Mahasiswa
FKIP Bahasa & Sastra Indonesia Universitas PGRI NTT
(Tulisan ini sudah dipublikasikan penulis di SKH Timor Express
Selasa, 08 Juli 2014)
Kebobrokan moral bangsa
ini rupanya semakin menyeruak ke permukaan. Pelecehan seksual di lembaga
pendidikan semakin menjadi-jadi. Kasus pelecehan seksual oleh kepala sekolah
Kristoforus Mboko bersama guru bantunya Laurensius Lalong di SMPN 2 Nita
Maumere terhadap muridnya yang mengemuka berberapa waktu lalu menjadi tamparan
hebat untuk wajah pendididikan di Nusa Tenggara Timur. Kasus biadab yang
diperankan oleh guru di atas sudah menjadi bukti yang tak terbantahkan jika
bangsa ini telah mengalami keruntuhan moral yang seakan tidak terbendung lagi.
Pertanyaan yang
mendasar dan mengusik nurani kita adalah, mengapa seorang guru yang notabene,
terpelajar, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tata susila, dalam segala
tingkah laku dan perbuatan dapat bertindak amoral dan merendahkan martabat dan
harga dirinya sendiri? Jawabannya tentu saja bisa beragam, ada yang berpendapat
bahwa profesi acapkali terdak berkait dengan urusan moralitas. Hal ini sudah
banyak sekali contohnya, misalnya kalangan kejaksaan, kehakiman, dan penegak
hukum lainnya, yang notabene melek masalah hukum justru melakukan
tindakan-tindakan melawan hukum seperti korupsi, suap, dan sebagainya. Hal ini
juga sama terjadi di kalangan wakil rakyat kita, yang semestinya benar-benar
sebagai tameng moral para pemimpin negeri ini, tapi anehnya juga tak luput dari
aroma busuk perselingkungan, korupsi, dan suap.
Menurut Maurice Duverger,
manusia cendrung berlomba-lomba untuk memuaskan diri di dunia, ada yang
berhasil, namun tak sedikit pula yang frustasi. Nah, rasa frustasi inilah yang yang
menjadi salah satu pemicu kemerosotan moral manusia yang menimbulkan
konflik-konflik kemanusiaan. Pada ranah yang lebih kecil, sikap frustasi bisa -
bisa membiak berubah menjadi perilaku menyimpang, amoral, melawan hukum, egois,
dan tidak mempedulikan pihak lain. Terlebih dalam jejaring ada pihak-pihak yang
berkuasa dan terdapat pihak-pihak yang dikuasai, akan sangat mudah memantik
perilaku atau tindakan-tindakan kekerasan, pelecehan, dan ancaman.
Lantas bagaimana dengan
guru-guru yang melakukan tindakan pelecehan seksual dan kekerasan? Kecil
kemungkinan hal itu disebabkan kenikmatan hidup yang bersifat kebendaan
(material), tapi lebih banyak disebabkan faktor-faktor individual yang bersifat
personal, seperti rasa tidak puas, frustasi, dan bisa jadi pengalaman semasa
kecil atau remaja yang pernah mengalami tindakan kekerasan maupun pelecehan seksual.
Banyak pakar psikologi yang mengungkapkan bahwa kasus-kasus sodomi para
pelakunya sebagian besar mengalami pengalaman pahit di masa kecil atau
remajanya.
Fakta lain yang
mendorong tindakan kekerasan dan pelecehan seksual adalah praksis pendidikan di
Tanah Air ini yang masih belum bisa memerdekakan siswa dan guru itu sendiri.
Meski sekarang kita memasuki era reformasi dan paradigma pendidikan yang tengah
berubah, tapi warisan pendidikan gaya orde baru yang bersifat Budaya Politik
Manipulatif dan Eksploitatif (Manipulatif and Exploitative Political Culture)
masih bercokol. Faktanya korupsi dan bentuk manipulasi di sekolah-sekolah masih
terjadi. Sementara praktik mengajar guru-guru di kelas masih memenjarakan
siswa, menerapkan hukuman, dan memposisikan guru sebagai penguasa kelas. Tak
mengherankan jika kemudian perilaku para guru menyimpang dari alurnya.
Ketika guru tidak bisa
memahami tugas dan peran yang diembannya, yang ada guru hanya mampu mentransfer
ilmu pengetahuan dan melupakan moralitas. Akibatnya, bangsa ini tidak mampu
melahirkan generasi penurus yang berkualitas dan berkarakter. Memang peradaban
bangsa akan maju dengan adanya pendidikan. Namun juga sebaliknya, sebuah bangsa
akan mengalami kehancuran jika dunia pendidikan diserahkan kepada pendidik yang
tak bermoral yang dengan tidak manusiawi melakukan pelecehan seksual terhadap
siswa
Benahi Moral Guru
Lantas apa yang harus
dibenahi menghadapi fenomena kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah-sekolah
oleh guru? Beberapa alternatif telah mengemuka seperti pengawasan dan supervisi
yang ketat terhadap para guru dan adanya tes psikologi dan mental secara berkala
bagi para guru. Tapi saya melihat hal itu bisa menimbulkan kecemasan berlebihan
di kalangan guru, mengganggu konsentrasi mengajar, dan acapkali bersifat
temporer. Padahal beban di pundak guru semakin berat, bahkan acapkali menjadi
kambing hitam dalam dunia pendidikan. Langkah komprehensif tentu saja berbagai
solusi tadi diimbangi dengan inovasi yang dilakukan PT pencetak para guru dan
stakeholder sekolah dengan menerapkan visi dan misi yang secara teknis
diejawantahkan dalam berbagai kegiatan yang mengasah sikap moral, empati,
pengenalan diri, dan demokrasi. Dengan cara demikian, akan melahirkan sosok
manusia yang menjunjung tinggi nilai dan moralitas di lingkungan sekolah, baik
di kalangan siswa dan guru dengan semangat memerdekakan siswa.
Guru yang memunyai
moralitas negative akan berimbas pada moralitas siswanya pula. Sejatinya,
sebagai guru harus menjadi panutan dan teladan bagi para siswanya, sebagaimana
asal kata guru itu sendiri: digugu dan ditiru. Sebagai guru, konsekuensinya
adalah harus mampu lebih dari yang bukan guru, khususnya dari sisi moralitas.
Guru sebagai profesi pembentuk karakter dan moral peserta didiknya tentu
dituntut untuk lebih memunyai kepekaan terhadap hal itu. Kapan dan dimanapun
guru berada, moralitasnya pasti selalu terpantau oleh masyarakat. Beberapa
kasus yang terjadi di republik ini tentang moralitas yang terabaikan oleh guru
mendapat posisi headline pada pemberitaan media cetak dan elektronik. Hal ini
wajar, karena guru sebagai profesi teladan akan sangat tabu jika memunyai
prilaku menyimpang dari moralitas. Jangankan yang berkaitan dengan kriminalitas
seperti pelecehan seksual atau tindak kekerasan, prilaku yang wajar untuk yang
bukan guru, dapat menjadi sesuatu yang tak wajar bagi seorang guru. Tertawa
terbahak-bahak, berpakaian ketat, merokok, dan lainnya merupakan contoh prilaku
yang jika dilakukan oleh guru maka terkesan tidak pantas, padahal jika bukan
guru masih menjadi prilaku yang wajar saja. Selain itu, sekarang dengan adanya
kesejahteraan guru lebih meningkat, maka item indikasi kurangnya moralitas guru
semakin bertambah. Guru harus semakin baik dari sisi moralitas dan akademik.
Hal itu berjalan seiring dengan semakin seriusnya perhatian masyarakat terhadap
guru. Banyaknya pelaporan orangtua siswa dan masyarakat terhadap prilaku guru
dalam proses pembelajaran di sekolah, merupakan bukti nyata hal tersebut.
Harapannya, tak ada
lagi kasus atau tindakan yang mencederai keanggunan guru sebagai profesi yang
menjunjung tinggi penegakan moralitas anak bangsa.Sebab saya khwatir sikap
skeptis Ivan Illich sekitar tiga puluh tahun lalu yang berkoar bahwa sekolah
tidak lagi berguna bagi masyarakat menjadi kenyataan. Sebab sudah banyak siswa
yang menjadi korban karena persekolahan. Sudah saatnya stop pelecehan oleh guru
di sekolah sekarang juga!
0 komentar:
Posting Komentar