Post views: counter

Jumat, 18 Juli 2014

KETIKA GURU TAK LAGI DIGUGU & DITIRU


KETIKA GURU TAK LAGI DIGUGU & DITIRU

Oleh Igo Halimaking 
Mahasiswa FKIP Bahasa & Sastra Indonesia Universitas PGRI NTT
(Tulisan ini sudah dipublikasikan penulis di SKH Timor Express
Selasa, 08 Juli 2014)

Kebobrokan moral bangsa ini rupanya semakin menyeruak ke permukaan. Pelecehan seksual di lembaga pendidikan semakin menjadi-jadi. Kasus pelecehan seksual oleh kepala sekolah Kristoforus Mboko bersama guru bantunya Laurensius Lalong di SMPN 2 Nita Maumere terhadap muridnya yang mengemuka berberapa waktu lalu menjadi tamparan hebat untuk wajah pendididikan di Nusa Tenggara Timur. Kasus biadab yang diperankan oleh guru di atas sudah menjadi bukti yang tak terbantahkan jika bangsa ini telah mengalami keruntuhan moral yang seakan tidak terbendung lagi.
Pertanyaan yang mendasar dan mengusik nurani kita adalah, mengapa seorang guru yang notabene, terpelajar, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tata susila, dalam segala tingkah laku dan perbuatan dapat bertindak amoral dan merendahkan martabat dan harga dirinya sendiri? Jawabannya tentu saja bisa beragam, ada yang berpendapat bahwa profesi acapkali terdak berkait dengan urusan moralitas. Hal ini sudah banyak sekali contohnya, misalnya kalangan kejaksaan, kehakiman, dan penegak hukum lainnya, yang notabene melek masalah hukum justru melakukan tindakan-tindakan melawan hukum seperti korupsi, suap, dan sebagainya. Hal ini juga sama terjadi di kalangan wakil rakyat kita, yang semestinya benar-benar sebagai tameng moral para pemimpin negeri ini, tapi anehnya juga tak luput dari aroma busuk perselingkungan, korupsi, dan suap.
Menurut Maurice Duverger, manusia cendrung berlomba-lomba untuk memuaskan diri di dunia, ada yang berhasil, namun tak sedikit pula yang frustasi. Nah, rasa frustasi inilah yang yang menjadi salah satu pemicu kemerosotan moral manusia yang menimbulkan konflik-konflik kemanusiaan. Pada ranah yang lebih kecil, sikap frustasi bisa - bisa membiak berubah menjadi perilaku menyimpang, amoral, melawan hukum, egois, dan tidak mempedulikan pihak lain. Terlebih dalam jejaring ada pihak-pihak yang berkuasa dan terdapat pihak-pihak yang dikuasai, akan sangat mudah memantik perilaku atau tindakan-tindakan kekerasan, pelecehan, dan ancaman.
Lantas bagaimana dengan guru-guru yang melakukan tindakan pelecehan seksual dan kekerasan? Kecil kemungkinan hal itu disebabkan kenikmatan hidup yang bersifat kebendaan (material), tapi lebih banyak disebabkan faktor-faktor individual yang bersifat personal, seperti rasa tidak puas, frustasi, dan bisa jadi pengalaman semasa kecil atau remaja yang pernah mengalami tindakan kekerasan maupun pelecehan seksual. Banyak pakar psikologi yang mengungkapkan bahwa kasus-kasus sodomi para pelakunya sebagian besar mengalami pengalaman pahit di masa kecil atau remajanya.
Fakta lain yang mendorong tindakan kekerasan dan pelecehan seksual adalah praksis pendidikan di Tanah Air ini yang masih belum bisa memerdekakan siswa dan guru itu sendiri. Meski sekarang kita memasuki era reformasi dan paradigma pendidikan yang tengah berubah, tapi warisan pendidikan gaya orde baru yang bersifat Budaya Politik Manipulatif dan Eksploitatif (Manipulatif and Exploitative Political Culture) masih bercokol. Faktanya korupsi dan bentuk manipulasi di sekolah-sekolah masih terjadi. Sementara praktik mengajar guru-guru di kelas masih memenjarakan siswa, menerapkan hukuman, dan memposisikan guru sebagai penguasa kelas. Tak mengherankan jika kemudian perilaku para guru menyimpang dari alurnya.
Ketika guru tidak bisa memahami tugas dan peran yang diembannya, yang ada guru hanya mampu mentransfer ilmu pengetahuan dan melupakan moralitas. Akibatnya, bangsa ini tidak mampu melahirkan generasi penurus yang berkualitas dan berkarakter. Memang peradaban bangsa akan maju dengan adanya pendidikan. Namun juga sebaliknya, sebuah bangsa akan mengalami kehancuran jika dunia pendidikan diserahkan kepada pendidik yang tak bermoral yang dengan tidak manusiawi melakukan pelecehan seksual terhadap siswa
Benahi Moral Guru
Lantas apa yang harus dibenahi menghadapi fenomena kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah-sekolah oleh guru? Beberapa alternatif telah mengemuka seperti pengawasan dan supervisi yang ketat terhadap para guru dan adanya tes psikologi dan mental secara berkala bagi para guru. Tapi saya melihat hal itu bisa menimbulkan kecemasan berlebihan di kalangan guru, mengganggu konsentrasi mengajar, dan acapkali bersifat temporer. Padahal beban di pundak guru semakin berat, bahkan acapkali menjadi kambing hitam dalam dunia pendidikan. Langkah komprehensif tentu saja berbagai solusi tadi diimbangi dengan inovasi yang dilakukan PT pencetak para guru dan stakeholder sekolah dengan menerapkan visi dan misi yang secara teknis diejawantahkan dalam berbagai kegiatan yang mengasah sikap moral, empati, pengenalan diri, dan demokrasi. Dengan cara demikian, akan melahirkan sosok manusia yang menjunjung tinggi nilai dan moralitas di lingkungan sekolah, baik di kalangan siswa dan guru dengan semangat memerdekakan siswa.
Guru yang memunyai moralitas negative akan berimbas pada moralitas siswanya pula. Sejatinya, sebagai guru harus menjadi panutan dan teladan bagi para siswanya, sebagaimana asal kata guru itu sendiri: digugu dan ditiru. Sebagai guru, konsekuensinya adalah harus mampu lebih dari yang bukan guru, khususnya dari sisi moralitas. Guru sebagai profesi pembentuk karakter dan moral peserta didiknya tentu dituntut untuk lebih memunyai kepekaan terhadap hal itu. Kapan dan dimanapun guru berada, moralitasnya pasti selalu terpantau oleh masyarakat. Beberapa kasus yang terjadi di republik ini tentang moralitas yang terabaikan oleh guru mendapat posisi headline pada pemberitaan media cetak dan elektronik. Hal ini wajar, karena guru sebagai profesi teladan akan sangat tabu jika memunyai prilaku menyimpang dari moralitas. Jangankan yang berkaitan dengan kriminalitas seperti pelecehan seksual atau tindak kekerasan, prilaku yang wajar untuk yang bukan guru, dapat menjadi sesuatu yang tak wajar bagi seorang guru. Tertawa terbahak-bahak, berpakaian ketat, merokok, dan lainnya merupakan contoh prilaku yang jika dilakukan oleh guru maka terkesan tidak pantas, padahal jika bukan guru masih menjadi prilaku yang wajar saja. Selain itu, sekarang dengan adanya kesejahteraan guru lebih meningkat, maka item indikasi kurangnya moralitas guru semakin bertambah. Guru harus semakin baik dari sisi moralitas dan akademik. Hal itu berjalan seiring dengan semakin seriusnya perhatian masyarakat terhadap guru. Banyaknya pelaporan orangtua siswa dan masyarakat terhadap prilaku guru dalam proses pembelajaran di sekolah, merupakan bukti nyata hal tersebut.
Harapannya, tak ada lagi kasus atau tindakan yang mencederai keanggunan guru sebagai profesi yang menjunjung tinggi penegakan moralitas anak bangsa.Sebab saya khwatir sikap skeptis Ivan Illich sekitar tiga puluh tahun lalu yang berkoar bahwa sekolah tidak lagi berguna bagi masyarakat menjadi kenyataan. Sebab sudah banyak siswa yang menjadi korban karena persekolahan. Sudah saatnya stop pelecehan oleh guru di sekolah sekarang juga!
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support