Post views: counter

Jumat, 30 Desember 2016

LEMBATA BUTUH PEMIMPIN BARU


“Pilih Pemimpin Yang Lebih Sedikit Dosanya” (Buya Syafii Maarif)

Buya Syafii Maarif memunculkan kata-kata itu ketika rakyat bangsa ini dihadapkan dengan calon pemimpin yang ditawarkan partai-partai politik. Parpol yang hanya berfungsi sebagai ATM akan memanfaatkan momen demokrasi untuk “memeras” calon. Parpol model ini tidak ada bedanya dengan debt collector yang hanya mengandalkan fisik tapi jarang olaraga. Kata-kata Syafii Maarif diatas menegaskan bahwa tidak ada calon pemimpin dan pemimpin yang tanpa dosa. Semua orang diatas dunia ini rapuh dan terbatas. Kelemahan manusiawi itu sama sekali tidak dibenarkan ketika menjadi argument yang terus mengulangi dosa dan kesalahan yang sama. Dalam ranah publik, rakyat butuh figur yang benar-benar mengabdi dan melayani. Hal yang pasti adalah bahwa sosok pengabdian rakyat betah berada ditengah rakyat dengan segala kesulitan, bukan hanya muncul di tempat bakar ikan saja lalu berbohong bahwa ia telah membangun kesejahteraan rakyat.

Rentang masa kekuasaan menjadi ruang pengujian pengabdian pemimpin itu. Ukuran penilaian kinerja sosok pemimpin sangat tergantung pada seberapa jauh publik ini ‘melek politik’ dan rasional. Kelompok nelayan yang sehari-hari berjualan ikan di tempat pendaratan ikan (TPI) Lewoleba, misalnya, pasti akan mendukung Yantje Sunur untuk kembali menjadi bupati karena mereka hanya melihat orang inilah yang sering terlihat di TPI. Sangat berbeda halnya dengan pedagang kelompok aktivis, sebagian anggota DPRD yang masih setia menjadi wakil rakyat sejati (bukan wakil bupati, dan bukan pula wakil proyek-proyek), kalangan agamawan yang kritis (bukan agamawan teman minum) yang secara jernih melihat Yantje Sunur sebagai sumber konflik di Lembata. Ketua DPRD Lembata, Ferdi Koda, menyebut Yantje Sunur sebagai sumber konflik dan sumbu ketidaktenteraman rakyat Lembata (FP12/3).

Rakyat Lembata selama masa kepemimpinan Yantje Sunur disuguhi perilaku yang hanya sekedar menghadirkan kehebohan tanpa subtansi. Rakyat Lembata hanya disuguhi konflik dan masalah yang tidak bertepi. Bupati Yantje Sunur lebih tampil sebagai pemimpin yang melakukan perjalanan ke luar daerah dengan frekuensi dan itensitas yang sangat tinggi, yang bahakan hinggah membuat RAPBD Lembata tahun 2015 menjadi sangat molor. Bupati ini antikritik dan tidak melihat kritik sebagai sumbangan konstruktif tapi sebagai serangan terhadap pribadi. Rakyat Lembata tidak pernah mendengar gagasan membangun Lembata yang aspiratif. Fakta yang sering muncul adalah proyek pembangunan beraroma mercusuar patung (rohani) Bukit Cinta; pembuatan 1.000 patung untuk dipasang di bawah laut; pembangunan lapangan sepak bola di kawah Gunung Ile Kimok yang masih aktif; pengembangan pariwisata yang di sebut-sebutnya sebagai leading sector tetapi tanpa kontribusi signifikan bagi rakyat yang hanya diberi peluang untuk sekedar menjual kelapa muda di lokasi-lokasi tujuan wisata; dugaan keterlibatan Bupati Yantje Sunur dalam kasus Lorens Wadu (sebagaimana dinyatakan oleh saksi Alex Murin); kasus kematian Petrus Alfon Sita di lubang motorcross kesenangan pribadi Yantje Sunur yang menumbalkan Kadis Longginus Lega; dugaan pemerasan bupati terhadap Hui yang tidak pernah diproses polisi oleh Lembata; aksi brutal Setu, ajudan pribadi Yantje Sunur yang mengancam wartawan Flores Pos Maxi Gantung; pembatalan 4 paket proyek multiyears melalui inspektorat atas perintah lisan bupati; gagalnya proyek air minum Wailein di Kedang senilai Rp.20 miliar yang bahakan dananya raib tanpa bekas, dan lain sebagainya. Dosa-dosa itu begitu banyak, beragam dan memuakkan.

Rakyat Lembata sudah lama muak dengan situasi seperti ini. Mereka membutuh figur baru yang tidak sekedar memburu rente melalui pengajuan tunjangan jabatan yang melebihi tunjangan gubernur dan dengan melakukan akal-akalan pada proses tender proyek-proyek pembangunan. Rakyat butuh figur baru yang memimpin dengan nurani, keberpihakan kepada rakyat, dan rasionalitas serta wibawa. Rakyat Lembata butuh pemimpin yang mengabdi bukan “politisi kutu loncat” yang lebih mencari partai untuk memuaskan hasrat kuasa dengan menabrak-nabrak aturan seenak perutnya sendiri. Rakyat butuh figur baru yang menyegarkan ruang publik setelah “figure Lembata Baru” telah berandil menempatkan Lembata pada masa sebelum orde lama. Kita masih menunggu figur itu.

(SUMBER: Buku “Lembata Negeri Kecil Salah Urus”, Karya Steph Tupeng Witin)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support