Guru Harus menjadi Pengajar dan Penjaga Moral
(Tulisan ini sudah dipublikasikan penulis di SKH Timor Express
Senin, 25 November 2013)
Berbicara
pendidikan, tentu tidak terlepas dari peran salah satu unsur pentingnya, yaitu
guru. Guru memang bukan satu-satunya elemen penentu keberhasilan pendidikan.
Namun, tidak berlebihan apabila dikatakan guru adalah kunci utama pendidikan.
Guru menempati posisi penting dan sentral dalam pendidikan. Berhasil tidaknya
pendidikan sangat ditentukan oleh guru.
Filosofi
Pendidikan di Indonesia telah memberikan peran ganda kepada guru. Ada tiga
tugas penting yang harus diemban oleh seorang guru, yaitu mengajarkan ilmu,
membentuk karakter yang mulia, serta menanam optimisme dan cita-cita positif.
Selain, mentransfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kepada peserta didik, guru
juga dituntut untuk menjadi penjaga moral peserta didik. Dengan ini, peran guru
merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pembangunan pendidikan.
Berbicara
mengenai guru, ada banyak hal yang dapat diungkap, ada banyak sisi yang dapat
disoroti. Mulai dari masalah kesejahteraan, distribusi, sampai dengan masalah
kualitas. Dulu, keberadaan guru selalu penuh dengan ironi yang memprihatinkan,
hidup pas-pasan dan terkadang harus terseok-seok menghidupi diri dan
keluarganya. Ironi itu perlahan namun pasti mulai dipupus pemerintah lewat
alokasi anggaran negara untuk sektor pendidikan termasuk program sertifikasi
guru.
Pada tataran perjuangan kesejahteraan, mungkin problem guru sedikit
teratasi. Itu artinya bahwa sekarang menjadi guru bukan lagi pilihan yang
dilematis melainkan sebuah pilihan yang prestisius. Jika dulu guru berjalan
dalam kesunyian, kini guru berjalan dengan tubuh tegak berdiri. Memang tak
cukup hanya ‘Hymne Guru’, tak cukup rasanya hanya penghargaan ‘batin’, maka
penghargaan materi pun harus pula diperhatikan. Agar tak ada lagi cerita, guru
jadi tukang ojek, guru merangkap jadi buruh, bahkan pemulung. Agar mereka dapat
berkonsentrasi terhadap perkembangan anak didiknya, agar mereka dapat
berkonsentrasi menyiapkan generasi baru bangsa ini.
Ketika
kesejahteraan telah diupayakan dan kian disempurnakan, permasalahan guru tak
berarti selesai. Kita masih perlu merefleksikan banyak hal tentang guru. Kita
tidak lagi bicara soal gelapnya kesejahteraan guru karena matahari telah
menampakkan sinarnya. Permasalahan guru saat ini tak hanya soal kesejahteran,
tapi lebih dari itu. Bagaimana mencari guru yang sejati di negeri ini. Guru
yang benar-benar menjadi ’guru’.
Diakui
atau tidak, hemat penulis, dewasa ini peran guru telah mengalami distorsi yang
cukup parah. Guru lebih banyak berperan sebagai “tukang” yang menjual jasa.
Sementara peserta didik, adalah orang menerima jasa untuk menjadi pintar.
Atau
dalam bahasa yang lebih ekstrim, bahwa pendidikan kita dewasa ini, memiliki
kecenderungan ibarat sebuah transaksi bisnis. Ada yang menjual jasa pendidikan
dan ada yang membelinya. Anehnya, pendidikan lebih mengejar pada aspek
materialis. dan telah meninggalkan aspek idealis.
Di
tengah absurditas peran guru tersebut, agaknya perlu kita pertanyakan kembali
kepada guru ini. Apa sebetulnya, yang menjadi alasan mereka memilih bekerja
menjadi guru. Ada sebagian guru yang menjawab, daripada menjadi sarjana
pengangguran, lebih baik jadi guru. Sebagian lagi menjawab, hanya untuk
coba-coba saja, iseng. Yang sedikit lebih “hebat” alasan memilih menjadi guru,
ingin mencari kesenangan. Karena pekerjaan sangat ringan, tak rumit palagi
ruwet, hanya cuap-cuap, dapat gaji, dan panjang masa liburannya.
Ada juga menjawab, gaji guru besar. Kalau
guru telah disertifikasi, gaji menjadi dua kali lipat. Hampir tidak ada yang
menjawab, jadi guru supaya dapat mengabdi untuk mendidik anak bangsa supaya
cerdas, berakhlak mulia dan mandiri serta mendapat pahala dari Allah.
Saat
ini banyak yang masuk dalam dunia pendidikkan atau yang mengambil kuliah
jurusan FKIP (fakultas keguruan dan ilmu Pendidikkan) bukan berdasarkan hati
nuraninya namun lebih kepada pertimbangan materi dikemudian hari bagaiman
jurusan Guru adalah profesi yang menjanjikan dan akan mudah untuk bekerja dan
menjadi PNS (pegawai nunggu Sore) dan ini yang menjadi awal mengapa banyak guru
yang kurang berkualitas di negara ini.
Ini
adalah sebuah penyakit bangsa ini, ketika matrealisme menjadi sebuah tujan
utama maka hasil yang diperolehpun akan sama, siswa yang ditetaskan pun akan
memiliki naluri yang pemikiran yang sama, yaitu mereka tidak akan memiliki rasa
sebagai seorang siswa namun hanya sebagai sebuah alasan untuk mendapatkan
Ijazah dan nilai yang baik, tanpa melihat pemahaman yang akan diturnkan dan
diaplikasikan dimasyarakat. Artinya tidak ada proses pendidikkan seperti dalam
tridharma perguruan tingi.
Menjadi
guru adalah sebuah laku misi yang penuh dengan moralitas. dan idealitas.
Menjadi guru harus punya spirit excellence atau ruh untuk mendidik, ruh
perubahan dan pencerahan. Ruh di sini sesuatu yang lahir berasal dari
idealisme, dari pergulatan batin untuk mendidik anak-anak bangsa. Tanpa ada
ruh, perbuatan mendidik anak bangsa,
hanya ibarat tugas rutinitas belaka. Guru yang tidak punya ruh dan
idealisme, hanya bekerja setengah-setengah dan asal-asalan.
Ilmu
yang diajarkan dan tingkah laku yang “dipertontonkan” guru pada anak didik,
sebenarnya, muncul dari hati nurani yang dalam setelah terlebih dahulu
mengalami proses akumulasi atau kristalisasi. Bagaimana ilmu dan tingkah laku
yang bernas bisa lahir, kalau gurunya tidak memiliki ruh (misi idealisme).
Kalau sang guru itu, menyadari posisinya dan pekerjaannya sebagai amanah, tugas
suci, dan misinya sangat sakral. Guru tentu lebih mengutamakan pengabdian
tulus, tanpa syarat apa lagi dengan embel-embel materi.
Perubahan
zaman menuntut guru untuk terus meningkatkan kompetensi diri. Guru tak bisa
lagi berpangku tangan bila tak ingin tergerus zaman. Selain berupaya melakukan
peningkatan penguasaan ilmu, seorang guru juga harus memiliki kecintaan
terhadap profesinya. Guru juga harus peka terhadap kebutuhan pendidikan saat
ini. Guru harus memiliki jiwa pembaharu mengingat guru merupakan agen perubahan
ke arah yang lebih baik. Guru harus berupaya untuk menunjukkan etos dan
totalitas dalam mengajar dan mendidik.
Moment
Hari Guru Nasional yang jatuh 25 November kali ini, patut kiranya kita merenung
kembali hakikat menjadi seorang guru. Guru akan dikenang dan dihormati apabila kehadirannya
bermanfaat bagi orang lain dan tingkah laku serta ajarannya memiliki spirit
effect yang besar terhadap anak didik dan masyarakat.
Kalau ini, tidak terjadi,
lebih baik jangan menjadi guru. Bagi yang bermental separuh jadi guru atau
tidak menjadi guru power full, juga tak berkeinginan untuk mengembangkan
dirinya untuk memberikan perubahan dan pencerahan kepada anak didik dan
masyarakatnya, dari sekarang ucapkan selamat tinggal menjadi guru.
Pendidikan
yang baik hanya dapat terwujud di tangan guru-guru yang berkualitas, kreatif,
berdedikasi dan berintegritas tinggi. Menjadi guru ala kadarnya, akan
menghasilkan kemampuan anak didik ala kadarnya pula. Sesungguhnya, pesaing
utama seorang guru bukanlah guru lain di sekitarnya, tetapi perubahan zaman. Oleh
karena itu, guru yang luar biasa adalah guru yang selalu belajar dan terus
belajar.
Menjadi
guru ala kadarnya, akan menghasilkan kemampuan anak didik ala kadarnya pula.
Teringat ucapan Aristoteles, filsuf berkebangsaan Yunani, “Berusaha, bekerja,
dan berbuat demi kesenangan semata adalah perbuatan yang bodoh dan sungguh
kekanak-kanakan. Kalau guru bermental setengah-setengah (non power full) dan
hanya mencari kesenangan semata, pendidikan akan menjadi belenggu. Guru seperti
itu akan membungkam nilai-nilai kemanusian yang terkandung dalam pendidikan.
Sehingga ujung-ujungnya perkembangan manusia menjadi absurd, abnormal, dan
peradabannya menjadi peradaban yang tidak sesuai dengan hakikat kemanusian.
Akhirnya perlu selektifitas dari setiap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
dalam menerima calon guru agar menghasilkan tenaga
pendidik yang memiliki jiwa moral yang terbaik dan menjalankan profesi sebagai
sebuah panggilan jiwa seperti Kihajar Dewantara, bukan sebuah profesi
matrealisme, dan lulus dalam jurusan pendidikkan sebagai seorang yang memiliki
deret moral sebagai standarisasinya, bukan hanya akademik karena mendidik dan
pendidikkan bukan hanya akademik tapi juga moral, bukan hanya IQ namun juga EQ,
SQ, dan RQ. Karena kenyataan selama ini banyak yang lulus dari segi akademik
tapi masih banyak pula yang tidak lulus dari segi etika profesinya. SELAMAT
HARI GURU.
0 komentar:
Posting Komentar