
Ketangguhan iman masyarakatan adat Lewohala untuk tetap mempertahankan budaya “werung lolong” (pesta kacang) misalnya, adalah sebuah kehebatan yang jarang dimiliki oleh masyakat modern. Namun, entah disadari atau tidak, arus modernisasi dengan segala aspek positif dan negatifnya, telah menimbulkan perubahan perilaku sosial bahkan berpengaruh pada perubahan pola pikir masyakat.
Tidak terkecuali di pelosok desa sekali pun. Dan, masyarakat adat Lewohala yang dahulunya patuh terhadap nilai adat, lambat laun dihanyutkan oleh derasnya arus modernisasi.
Betapa tidak, sebagaimana disaksikan FBC, Kamis (24/10/2013), banyak keaslian budaya Lewohala sebagai warisan berharga para pendahulu kian memudar, bahkan terkesan tidak lagi dijaga keasliannya.
Dari 77 rumah adat di kampung asli orang Lewohala ini, ada beberapa rumah yang bersalih rupa secara drastis. Walau tetap mempertahankan bentuk aslinya, namun bahan pembuat rumah yang sejatinya dari kayu dan bambu kini tergantikan dengan balok-balok beton, bagitu juga dengan bahan atap. Seng menggantikan daun kelapa dan alang-alang sebagai penutup rumah.
Perubahan mengikuti arus jaman itu, ternyata juga tampak pada cara orang Lewohala berbusana. Jika dahulu, kaum hawanya membalut tubuh dengan sarung tenunan sendiri, kini busana ketat buatan pabrik menggantikan sarung. Bahkan, kebare (anak gadis) Lewohala tak lagi pandai menjalin benang menjadi sarung.
Terkikis lalu Hilang
Kekayaan budaya Lewohala lain yang juga semakin terkikis zaman adalah, kesenian Oha Sole, dan Hamang, dua tarian tradsional yang syarat makna ini, kini mulai hilang. Generasi Lewohala yang lahir sebelum tahun 1970-an tak banyak lagi, bahkan dapat dikatakan tak ada yang tahu menyanyikan lagu Oreng, syair syarat makna, yang dinyanyikan saat menarikan Oha Sole.
Generasi sekarang, bahkan lebih menggandrungi budaya luar, budaya asli Lewohala ditinggalkan. Komentar beberapa tokoh Lewohala kepada FBC, orang muda hanya bisa menjadi penonton, ketika para sepuhnya menarikan Sole Oha.
Kenyataan ini, kian mencemaskan para sesepuh Lewohala. Beberapa tokoh adat mencemaskan akan hilangnya budaya asli Lewohala ini. Menurut mereka, memudarnya kearifan lokal orang Lewohala, selalu didiskusikan dalam setiap momen pesta kacang, namun hingga kini belum ada sebuah tindakan nyata untuk mengembalikan kejayaan budaya masa lampau ini.
“Saya sadar kalau sekarang ini, banyak keaslian budaya di kampung ini mulai berubah mengikuti perkembangan zaman. Karena itu ada semacam ketakutan pribadi saya, jangan sampai generasi berikutnya tidak lagi mempertahankan budaya pesta kacang sebagai warisan leluhur,” ujar pemangku adat Lewohala, Stefanus Lodan Halimaking.
Ketakutan pemangku adat ini, sebenarnya sudah menjadi kegelisahan bersama orang Lewohala, bahkan mereka sadar jika ketidakberdayaan untuk menghadapi tekanan zaman, sama saja dengan melecehkan budaya sendiri.
Apalagi, perubahan itu terjadi ditengah gencarnya kampanye pariwisata oleh Pemerintah Kabupaten Lembata. Situs rumah adat Lewohala, bahkan ditetapkan menjadi salah satu destinasi unggulan di Kabupaten Lembata.
“Memang zaman sudah berubah, tetapi sebagai manusia berbudaya, mestinya kita harus menjaga dan melestarikan budaya. Jika rumah adat sebagai simbol budaya Lewohala digantikan dengan bahan buatan pabrik, itu sama saja dengan kita merusak budaya sendiri,” ucap Gabriel Lele Soromaking diamini tokoh adat lainnya.
Peran Bele Raya
Bele Raya (pemimpin) Lewohala teridiri dari empat suku yakni, Hali Making, Soro Making, Dulimaking, dan Domaking. Empat suku ini, memainkan peran penting untuk menjalin keutuhan dan kelestarian budaya Lewohala.
Bele Raya pada zaman dahulu, -sebelum hadir pemerintahan modern- tampil sebagai orang yang sangat disegani. Hal yang disampaikan adalah titah yang wajib dilaksanakan oleh rakyatnya. Dalam hal menyelesaikan sengketa antar warga misalnya, Bele Raya punya cara sendiri untuk menyelesaikannya. Keputusan yang diambil, adalah keputusan yang benar berdasar asas keadilan. Keputusan yang dibuat, diterima sebagai kebenaran bersama dan karena itu tidak menimbulkan dendam antar sesama warga karena pembuktian akan kebenaran itu dilakukan melalui ritual adat.
Begitu juga dengan urusan pemerintahan, perintah diturunkan secara berjenjang. Awalnya perintah diturunkan oleh Raya kepada kepada Bele, dan selanjutnya Bele melanjutkan perintah itu kepada masyarakat. Raya bahkan tak pernah berurusan dengan masyarakat.
Bele Raya, bahkan membagi peran kepada semua suku yang berada di bawah naungan pemerintahan mereka, ibarat membagi divisi dalam sebuah struktur organisasi modern. Setiap devisi bertanggung jawab langsung kepada Bele Raya. Menariknya, peran yang dibagikan Bele Raya tidak bisa diambil oleh suku lain.
Jika ada yang merampas peran, suku tersebut akan mendapat bala, bahkan dapat berakibat kematian.
Namun demikian, sering perkembangan zaman dan perubahan politik negara, peran Bele Raya tergantikan oleh pemerintahan modern, di mana pada tingkat desa dipimpin oleh seorang kepala desa dengan perangkat-perangkat pemerintahan di bawahnya.
“Kondisi sekarang berbeda dengan di masa lampau, masa Orde Lama, hingga Orde Baru. Dulu pemerintahan desa sangat kuat, keadaan itu berbeda dengan sekarang, pemerintahan kepala desa sangat rapuh. Salah satu penyebabnya adalah tidak ada dukungan atau restu dari Bele Raya,” ujar Marsel Tuan, tokoh adat di Desa Jontona.
Menurutnya, restu Bele Raya adalah restu leluhur “Lewotana” (kampung halaman), Marsel dalam kesempatan itu, mengungkap beberapa fakta, di mana pemerintahan masa lampau di Desa Jontona bahkan bertahan hingga beberapa periode, di mana saat itu kepala desa berasal dari kalangan Bele Raya.
Bele Raya yang tergantikan oleh pemerintahan modern, ternyata juga berdampak negatif terhadap peran Bele Raya sebagai pemangku adat dalam sebuah komunitas adat. Betapa tidak, berbagai persoalan di desa yang berhubungan dengan urusan adat, diambil alih oleh kepala desa.
Akibatnya, banyak hal yang diputuskan oleh kepala desa ditentang rakyatnya sendiri. Bahkan dalam urusan penyelesaian sengketa misalnya, kemudian menimbulkan dendam yang berkepanjangan. Jika “pencaplokan” peran itu terus terjadi, maka dikhawatirkan, kekayaan budaya Lewohala akan sirna. (*)Penulis: Yogi Making (Sumber; http://www.floresbangkit.com)
Meski
dianggap sebuah keniscayaan, modernitas perlahan tapi pasti terus
menggerus budaya lokal, tak terkecuali di Kampung Adat Lewohala.
Bagaimana perubahan perilaku sosial yang terjadi di sana?
SITUS Kampung Adat Lewohala secara geografis berlokasi di Desa
Jontona, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata. Dengan jarak tempuh
dari Desa Jontona sekitar 3 kilo meter, sedangkan dari kota Lewoleba
(Ibu Kota Kabupaten Lembata), mencapai 20-an kilo meter.
Kampung tua Lewohala, merupakan kampung adat tempat digelarnya
pesta kacang, ritual tahunan yang digelar untuk mensyukuri anugrah dari
Yang Maha Kuasa yang di erima anak keturunan Lewohala. Masyarakat adat
Lewohala, dapat dikatakan bagian dari tidak banyak kearifan lokal yang
masih “tersisa” di Kabupaten Lembata.
Ketangguhan iman masyarakatan adat Lewohala untuk tetap
mempertahankan budaya “werung lolong” (pesta kacang) misalnya, adalah
sebuah kehebatan yang jarang dimiliki oleh masyakat modern. Namun, entah
disadari atau tidak, arus modernisasi dengan segala aspek positif dan
negatifnya, telah menimbulkan perubahan perilaku sosial bahkan
berpengaruh pada perubahan pola pikir masyakat.
Tidak terkecuali di pelosok desa sekali pun. Dan, masyarakat adat
Lewohala yang dahulunya patuh terhadap nilai adat, lambat laun
dihanyutkan oleh derasnya arus modernisasi.
Betapa tidak, sebagaimana disaksikan FBC, Kamis
(24/10/2013), banyak keaslian budaya Lewohala sebagai warisan berharga
para pendahulu kian memudar, bahkan terkesan tidak lagi dijaga
keasliannya.
Dari 77 rumah adat di kampung asli orang Lewohala ini, ada beberapa
rumah yang bersalih rupa secara drastis. Walau tetap mempertahankan
bentuk aslinya, namun bahan pembuat rumah yang sejatinya dari kayu dan
bambu kini tergantikan dengan balok-balok beton, bagitu juga dengan
bahan atap. Seng menggantikan daun kelapa dan alang-alang sebagai
penutup rumah.
Perubahan mengikuti arus jaman itu, ternyata juga tampak pada cara
orang Lewohala berbusana. Jika dahulu, kaum hawanya membalut tubuh
dengan sarung tenunan sendiri, kini busana ketat buatan pabrik
menggantikan sarung. Bahkan, kebare (anak gadis) Lewohala tak lagi pandai menjalin benang menjadi sarung.
Terkikis lalu Hilang
Kekayaan budaya Lewohala lain yang juga semakin terkikis zaman
adalah, kesenian Oha Sole, dan Hamang, dua tarian tradsional yang syarat
makna ini, kini mulai hilang. Generasi Lewohala yang lahir sebelum
tahun 1970-an tak banyak lagi, bahkan dapat dikatakan tak ada yang tahu
menyanyikan lagu Oreng, syair syarat makna, yang dinyanyikan saat menarikan Oha Sole.
Generasi sekarang, bahkan lebih menggandrungi budaya luar, budaya
asli Lewohala ditinggalkan. Komentar beberapa tokoh Lewohala kepada FBC, orang muda hanya bisa menjadi penonton, ketika para sepuhnya menarikan Sole Oha.
Kenyataan ini, kian mencemaskan para sesepuh Lewohala. Beberapa
tokoh adat mencemaskan akan hilangnya budaya asli Lewohala ini. Menurut
mereka, memudarnya kearifan lokal orang Lewohala, selalu didiskusikan
dalam setiap momen pesta kacang, namun hingga kini belum ada sebuah
tindakan nyata untuk mengembalikan kejayaan budaya masa lampau ini.
“Saya sadar kalau sekarang ini, banyak keaslian budaya di kampung
ini mulai berubah mengikuti perkembangan zaman. Karena itu ada semacam
ketakutan pribadi saya, jangan sampai generasi berikutnya tidak lagi
mempertahankan budaya pesta kacang sebagai warisan leluhur,” ujar
pemangku adat Lewohala, Stefanus Lodan Halimaking.
Ketakutan pemangku adat ini, sebenarnya sudah menjadi kegelisahan
bersama orang Lewohala, bahkan mereka sadar jika ketidakberdayaan untuk
menghadapi tekanan zaman, sama saja dengan melecehkan budaya sendiri.
Apalagi, perubahan itu terjadi ditengah gencarnya kampanye
pariwisata oleh Pemerintah Kabupaten Lembata. Situs rumah adat Lewohala,
bahkan ditetapkan menjadi salah satu destinasi unggulan di Kabupaten
Lembata.
“Memang zaman sudah berubah, tetapi sebagai manusia berbudaya,
mestinya kita harus menjaga dan melestarikan budaya. Jika rumah adat
sebagai simbol budaya Lewohala digantikan dengan bahan buatan pabrik,
itu sama saja dengan kita merusak budaya sendiri,” ucap Gabriel Lele
Soromaking diamini tokoh adat lainnya.
Peran Bele Raya
Bele Raya (pemimpin) Lewohala teridiri dari empat suku yakni, Hali
Making, Soro Making, Dulimaking, dan Domaking. Empat suku ini, memainkan
peran penting untuk menjalin keutuhan dan kelestarian budaya Lewohala.
Bele Raya pada zaman dahulu, -sebelum hadir pemerintahan modern-
tampil sebagai orang yang sangat disegani. Hal yang disampaikan adalah
titah yang wajib dilaksanakan oleh rakyatnya. Dalam hal menyelesaikan
sengketa antar warga misalnya, Bele Raya punya cara sendiri untuk
menyelesaikannya. Keputusan yang diambil, adalah keputusan yang benar
berdasar asas keadilan.
Keputusan yang dibuat, diterima sebagai kebenaran bersama dan
karena itu tidak menimbulkan dendam antar sesama warga karena pembuktian
akan kebenaran itu dilakukan melalui ritual adat.
Begitu juga dengan urusan pemerintahan, perintah diturunkan secara
berjenjang. Awalnya perintah diturunkan oleh Raya kepada kepada Bele,
dan selanjutnya Bele melanjutkan perintah itu kepada masyarakat. Raya
bahkan tak pernah berurusan dengan masyarakat.
Bele Raya, bahkan membagi peran kepada semua suku yang berada di
bawah naungan pemerintahan mereka, ibarat membagi divisi dalam sebuah
struktur organisasi modern. Setiap devisi bertanggung jawab langsung
kepada Bele Raya. Menariknya, peran yang dibagikan Bele Raya tidak bisa
diambil oleh suku lain.
Jika ada yang merampas peran, suku tersebut akan mendapat bala, bahkan dapat berakibat kematian.
Namun demikian, sering perkembangan zaman dan perubahan politik
negara, peran Bele Raya tergantikan oleh pemerintahan modern, di mana
pada tingkat desa dipimpin oleh seorang kepala desa dengan
perangkat-perangkat pemerintahan di bawahnya.
“Kondisi sekarang berbeda dengan di masa lampau, masa Orde Lama,
hingga Orde Baru. Dulu pemerintahan desa sangat kuat, keadaan itu
berbeda dengan sekarang, pemerintahan kepala desa sangat rapuh. Salah
satu penyebabnya adalah tidak ada dukungan atau restu dari Bele Raya,”
ujar Marsel Tuan, tokoh adat di Desa Jontona.
Menurutnya, restu Bele Raya adalah restu leluhur “Lewotana”
(kampung halaman), Marsel dalam kesempatan itu, mengungkap beberapa
fakta, di mana pemerintahan masa lampau di Desa Jontona bahkan bertahan
hingga beberapa periode, di mana saat itu kepala desa berasal dari
kalangan Bele Raya.
Bele Raya yang tergantikan oleh pemerintahan modern, ternyata juga
berdampak negatif terhadap peran Bele Raya sebagai pemangku adat dalam
sebuah komunitas adat. Betapa tidak, berbagai persoalan di desa yang
berhubungan dengan urusan adat, diambil alih oleh kepala desa.
Akibatnya, banyak hal yang diputuskan oleh kepala desa ditentang
rakyatnya sendiri. Bahkan dalam urusan penyelesaian sengketa misalnya,
kemudian menimbulkan dendam yang berkepanjangan. Jika “pencaplokan”
peran itu terus terjadi, maka dikhawatirkan, kekayaan budaya Lewohala
akan sirna. (*)
Penulis: Yogi Making
- See more at: http://www.floresbangkit.com/2013/10/dan-kampung-adat-lewohala-pun-bersalih-rupa/#sthash.xXo08IKg.dpuf
Meski
dianggap sebuah keniscayaan, modernitas perlahan tapi pasti terus
menggerus budaya lokal, tak terkecuali di Kampung Adat Lewohala.
Bagaimana perubahan perilaku sosial yang terjadi di sana?
SITUS Kampung Adat Lewohala secara geografis berlokasi di Desa
Jontona, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata. Dengan jarak tempuh
dari Desa Jontona sekitar 3 kilo meter, sedangkan dari kota Lewoleba
(Ibu Kota Kabupaten Lembata), mencapai 20-an kilo meter.
Kampung tua Lewohala, merupakan kampung adat tempat digelarnya
pesta kacang, ritual tahunan yang digelar untuk mensyukuri anugrah dari
Yang Maha Kuasa yang di erima anak keturunan Lewohala. Masyarakat adat
Lewohala, dapat dikatakan bagian dari tidak banyak kearifan lokal yang
masih “tersisa” di Kabupaten Lembata.
Ketangguhan iman masyarakatan adat Lewohala untuk tetap
mempertahankan budaya “werung lolong” (pesta kacang) misalnya, adalah
sebuah kehebatan yang jarang dimiliki oleh masyakat modern. Namun, entah
disadari atau tidak, arus modernisasi dengan segala aspek positif dan
negatifnya, telah menimbulkan perubahan perilaku sosial bahkan
berpengaruh pada perubahan pola pikir masyakat.
Tidak terkecuali di pelosok desa sekali pun. Dan, masyarakat adat
Lewohala yang dahulunya patuh terhadap nilai adat, lambat laun
dihanyutkan oleh derasnya arus modernisasi.
Betapa tidak, sebagaimana disaksikan FBC, Kamis
(24/10/2013), banyak keaslian budaya Lewohala sebagai warisan berharga
para pendahulu kian memudar, bahkan terkesan tidak lagi dijaga
keasliannya.
Dari 77 rumah adat di kampung asli orang Lewohala ini, ada beberapa
rumah yang bersalih rupa secara drastis. Walau tetap mempertahankan
bentuk aslinya, namun bahan pembuat rumah yang sejatinya dari kayu dan
bambu kini tergantikan dengan balok-balok beton, bagitu juga dengan
bahan atap. Seng menggantikan daun kelapa dan alang-alang sebagai
penutup rumah.
Perubahan mengikuti arus jaman itu, ternyata juga tampak pada cara
orang Lewohala berbusana. Jika dahulu, kaum hawanya membalut tubuh
dengan sarung tenunan sendiri, kini busana ketat buatan pabrik
menggantikan sarung. Bahkan, kebare (anak gadis) Lewohala tak lagi pandai menjalin benang menjadi sarung.
Terkikis lalu Hilang
Kekayaan budaya Lewohala lain yang juga semakin terkikis zaman
adalah, kesenian Oha Sole, dan Hamang, dua tarian tradsional yang syarat
makna ini, kini mulai hilang. Generasi Lewohala yang lahir sebelum
tahun 1970-an tak banyak lagi, bahkan dapat dikatakan tak ada yang tahu
menyanyikan lagu Oreng, syair syarat makna, yang dinyanyikan saat menarikan Oha Sole.
Generasi sekarang, bahkan lebih menggandrungi budaya luar, budaya
asli Lewohala ditinggalkan. Komentar beberapa tokoh Lewohala kepada FBC, orang muda hanya bisa menjadi penonton, ketika para sepuhnya menarikan Sole Oha.
Kenyataan ini, kian mencemaskan para sesepuh Lewohala. Beberapa
tokoh adat mencemaskan akan hilangnya budaya asli Lewohala ini. Menurut
mereka, memudarnya kearifan lokal orang Lewohala, selalu didiskusikan
dalam setiap momen pesta kacang, namun hingga kini belum ada sebuah
tindakan nyata untuk mengembalikan kejayaan budaya masa lampau ini.
“Saya sadar kalau sekarang ini, banyak keaslian budaya di kampung
ini mulai berubah mengikuti perkembangan zaman. Karena itu ada semacam
ketakutan pribadi saya, jangan sampai generasi berikutnya tidak lagi
mempertahankan budaya pesta kacang sebagai warisan leluhur,” ujar
pemangku adat Lewohala, Stefanus Lodan Halimaking.
Ketakutan pemangku adat ini, sebenarnya sudah menjadi kegelisahan
bersama orang Lewohala, bahkan mereka sadar jika ketidakberdayaan untuk
menghadapi tekanan zaman, sama saja dengan melecehkan budaya sendiri.
Apalagi, perubahan itu terjadi ditengah gencarnya kampanye
pariwisata oleh Pemerintah Kabupaten Lembata. Situs rumah adat Lewohala,
bahkan ditetapkan menjadi salah satu destinasi unggulan di Kabupaten
Lembata.
“Memang zaman sudah berubah, tetapi sebagai manusia berbudaya,
mestinya kita harus menjaga dan melestarikan budaya. Jika rumah adat
sebagai simbol budaya Lewohala digantikan dengan bahan buatan pabrik,
itu sama saja dengan kita merusak budaya sendiri,” ucap Gabriel Lele
Soromaking diamini tokoh adat lainnya.
Peran Bele Raya
Bele Raya (pemimpin) Lewohala teridiri dari empat suku yakni, Hali
Making, Soro Making, Dulimaking, dan Domaking. Empat suku ini, memainkan
peran penting untuk menjalin keutuhan dan kelestarian budaya Lewohala.
Bele Raya pada zaman dahulu, -sebelum hadir pemerintahan modern-
tampil sebagai orang yang sangat disegani. Hal yang disampaikan adalah
titah yang wajib dilaksanakan oleh rakyatnya. Dalam hal menyelesaikan
sengketa antar warga misalnya, Bele Raya punya cara sendiri untuk
menyelesaikannya. Keputusan yang diambil, adalah keputusan yang benar
berdasar asas keadilan.
Keputusan yang dibuat, diterima sebagai kebenaran bersama dan
karena itu tidak menimbulkan dendam antar sesama warga karena pembuktian
akan kebenaran itu dilakukan melalui ritual adat.
Begitu juga dengan urusan pemerintahan, perintah diturunkan secara
berjenjang. Awalnya perintah diturunkan oleh Raya kepada kepada Bele,
dan selanjutnya Bele melanjutkan perintah itu kepada masyarakat. Raya
bahkan tak pernah berurusan dengan masyarakat.
Bele Raya, bahkan membagi peran kepada semua suku yang berada di
bawah naungan pemerintahan mereka, ibarat membagi divisi dalam sebuah
struktur organisasi modern. Setiap devisi bertanggung jawab langsung
kepada Bele Raya. Menariknya, peran yang dibagikan Bele Raya tidak bisa
diambil oleh suku lain.
Jika ada yang merampas peran, suku tersebut akan mendapat bala, bahkan dapat berakibat kematian.
Namun demikian, sering perkembangan zaman dan perubahan politik
negara, peran Bele Raya tergantikan oleh pemerintahan modern, di mana
pada tingkat desa dipimpin oleh seorang kepala desa dengan
perangkat-perangkat pemerintahan di bawahnya.
“Kondisi sekarang berbeda dengan di masa lampau, masa Orde Lama,
hingga Orde Baru. Dulu pemerintahan desa sangat kuat, keadaan itu
berbeda dengan sekarang, pemerintahan kepala desa sangat rapuh. Salah
satu penyebabnya adalah tidak ada dukungan atau restu dari Bele Raya,”
ujar Marsel Tuan, tokoh adat di Desa Jontona.
Menurutnya, restu Bele Raya adalah restu leluhur “Lewotana”
(kampung halaman), Marsel dalam kesempatan itu, mengungkap beberapa
fakta, di mana pemerintahan masa lampau di Desa Jontona bahkan bertahan
hingga beberapa periode, di mana saat itu kepala desa berasal dari
kalangan Bele Raya.
Bele Raya yang tergantikan oleh pemerintahan modern, ternyata juga
berdampak negatif terhadap peran Bele Raya sebagai pemangku adat dalam
sebuah komunitas adat. Betapa tidak, berbagai persoalan di desa yang
berhubungan dengan urusan adat, diambil alih oleh kepala desa.
Akibatnya, banyak hal yang diputuskan oleh kepala desa ditentang
rakyatnya sendiri. Bahkan dalam urusan penyelesaian sengketa misalnya,
kemudian menimbulkan dendam yang berkepanjangan. Jika “pencaplokan”
peran itu terus terjadi, maka dikhawatirkan, kekayaan budaya Lewohala
akan sirna. (*)
Penulis: Yogi Making
- See more at: http://www.floresbangkit.com/2013/10/dan-kampung-adat-lewohala-pun-bersalih-rupa/#sthash.xXo08IKg.dpuf
0 komentar:
Posting Komentar