Post views: counter

Senin, 28 Januari 2013

CERPEN - Aku dan Kotaku Yang Termahal



Aku dan Kotaku Yang Termahal
Oleh: Irhamy Langoday



Merupakan sebuah kebanggaan ketika kau akan datang menjenguk aku yang pesakitan di sudut kota ini. Menjadi keagungan untukmu pula bila kita dapat berjumpa disana, di kota dengan berbagai bangunan temahal. Sebuah kota kecil terapit gunung dan tanjung yang kokoh memagari. Kota kecil dimana gerah dengan pemandangan teluk yang ramai oleh lalu lalang perahu kecil milik nelayan yang saban hari berebut ikan dengan kapal-kapal nelayan lainnya. Kotaku penuh rasa kerinduan akan belaian dari kaum perindu, para sanak  yang budiman serta punya niat tulus untuk kota ini. Kusarankan agar kau  punya waktu libur panjang untuk dapat beradaptasi disini sobat.
Bila saat itu tiba, telepon aku. Atau bila kau terlampau sibuk, cukup kirimkan SMS. Aku pasti ada disana. Tenang sobat, kotaku tak punya pengangguran yang bisa menjadikan mereka copet dan preman. Kotaku justru yang termahal, menghasilkan puluhan pahlawan devisa dari hasil alam yang tersaji dan tidak akan kau temukan anak muda berkeliaran hanya untuk mengisi perut sekali dalam sehari.
Sebagai awal penyambut kedatanganmu di tanah ini, akan kau temui pemandangan di tepi pelabuhan. Itu tempat termahal yang pertama. “Apakah kau pikir orang-orangku disini bangga dengan pemandangan demikian?”. Sampai saat kami tak tau apa isi dari tong  tersebut. Bukan ini yang kami harapkan sobat. Yang sudah sempat buatku tersenyum lega. Setidaknya untuk mengurangi resiko langkanya jantung sepeda-motor dengan dana termahalnya, justru yang ada hanyalah antrian panjang berkilo-kilo di SPBU Pertamina.
Jangan kau tanyakan kenapa jadi begitu. Simpanlah itu di dalam benakmu karena mungkin itu termasuk simbol ungkapan selamat datang di kotaku. Simbol seperti yang tersirat di dalam lambang daerah kabupatenku ini. Salah satunya adalah Perisai bersegi lima (Dopi Hikun Lema) dengan lis berwarna hitam.
Sedikit kujelaskan padamu sobat, Perisai bersegi lima (Dopi Hikun Lema) melambangkan alat/sarana "Ribu Pulo, Ratu Lema" rakyat Lembata untuk "Liku Lewo Lapak Tana" guna mempertahankan diri dari segala bentuk ancaman  dan lis hitam melingkari perisai melambangkan keabadian dan ketenangan.
Sebagai tulang punggung lewotanah sekaligus warga kota ini tentunya aku bangga, merasa tenang karena pastilah kami dilindungi. Pastilah tenang karena kepentingan dan kebutuhan pasti terpenuhi. Kau pun pasti nyaman dan aman. Namun sangat disayangkan, yang menghiasi headline news  koran lokal tak luput dari hilangnya nilai kemanusiaan itu sendiri. Seakan hanya makam yang kita jumpai sebagai salah satu keunikan dari sini. Bila nyawa itu mahal, tak ternilai maka mungkin itu menjadi persembahan termahal berikutnya. Bila kau tiba nanti, pastilah ku tunjukan dimana pusaranya berada. Sungguh tragis bukan?. Seakan nyawa digratiskan untuk ego sesaat. Darah yang mengalir sepertinya tak bertuan. Semoga kau tak merasa ngeri dengan akrobat maut yang pernah ada, sobat. Mungkin kotaku sedang beradaptasi dengan tren masa kini.
Mari kita menyusuri jalan berjalur dua yang  mengigil ditengah terik mentari, hingga kita tiba di sebuah lapangan berpalang.
Bukan arena bola. Bukan juga tempat bermain layangan si kecil kala waktu kosongnya sepulang sekolah. Dari cerita Ayah, lapangan ini dahulunya adalah  tempat yang sangat ramai dikunjungi. Tempat bertemunya para penjual dan pembeli sekaligus sebagai tempat bergantung nasib sebagian warga di kota ini. Waktu masih seragam putih merah ibuku juga sering ke tempat ini, dengan segala macam jajanan akan di bawa sepulangnya dari tempat itu. Tapi, sekarang tidak ada cerita lagi yang dapat ku lanjutkan dari tempat tersebut.
Kotaku bukan kota kuno. Justru tempat jualan itulah yang kuno. Orang-orangkulah yang buta &  mungkin masih udik dengan tempat yang kuno tersebut. Satu demi satu mereka menjual perabot, rumah, tanah, dan memboyong anak-istri ke kampung halaman. Suatu tempat di mana tali pusar mereka sudah dibenamkan. Disana mereka lebih tenang dan berusaha melupakan segala nasib malang yang pernah menimpa.
Pasti kau berpikir warga kota ini adalah sang pengelana, musafir sejati?. Namun tak harus seperti demikian bukan ?.
Lihatlah sekarang, semua puing reruntuhan bangunanan tersebut telah di sulap menjadi hamparan tanah luas, bukan lapangan, bukan juga tempat pemakaman umum. Yang jelas orang-orangku disini sempat memanggilnya“taman kota”. Ya, indah memang, tapi akan lebih indah bila ditanami bunga flamboyan di tengah taman yang tak berbunga tersebut..
Bila kau datang nanti sobat, pastilah kita berkunjung ke tempat termahal berikutnya.
Tempat penyulingan air dengan beragam keunggulan yang dikampanyekan. Dengan berjuta mimipi yang di taburkan. Tak pikir jadi atau tidaknya. Tak peduli berapa uang diperuntukan bangunan termahal tersebut. Saya baru sadar ketika mimpi itu sudah terlambat. Zaman Nabi Musa dengan Tongkat Ajaibnya telah berlalu jauh. Apa yang mereka mimipikan, menyulapi Air Laut Menjadi Air Tawar?. Tentu kau penasarn untuk berkunjung ke tempat-tempat termahal itu bukan??. Do’a dariku, bila waktumu itu telah tiba, pulanglah. Dengan kerendahan hati, bila waktu libur itu ada, datanglah..
Banyak harapan diberikan untuk perubahan ini. dukungan diapresiasikan untuk setiap kali hajatan demokrasi berlalu. Segala proficiat pun diucapkan ketika jagoan kesayangan keluar sebagai pemenang . Tapi tak kurang juga orang-orang kecil semakin terkucil.
Bila memang itu adalah masa lalu, biarlah itu berlalu. Mari kita buktikan di hari yang baru.
Semoga, “hari ini lebih baik dari hari kemarin & hari esok akan lebih indah dari hari ini”, begitu tantra klasik mengajarkan. Lembataku menanti bijak dari tangan malaikat seperti mu, kawan. Emasnya hati para nahkoda yang hendak berlayar membawa angin segar, itulah yang dirindukan untuk tanah tercinta ini.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support