Aku dan Kotaku Yang Termahal
Oleh: Irhamy Langoday
Merupakan sebuah kebanggaan ketika kau akan datang menjenguk aku yang
pesakitan di sudut kota ini. Menjadi keagungan untukmu pula bila kita dapat
berjumpa disana, di kota dengan berbagai bangunan temahal. Sebuah kota kecil
terapit gunung dan tanjung yang kokoh memagari. Kota kecil dimana gerah dengan
pemandangan teluk yang ramai oleh lalu lalang perahu kecil milik nelayan yang
saban hari berebut ikan dengan kapal-kapal nelayan lainnya. Kotaku penuh rasa
kerinduan akan belaian dari kaum perindu, para sanak yang budiman serta punya niat tulus untuk
kota ini. Kusarankan agar kau punya
waktu libur panjang untuk dapat beradaptasi disini sobat.
Bila saat itu tiba, telepon aku. Atau bila kau terlampau sibuk, cukup
kirimkan SMS. Aku pasti ada disana. Tenang sobat, kotaku tak punya pengangguran
yang bisa menjadikan mereka copet dan preman. Kotaku justru yang termahal, menghasilkan puluhan pahlawan
devisa dari hasil alam yang tersaji dan tidak akan kau temukan anak muda
berkeliaran hanya untuk mengisi perut sekali dalam sehari.
Sebagai awal penyambut kedatanganmu di tanah ini, akan kau temui
pemandangan di tepi pelabuhan. Itu tempat
termahal yang pertama. “Apakah kau pikir orang-orangku disini bangga dengan
pemandangan demikian?”. Sampai saat kami tak tau apa isi dari tong tersebut. Bukan ini yang kami harapkan sobat.
Yang sudah sempat buatku tersenyum lega. Setidaknya untuk mengurangi resiko
langkanya jantung sepeda-motor dengan dana
termahalnya, justru yang ada hanyalah antrian panjang berkilo-kilo di SPBU
Pertamina.
Jangan kau tanyakan kenapa jadi begitu. Simpanlah itu di dalam benakmu
karena mungkin itu termasuk simbol ungkapan selamat datang di kotaku. Simbol
seperti yang tersirat di dalam lambang daerah kabupatenku ini. Salah satunya
adalah Perisai bersegi lima (Dopi Hikun
Lema) dengan lis berwarna hitam.
Sedikit kujelaskan padamu sobat, Perisai bersegi lima (Dopi Hikun Lema)
melambangkan alat/sarana "Ribu Pulo,
Ratu Lema" rakyat Lembata
untuk "Liku Lewo Lapak Tana"
guna mempertahankan diri dari segala bentuk ancaman dan lis
hitam melingkari perisai melambangkan keabadian dan ketenangan.
Sebagai tulang punggung lewotanah sekaligus warga kota ini tentunya aku
bangga, merasa tenang karena pastilah kami dilindungi. Pastilah tenang karena
kepentingan dan kebutuhan pasti terpenuhi. Kau pun pasti nyaman dan aman. Namun
sangat disayangkan, yang menghiasi headline
news koran lokal tak luput dari
hilangnya nilai kemanusiaan itu sendiri. Seakan hanya makam yang kita jumpai
sebagai salah satu keunikan dari sini. Bila nyawa itu mahal, tak ternilai maka
mungkin itu menjadi persembahan termahal
berikutnya. Bila kau tiba nanti, pastilah ku tunjukan dimana pusaranya berada.
Sungguh tragis bukan?. Seakan nyawa digratiskan untuk ego sesaat. Darah yang
mengalir sepertinya tak bertuan. Semoga kau tak merasa ngeri dengan akrobat
maut yang pernah ada, sobat. Mungkin kotaku sedang beradaptasi dengan tren masa kini.
Mari kita menyusuri jalan berjalur dua yang mengigil
ditengah terik mentari, hingga kita tiba di sebuah lapangan berpalang.
Bukan arena bola. Bukan juga tempat bermain layangan si kecil kala waktu
kosongnya sepulang sekolah. Dari cerita Ayah, lapangan ini dahulunya
adalah tempat yang sangat ramai
dikunjungi. Tempat bertemunya para penjual dan pembeli sekaligus sebagai tempat
bergantung nasib sebagian warga di kota ini. Waktu masih seragam putih merah ibuku juga sering ke tempat
ini, dengan segala macam jajanan akan di bawa sepulangnya dari tempat itu.
Tapi, sekarang tidak ada cerita lagi yang dapat ku lanjutkan dari tempat
tersebut.
Kotaku bukan kota kuno. Justru tempat jualan itulah yang kuno.
Orang-orangkulah yang buta & mungkin masih udik dengan tempat yang kuno tersebut. Satu demi satu mereka
menjual perabot, rumah, tanah, dan memboyong anak-istri ke kampung halaman.
Suatu tempat di mana tali pusar mereka sudah dibenamkan. Disana mereka lebih
tenang dan berusaha melupakan segala nasib malang yang pernah menimpa.
Pasti kau berpikir warga kota ini adalah sang pengelana, musafir sejati?.
Namun tak harus seperti demikian bukan ?.
Lihatlah
sekarang, semua puing reruntuhan bangunanan tersebut telah di sulap menjadi
hamparan tanah luas, bukan lapangan, bukan juga tempat pemakaman umum. Yang
jelas orang-orangku disini sempat memanggilnya“taman kota”. Ya, indah memang, tapi akan lebih indah bila ditanami
bunga flamboyan di tengah taman yang tak berbunga tersebut..
Bila kau
datang nanti sobat, pastilah kita berkunjung ke tempat termahal berikutnya.
Tempat
penyulingan air dengan beragam keunggulan yang dikampanyekan. Dengan berjuta
mimipi yang di taburkan. Tak pikir jadi atau tidaknya. Tak peduli berapa uang
diperuntukan bangunan termahal tersebut.
Saya baru sadar ketika mimpi itu sudah terlambat. Zaman Nabi Musa dengan
Tongkat Ajaibnya telah berlalu jauh. Apa yang mereka mimipikan, menyulapi Air
Laut Menjadi Air Tawar?. Tentu kau penasarn untuk berkunjung ke tempat-tempat termahal itu bukan??. Do’a dariku, bila
waktumu itu telah tiba, pulanglah. Dengan kerendahan hati, bila waktu libur itu
ada, datanglah..
Banyak
harapan diberikan untuk perubahan ini. dukungan diapresiasikan untuk setiap
kali hajatan demokrasi berlalu. Segala proficiat pun diucapkan ketika jagoan kesayangan keluar sebagai pemenang . Tapi tak kurang juga
orang-orang kecil semakin terkucil.
Bila
memang itu adalah masa lalu, biarlah itu berlalu. Mari kita buktikan di hari
yang baru.
Semoga, “hari ini lebih baik dari hari kemarin &
hari esok akan lebih indah dari hari ini”, begitu tantra klasik
mengajarkan. Lembataku menanti bijak dari tangan malaikat seperti mu, kawan.
Emasnya hati para nahkoda yang hendak berlayar membawa angin segar, itulah yang
dirindukan untuk tanah tercinta ini.
0 komentar:
Posting Komentar