Post views: counter

Jumat, 14 Juli 2017

Bahaya Bahasa Dan Politik Over Confidence Ibrahim Medah




Tegang dan panas! Itulah situasi internal Golkar NTT saat ini. Partai beringin tengah dilanda badai politik yang cukup mengkawatirkan. Saling hadap antara tokoh senior Golkar, Ibrahim Agustinus Medah dan tokoh muda Golkar, Emanuel Melkiades Laka Lena, membuat Golkar sedikit limbung. Juga berpotensi untuk terbelah. Medah yang sudah dua kali kalah dalam Pilgub, tetapi dalam dua tahun terakhir kembali getol mengkampanyekan diri sebagai calon Gubernur NTT, melalui program unggulannya “Ubi Ungu”, serta beberapa program strategis lainnya di bidang pertanian dan, kelautan, merasa misi besarnya sedang dihalang-halangi oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, di Jakarta.

DPP Golkar disinyalir bakal melaunching kader muda Golkar, Melki Laka Lena, sebagai calon Gubernur NTT. Melki memang telah diorbitkan oleh DPP Golkar sejak Pilgub NTT 2013 silam. Saat itu, Melki maju sebagai Calon Wakil Gubernur, mendampingi Iban Medah. Hanya saja Medah masih merasah paling berhak dan sangat layak didapuk membawa panji Golkar NTT, maju sebagai calon Gubernur dari Golkar untuk ketiga kalinya, di 2018 mendatang. Hal inilah yang membuat Medah meradang. Kader senior Golkar yang sudah berkarya di Golkar NTT sejak tahun 1975 ini mengaku tidak tinggal diam jika ada manuver DPP untuk menjegalnya. Medah bahkan siap maju sebagai Calon Gubernur dari paratai lain, tanpa dukungan Golkar.

Menurut Ketua Golkar NTT ini, dari pada niatnya untuk maju kembali lewat Golkar berpeluang gagal karna survey bisa saja memenangkan figure lain seperti Melki Laka Lena, dirinya siap menggunakan pintu parrtai lain karna itu adalah alternatif terbaik. Calon Wakil dan pintu partai bahkan sudah ia pastikan lewat komunikasi politik selama ini. Medah menguraikan, awalnya seluruh Ketua DPD II Golkar se-NTT telah menetapkan dirinya sebagai calon tunggal dari partai Golkar, namun yang mengherankan adalah, belakangan ini DPP Golkar mengeluarkan lagi delapan nama kandidat Calon Gubernur untuk di survei. Situasi ini bagi Medah, mengindikasikan adanya ketidakberesan dan ketidaksolidan di internal DPP Golkar dalam mendukung dirinya.

Dalam nada yang sedikit emosional di hadapan para awak media di Kupang, kamis (22/6/17), Medah dengan terang benderang menceritakan sikapnya yang memprotes kebijakan DPP. Ia merasa sudah merasa berkali-kali dihalang-halangi oleh DPP Golkar dalam hal pencalonannya menjadi Gubernur NTT. untuk itu, kali ini dirinya siap melakukan perlawanan. Sebagai wujud protes kepada DPP, dirinya akan segera mendeklarasikan diri dengan pasangannya untuk maju sebaga Calon Gubernur NTT. “Catat, saya akan deklarasikan diri dengan pasangan saya dan ini bentuk protes saya terhadap DPP yang selalu menghambat saya dalam setiap pencalonan gubernur NTT”, tegas politisi flamboyan ini. Sebagaimana dilansir oleh beberapa media lokal dan nasonal, Medah memintah agar hasil survey Golkar tidak di rekayasa oleh pihak tertentu. Entah siapa yang ia “tembak”, tetapi bahasa bersayap ini dipahami sebagai sebua “ancaman” ke DPP dalam hal ini Bos Golkar, setya Novanto dan jajaran DPP.

Jika hasil survey terhadap saya lebih rendah, saya akan melakukan survey tandingan. Sehingga kita membuktikan kepada DPP Partai Golkar mana survei abal-abal dan mana yang sungguh-sugguh,” tegas anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) NTT ini. Medah dengan penuh percaya diri bahkan mengklaim popularitasnya akan berada jauh di atas calon lain yang di survey. Sebab, ia sudah berkarya sejak berusia 25 tahun hingga saat ini dimana dirinya tetap menjadi seorang pemimpin. Karirnya dimulai dari Camat, Bupati Kupang dua periode, Ketua DPRD Kabupaten Kupang dan Ketua DPRD NTT, hingga lolos ke Senayan karena terpilih sebagai anggota DPD mewakili NTT. Bagi politisi yang kenyang pengalaman ini, sikapnya sudah jelas yaitu akan melawan jika dieliminir lewat survei di Golkar.

Dalam tempo satu bulan ke depan sejak hari ini, saya siap mendeklarasikan diri sebagai calon Gubernur bersama pasangan saya, dan itu secara pribadi bukan dari Golkar. Dan saya mau pastikan bahwa pasti saya dapat pintu dan bukan hanya satu pintu saja tetapi lebih dari satu yang siap dipakai untuk menjadi calon Gubernur NTT. Sebab bagi Medah di tahun 2013 silam, ia bahkan kalah dalam Pilgub karena DPP sengaja menyandingkan dirinya dengan calon wakil yang kurang popular yaitu Melki Laka Lena, tetapi dirinya tidak protes saat itu.

Pernyataan Medah tentu sebuah pernyataan politis, tetapi perlu juga dibaca secara sekaligus sebagai sebuah pernyataan simbolik. Medah bisa saja sedang mengatakan sesuatu dengan maksud untuk menyembunyikan sesuatu pula atau sebaliknya, ia sedang menyembunyikan sesuatu lewat kata-kata yang diluncurkannya, tapi dengan maksud unutuk menyatakan banyak hal yang selama ini tesembunyi. Sederhananya pernyataan Medah cukup dimaknai dalam koteks yang resiprokalitas. Bahwa karena ada asap, ada api. Atau karena terancam, maka ia menyerang balik. Tujuannya bisa saja menyasar pihak DPP Golkar sekaligus juga Melki Laka Lena.

Soal benar atau tidak, hanya Medah dan Tuhan yang tahu. Tapi makna pernyataannya bisa dipahami demikian, bahwa ia memantik reaksi DPP dan Melki. Sebagai pihak yang dianggap rival di internal Golkar, jawaban Melki mungkin dianggap mampu menjelaskan banyak rahasia di Golkar. Apakah sinyalmen yang telah Medah kemukakan, mempunyai dasar atau tidak.

Berikutnya adalah, bisa dibaca juga bahwa apabila DPP Golkar tetap melakukan survey sebagai satu-satunya alat ukur dalam menetapkan calon Gubernur, lalu ada calon lain yang lebih unggul, maka bisa dipastikan bahwa DPP memang tidak lagi mengharapkan Medah. DPP ingin Golkar membenah dan mengubah pola untuk menang. Bisa juga dibaca secara simbolik bahwa, mekanisme survei adalah simbol yang meski bisa bermakna sangat banyak dalam politik, tapi salah satunya adalah bahwa DPP sedang secara terbuka memberi peluang untuk kader lain di internal Golkar NTT mengalahkan Medah. Mereka diberi peluang untuk mengkonsolidasi kekuatan di akar rumput agar menang di survey. Eksplisitnya adalah, DPP memang tidak mau lagi ambil resiko dengan mendukung Medah yang pernah kalah dua kali. Sebaliknya, jika DPP akhirnya masih mau mendengar suara Medah, yaitu suara ancamannya untuk tetap maju meski tanpa dukungan Golkar, lalu menggunakan hasil kesepakatan semua DPP tinggat II untuk mencalonkan Medah, maka itu akan menunjukan bahwa, DPP memang masih mau mendukung Medah. Bahkan dukungan itu akan solid. Dalam hal ini, “gretakan” Medah berhasil menjinakan DPP. Tetapi apakah memang demikian? Waktu yang akan menjawabnya. Hal yang paling mudah adalah membaca bahwa, apa yang sedang terjadi di Golkar saat ini adalah ada upaya sehat dan rasional untuk menetapkan Calon Gubernur berbasis survei. DPP ingin ada pengejawantaan asas kaderisasi dan mau mengantisipasi segala kemungkinan. Bagaimana kekuatan dan kelemahan Golkar jika memajukan Medah yang nota bene pernah kalah dua kali. Merebut kemenangan di Pilgub NTT 2018, tentu bukan perkara gampang. Kali ini, Golkar butuh kuda terkuat dengan energi besar untuk bisa mengunguli figur kuat dari partai lain. Siapa yang maju dari Golkar harus bisa mengatasi kekuatan Esthon-Rotok dari Gerindra, Beni Harman dari Demokrat, Kristo Blasin, Ray Fernandes, atau Daniel Tagu Dedo dari PDIP, atau nama-nama lainya, artinya, keputusan DPP Golkar untuk melakukan survei bisa diinterpretasi dalam dimensi ini. DPP sedang memperagakan politik jalan tengah yang masuk akal untuk meminimalisir benturan di internal Golkar. Sebab, DPP Golkar tentu tahu, Golkar kali ini harus rasional dan sebisa mungkin mengikuti harapan mayoritas rakyat NTT jika tidak ingin kalah lagi secara dramatis. Golkar harus selktif dan hati-hati dalam menetapkan calon. Dengan langsung memutuskan Medah sebagai calon tunggal tanpa surveI, resikonya dirasa teralu besar. Bisa saja keputusan tersebut tidak sejalan dengan harapan mayoritas publik NTT yang mengharapkan Golkar melaonching wajah baru. Karena itu masuk akal jika Medah diminta untuk menunggu survei saja. Sambil terus melakukan sosialisasi diri dan melakukan pengawasan. Medah tidak perlu mengeluarkan statement yang justru bisa menjadi boomerang. Menurut sumber aktualita NTT di internal Golkar NTT, dua kali kekalahan dalam Pilgub 2008 dan 2013 sudah dianggap sebagai malapetaka dan aib bagi para politisi besar Golkar. Itulah mengapa, DPP Golkar berpikir bahwa Golkar NTT tidak boleh lagi kalah. Golkar harus memegang kekuasaaan atau minimal berada dalam pemerintahan untuk bisa berkarya. Sebagai partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK, menang adalah target sebab nasib Jokowi di 2019 juga dipengaruhi oleh hasil Pilgub.

DPP Golkar juga mungkin sudah mempertimbangkan masukan dan analisis dari berbagai kalangan, terutama para akademisi dan kelompok muda di NTT. Dimana, mayoritas publik sedang berharap agar NTT mendatang bisa dipimpin oleh figur mudah dan energik. Medah memang berpengalaman. Tetapi menurut banyak pihak pada umumnya, figur yang pernah kalah dua kali dan usianya sudah memasuki kepala tujuh, akan lebih sulit dibranding kembali untuk menuai simpati publik. Pernyataan Medah bahwa dirinya maju tanpa Golkar bisa juga menjadi boomerang. Medah dan Golkar adalah dua sisi dari satu substansi. Ibarat pohon dan sumber airnya. Medah meskipun kuat, pasti tetap membutuhkan Golkar. Pengalaman Medah saat maju secara independen dan lolos sebagai anggota DPD tentu sangat berbeda dengan Pilgub. Pilgub adalah pertarungan politik beda karakter. Dramanya sangat mendebarkan jantung, dengan karakter pemilih, psikologi masa bahkan polarisasi pemilih berbasis geopolitik dan latar social budaya, yang sangat rumit dan kompleks. Pilgub ibarat kompetisi “tarung bebas” yang rambu – rambu dan taktik permainannya beda kelas dengan kontestasi politik lainnya. Lolos sebagai anggota DPD bagi figur sekelas Medah adalah hal mudah. Tetapi untuk memenangkan Pigub tentu tidak gampang. Harus ada energi besar untuk melewati jalan terjal yang rumit dan sulit. Untuk itu, siapa pun yang maju mencalonkan diri dalam Pilgub kali ini, sebenarnya harus tetap tenang dan rendah hati. Mengekspresikan kesan politik over confidence atau terlalu percaya diri justru bisa menjadi blunder. Sebab, rakyat yang melek informasi saat ini sudah berlipat jumlahnya, dibandingkan dengan lima tahun silam. Pernyataaan apapun yang diucapkan tokoh, bisa kembali menikam diri sendiri jika pubik dibuat antipati. Percaya diri atau confidence memang penting. Sebab itu bisa melipatgandakan ambisi dan hasrat untuk terus berjuang tanpa lelah sampai di garis batas merai kemenangan. Tetapi terlalu percaya diri dan anggap remeh atau over confidence, adalah berbahaya. Itu bisa menjadi destruktif dan kontrproduktif. Hanya karena kekuasaan bahasa, kita bisa dikalahkan tanpa harus berhadapan dengan musuh sebenarnya. Bahasa dan politik punya hubungan yang tidak bisa dianggap remeh. Bahasa dan kekuasaan adalah entitas beda sudut kajian, tetapi selalu berbertemu dalam politik. Simpelnya, dari sudut pandang disiplin ilmiah, bahasa adalah wilayah kajian linguistik, sedangkan kekuasaan adalah wilayah kajian ilmu politik. Namun, jangan berpikir bahasa dan kekuasaan tidak punya kaitan. Kajian para filosof post-strukturalis sudah menjelaskan itu. Mulai dari Gramsci, Michel Foucault, Habermas, hingga Baudrillrad telah menunjukan dengan jelas bahwa, kekuasan dan bahasa adalah entitas yang berhubungan dengan sangat erat. Bahasa akan mengkonstruk pengetahuan, yang mana pengetahuan tersebut tidak lain adalah kekuasaan itu sendiri. Jika seorang politisi menyusun pengetahuan menggunakan bahasa secara baik dan benar untuk ditransfer kepada publik, maka efek kekuasaaan akan langsung hadir di sana. Sebaliknya, salah kelolah bahasa dalam transfer pengetahuan atau wacana bisa menjadi petaka. Sebab, politik adalah seni mengelolah relasi kuasa-pengetahuan lewat bahasa. Publik bisa sangat kagum pada seorang tokoh karena transfer pengetahuan yang ia peragakan lewat bahasa dan sikapnya (simbolik). Dalam hal ini bahasa dan sikapnya dikelolah secara cerdas dan beradab. Sebaliknya bahasa yang diumbar secara emosional, kasar dan kurang elok, bisa memberi efek (kuasa) yang destruktif terhadap komunikatornya (sang politisi). Dan dalam politik, para politisi sesungguhnya bisa bertahan atau terpental dari gelanggang politik, sebagian besarnya juga ditentukan oleh bahasa yang mereka komunikasikan.

Penulis: Mikhael Rajamuda Bataona
Sumber Tulisan : Tabloid Aktualita-ntt

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support