Post views: counter

Rabu, 01 April 2015

DEMORALISASI PELAJAR, REFLEKSI KELEMAHAN PENDIDIKAN

ilustrasi/net

Rasa galau, risau, miris dan prihatin terus membalut nurani penulis beberapa hari terakhir. Kegalauan, kerisauan, rasa miris dan rasa prihatin tersebut, bukan datang secara tiba-tiba, bukan pula sekedar berpura-pura. Perasaan yang datang ketika penulis membaca berita di media online floresa.co yang memberitakan hasil survei dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan lembaga non-profit OnTrack Media Indonesia (OTMI) merilis survei tentang perilaku seks remaja SMP dan SMA di beberapa kabupaten di NTT.

Betapa tidak, dalam survei ini ditemukan sebanyak 29,5 – 31,3 persen remaja NTT melakukan hubungan seks pranikah dan sekitar 60 persen di antaranya tanpa menggunakan alat pengaman. Yang lebih miris lagi, muncul fenomena bahwa siswa/i SMP dan SMA di NTT justru  bisa membuat film seks atau porno untuk kemudian dilombakan di antara mereka, ada juga siswa yang merasa  bangga jika berpacaran dengan tukang ojek atau sopir angkot.

Waoow, sebuah fenomena yang mengejutkan  dan tentunya menorehkan catatan hitam dalam perkembangan pendidikan di NTT. Fenomena ini, hemat penulis merupakan bagian dari demoralisasi di kalangan pelajar. Lalu apa faktor penyebab dan solusi dalam mengatasi perilaku pelajar tersebut?

Faktor  Penyebab
Dalam konteks persoalan ini, hemat penulis, ada beberapa faktor  penyebab diantaranya adalah Pertama, pengaruh media. Demoralisasi pelajar yang kian marak karena pengaruh media melalui tayangan-tayangan yang vulgar dan cenderung untuk lebih mengarahkan konsumennya ke arah pornografi dan pornoaksi. Tidak heran bila eksploitasi bentuk tubuh baik wanita maupun pria (terutama dari kalangan wanita) selalu menjadi ukuran dalam segala hal. Tidak sulit saat ini untuk mendapatkan gambar-gambar yang mempertontonkan bentuk tubuh lewat majalah  atau harian porno, menonton adegan-adegan kotor lewat VCD Porno, HP juga menjadi alat penyebar pornoaksi, penampilan iklan yang menunjukkan kemolekan tubuh. Pelayanan seks lewat telepon juga marak diiklankan dengan bebas dan amat vulgar. Itu semua menunjukkan bahwa pelajar saat ini telah dikelilingi oleh pornografi dan pornoaksi. Tidak heran pelajar pun ikut – ikutan meniru perilaku tersebut karena tidak bisa memiliki kemampuan filter yang baik.

Kedua, kelalaian sekolah. Pendidikan menurut M.J. Langeveld dalam Suyuthi (2005) adalah memberi pertolongan secara sadar dan segaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju kearah kedewasaan dalam arti dapat mandiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakan-tindakannya menurut pilihannya sendiri. Disini ada substansi utama yakni anak proses didik menjadi insan yang mandiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakannya. Pertanyaannya adalah bagaimana bila anak didik menyimpang dari susila dan bertindak menyimpang dari sikap terpuji yang diharapkan dalam pendidikan. Bila fenomena ini terjadi berarti ada indikasi kelemahan pendidikan dalam membentuk karakter perserta didik. Kondisi ini merupakan refleksi kelemahan pendidikan dalam membentuk karakter peserta didik. Ini salah satu bukti kegagalan sekolah dalam membentuk moral anak didiknya.

Ketiga, lemahnya pengawasan orang tua.  Kehidupan seorang pelajar/remaja pada dasarnya masih berada di bawah naungan kedua orang tua. Lantas kenapa demoralisasi itu terjadi jika para remaja masih berada di bawah naungan orang tuanya? Penyebabnya adalah pengawasan orang tua yang lemah. Orang tua akan lebih merasa bangga dan percaya ketika melihat anaknya sudah beranjak remaja dan mulai bisa menyelesaikan masalah-masalah kecil yang dihadapinya, padahal seharusnya orang tua harus mengawasi kehidupan labil seorang anak remaja. Masalah lain adalah orang tua yang gagap teknologi. Orang tua tidak bisa mengawasinya karena mereka tidak tahu apa saja yang dilakukan oleh anak-anaknya dengan perkembangan teknologi yang ada. Selama ini orang tua sering memanjakan anaknya dengan Keperluan alat komunikasi, misalnya HP tanpa mempertimbangkan dampak negatif dari HP. Dalam kasus ini terbukti, HP digunakan untuk kegiatan negatif. Mereka memanfaatkan HP dengan fasilitas rekaman video untuk mengabadikan aksi bejatnya  untuk koleksi peribadi. Dengan HP pula mereka dengan mudah dan cepat menyebarkan rekaman video itu kepada siswa yang lainnya.

Keempat, minimnya mata pelajaran moral di sekolah.  Sisi lain penyebab demoralisasi pelajar adalah minimnya mata pelajaran moral di sekolah. Kurikulum yang berlaku saat ini lebih memperioritaskan pelajaran yang berorientasi pada lifeskill daripada pelajaran moral. Mata pelajaran yang didalamnya banyak pelajaran moralnya, alokasi waktunya lebih sedikit jika dibandingkan dengan pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Matematika, fisika, biologi, ekonomi. Akibatnya, para guru hanya mengajar dengan orientasi bagaimana siswanya nanti dapat lulus ujian nasional dan dapat menembuas dunia kerja tanpa mempedulikan moral siswanya.

Solusi
Fenomena demoralisasi di kalangan pelajar tampak semakin meluas. Guna mengeliminasi demoralisasi, pendidikan karakter sangat diperlukan untuk dikembangkan dan untuk kebaikan masyarakat dan bangsa di masa depan. Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter (character education)  dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas, oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan karakter.

Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Olehya nilai-nilai pendidikan karakter seperti yang diungkapkan pencetus pendidikan karakter di Indonesia, Ratna Megawangi yaitu , Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif,Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, Tanggung jawab, selayaknya diajarkan kepada anak dalam lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.

Pendidikan karakter akan berhasil bila patronase (orang tua, guru, tokoh masyarakat/pejabat negara) dapat menjalankan peran dengan baik. Sebaliknya bila patronase tidak dapat menjalankan peran dengan baik, pendidikan karakter sulit berhasil. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan prasyarat untuk keberhasilan pendidikan karakter. Selain itu, langkah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, bersama OTMI menyusun sebuah program bernama “Mari Kita Bicara” yang didukung oleh Program MAMPU (Program kerjasama Pemerintah Indonesia dan Australia) dengan sasaran program pada siswa, guru dan orang tua, patut diapresiasi dan didukung. Kiranya program ini segera mungkin diterapkan disemua sekolah di NTT sebagai upaya meminimalisir demoralisasi pada kalangan pelajar.

Akhirnya pelajar bisa menjadi potensi yang sangat menjanjikan bila dibimbing dan diarahkan secara baik oleh keluarga, sekolah ataupun masyarakatnya (lingkungan). Sebaliknya bisa menjadi masalah besar (the big problem) sekaligus sebagai mesin pembunuh (The killer Machine) bagi kedamaian dan ketentraman masyarakat. Jika tidak dibimbing dan diarahkan secara baik.

(Igo Halimaking - Ketua OKP – Angkatan Muda Mahasiswa Pelajar  Asal Ile Ape – Lembata (AMMAPAI) – Kupang)

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support