Post views: counter

Jumat, 18 Juli 2014

Guru Harus menjadi Pengajar dan Penjaga Moral

Guru Harus menjadi Pengajar dan Penjaga Moral
Mahasiswa Universitas PGRI NTT- FKIP Bahasa & Sastra Indonesia

 
Oleh: Igo Halimaking
(Tulisan ini sudah dipublikasikan penulis di SKH Timor Express
Senin, 25 November 2013)

Berbicara pendidikan, tentu tidak terlepas dari peran salah satu unsur pentingnya, yaitu guru. Guru memang bukan satu-satunya elemen penentu keberhasilan pendidikan. Namun, tidak berlebihan apabila dikatakan guru adalah kunci utama pendidikan. Guru menempati posisi penting dan sentral dalam pendidikan. Berhasil tidaknya pendidikan sangat ditentukan oleh guru.
Filosofi Pendidikan di Indonesia telah memberikan peran ganda kepada guru. Ada tiga tugas penting yang harus diemban oleh seorang guru, yaitu mengajarkan ilmu, membentuk karakter yang mulia, serta menanam optimisme dan cita-cita positif. Selain, mentransfer ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kepada peserta didik, guru juga dituntut untuk menjadi penjaga moral peserta didik. Dengan ini, peran guru merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pembangunan pendidikan.
Berbicara mengenai guru, ada banyak hal yang dapat diungkap, ada banyak sisi yang dapat disoroti. Mulai dari masalah kesejahteraan, distribusi, sampai dengan masalah kualitas. Dulu, keberadaan guru selalu penuh dengan ironi yang memprihatinkan, hidup pas-pasan dan terkadang harus terseok-seok menghidupi diri dan keluarganya. Ironi itu perlahan namun pasti mulai dipupus pemerintah lewat alokasi anggaran negara untuk sektor pendidikan termasuk program sertifikasi guru.
Pada tataran perjuangan kesejahteraan, mungkin problem guru sedikit teratasi. Itu artinya bahwa sekarang menjadi guru bukan lagi pilihan yang dilematis melainkan sebuah pilihan yang prestisius. Jika dulu guru berjalan dalam kesunyian, kini guru berjalan dengan tubuh tegak berdiri. Memang tak cukup hanya ‘Hymne Guru’, tak cukup rasanya hanya penghargaan ‘batin’, maka penghargaan materi pun harus pula diperhatikan. Agar tak ada lagi cerita, guru jadi tukang ojek, guru merangkap jadi buruh, bahkan pemulung. Agar mereka dapat berkonsentrasi terhadap perkembangan anak didiknya, agar mereka dapat berkonsentrasi menyiapkan generasi baru bangsa ini.
Ketika kesejahteraan telah diupayakan dan kian disempurnakan, permasalahan guru tak berarti selesai. Kita masih perlu merefleksikan banyak hal tentang guru. Kita tidak lagi bicara soal gelapnya kesejahteraan guru karena matahari telah menampakkan sinarnya. Permasalahan guru saat ini tak hanya soal kesejahteran, tapi lebih dari itu. Bagaimana mencari guru yang sejati di negeri ini. Guru yang benar-benar menjadi ’guru’.
Diakui atau tidak, hemat penulis, dewasa ini peran guru telah mengalami distorsi yang cukup parah. Guru lebih banyak berperan sebagai “tukang” yang menjual jasa. Sementara peserta didik, adalah orang menerima jasa untuk menjadi pintar.
Atau dalam bahasa yang lebih ekstrim, bahwa pendidikan kita dewasa ini, memiliki kecenderungan ibarat sebuah transaksi bisnis. Ada yang menjual jasa pendidikan dan ada yang membelinya. Anehnya, pendidikan lebih mengejar pada aspek materialis. dan telah meninggalkan aspek idealis.
Di tengah absurditas peran guru tersebut, agaknya perlu kita pertanyakan kembali kepada guru ini. Apa sebetulnya, yang menjadi alasan mereka memilih bekerja menjadi guru. Ada sebagian guru yang menjawab, daripada menjadi sarjana pengangguran, lebih baik jadi guru. Sebagian lagi menjawab, hanya untuk coba-coba saja, iseng. Yang sedikit lebih “hebat” alasan memilih menjadi guru, ingin mencari kesenangan. Karena pekerjaan sangat ringan, tak rumit palagi ruwet, hanya cuap-cuap, dapat gaji, dan panjang masa liburannya. 
Ada juga menjawab, gaji guru besar. Kalau guru telah disertifikasi, gaji menjadi dua kali lipat. Hampir tidak ada yang menjawab, jadi guru supaya dapat mengabdi untuk mendidik anak bangsa supaya cerdas, berakhlak mulia dan mandiri serta mendapat pahala dari Allah.
Saat ini banyak yang masuk dalam dunia pendidikkan atau yang mengambil kuliah jurusan FKIP (fakultas keguruan dan ilmu Pendidikkan) bukan berdasarkan hati nuraninya namun lebih kepada pertimbangan materi dikemudian hari bagaiman jurusan Guru adalah profesi yang menjanjikan dan akan mudah untuk bekerja dan menjadi PNS (pegawai nunggu Sore) dan ini yang menjadi awal mengapa banyak guru yang kurang berkualitas di negara ini.
Ini adalah sebuah penyakit bangsa ini, ketika matrealisme menjadi sebuah tujan utama maka hasil yang diperolehpun akan sama, siswa yang ditetaskan pun akan memiliki naluri yang pemikiran yang sama, yaitu mereka tidak akan memiliki rasa sebagai seorang siswa namun hanya sebagai sebuah alasan untuk mendapatkan Ijazah dan nilai yang baik, tanpa melihat pemahaman yang akan diturnkan dan diaplikasikan dimasyarakat. Artinya tidak ada proses pendidikkan seperti dalam tridharma perguruan tingi.
Menjadi guru adalah sebuah laku misi yang penuh dengan moralitas. dan idealitas. Menjadi guru harus punya spirit excellence atau ruh untuk mendidik, ruh perubahan dan pencerahan. Ruh di sini sesuatu yang lahir berasal dari idealisme, dari pergulatan batin untuk mendidik anak-anak bangsa. Tanpa ada ruh, perbuatan mendidik anak bangsa,  hanya ibarat tugas rutinitas belaka. Guru yang tidak punya ruh dan idealisme, hanya bekerja setengah-setengah dan asal-asalan.
Ilmu yang diajarkan dan tingkah laku yang “dipertontonkan” guru pada anak didik, sebenarnya, muncul dari hati nurani yang dalam setelah terlebih dahulu mengalami proses akumulasi atau kristalisasi. Bagaimana ilmu dan tingkah laku yang bernas bisa lahir, kalau gurunya tidak memiliki ruh (misi idealisme). Kalau sang guru itu, menyadari posisinya dan pekerjaannya sebagai amanah, tugas suci, dan misinya sangat sakral. Guru tentu lebih mengutamakan pengabdian tulus, tanpa syarat apa lagi dengan embel-embel materi.
Perubahan zaman menuntut guru untuk terus meningkatkan kompetensi diri. Guru tak bisa lagi berpangku tangan bila tak ingin tergerus zaman. Selain berupaya melakukan peningkatan penguasaan ilmu, seorang guru juga harus memiliki kecintaan terhadap profesinya. Guru juga harus peka terhadap kebutuhan pendidikan saat ini. Guru harus memiliki jiwa pembaharu mengingat guru merupakan agen perubahan ke arah yang lebih baik. Guru harus berupaya untuk menunjukkan etos dan totalitas dalam mengajar dan mendidik.
Moment Hari Guru Nasional yang jatuh 25 November kali ini, patut kiranya kita merenung kembali hakikat menjadi seorang guru. Guru akan dikenang dan dihormati apabila kehadirannya bermanfaat bagi orang lain dan tingkah laku serta ajarannya memiliki spirit effect yang besar terhadap anak didik dan masyarakat.
 Kalau ini, tidak terjadi, lebih baik jangan menjadi guru. Bagi yang bermental separuh jadi guru atau tidak menjadi guru power full, juga tak berkeinginan untuk mengembangkan dirinya untuk memberikan perubahan dan pencerahan kepada anak didik dan masyarakatnya, dari sekarang ucapkan selamat tinggal menjadi guru.
Pendidikan yang baik hanya dapat terwujud di tangan guru-guru yang berkualitas, kreatif, berdedikasi dan berintegritas tinggi. Menjadi guru ala kadarnya, akan menghasilkan kemampuan anak didik ala kadarnya pula. Sesungguhnya, pesaing utama seorang guru bukanlah guru lain di sekitarnya, tetapi perubahan zaman. Oleh karena itu, guru yang luar biasa adalah guru yang selalu belajar dan terus belajar.
Menjadi guru ala kadarnya, akan menghasilkan kemampuan anak didik ala kadarnya pula. Teringat ucapan Aristoteles, filsuf berkebangsaan Yunani, “Berusaha, bekerja, dan berbuat demi kesenangan semata adalah perbuatan yang bodoh dan sungguh kekanak-kanakan. Kalau guru bermental setengah-setengah (non power full) dan hanya mencari kesenangan semata, pendidikan akan menjadi belenggu. Guru seperti itu akan membungkam nilai-nilai kemanusian yang terkandung dalam pendidikan. Sehingga ujung-ujungnya perkembangan manusia menjadi absurd, abnormal, dan peradabannya menjadi peradaban yang tidak sesuai dengan hakikat kemanusian.
Akhirnya perlu selektifitas dari setiap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam menerima calon guru agar menghasilkan tenaga pendidik yang memiliki jiwa moral yang terbaik dan menjalankan profesi sebagai sebuah panggilan jiwa seperti Kihajar Dewantara, bukan sebuah profesi matrealisme, dan lulus dalam jurusan pendidikkan sebagai seorang yang memiliki deret moral sebagai standarisasinya, bukan hanya akademik karena mendidik dan pendidikkan bukan hanya akademik tapi juga moral, bukan hanya IQ namun juga EQ, SQ, dan RQ. Karena kenyataan selama ini banyak yang lulus dari segi akademik tapi masih banyak pula yang tidak lulus dari segi etika profesinya. SELAMAT HARI GURU.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support