Lirik lagu Elpamas di atas pernah dianggap sebagai sindiran halus untuk Pak Harto yang masih mencalonkan dirinya untuk kesekian kalinya. Dan bahkan menurut kabar pernah di larang untuk disiarkan atau diputar di angkasa Indonesia. Karya dari Pitat Haeng, nama alias dari Iwan Fals ini berhasil menyedot animo masyarakat untuk kembali lagu menikmati lagu politik berbalut seni. Elpamas sekali lagi menjadi renungan kita semua, betapa umur dan kesehatan tidak bisa dipahami dengan keegoisan.
Dalam konteks Pilgub NTT, khususnya dalam tubuh partai Golkar, Lagu Elpamas di atas memberi pesan kepada pada Medah untuk mundur dan legowo memberikan kesempatan pada figure muda seperti Melki Laka Lena untuk maju dalam Pilgub kali ini.
Iya hari ini, kondisi Partai Golkar NTT tengah mengalami turbelensi yang agak kencang. Pasalnya DPP Partai Golkar tidak secara langsung menetapkan Medah sebagai calon tunggal untuk maju dalam Pilgub NTT ini tapi malah memerintahkan 8 kader terbaiknya untuk mempersiapkan diri untuk turut disurvei dalam menghadapi Pilgub NTT.
Sikap dari DPP Partai Golkar ini membuat Medah meradang. Ia mulai menyerang dan menuduh bahwa ada politik belah bambu yang diskenariokan oleh DPP Golkar untuk menghempas dirinya dan meloloskan Melki Laka Lena.
Bagi penulis, Medah seharusnya tidak melakukan sikap kekanak-kanakan seperti itu. Medah seharusnya refeleksi dan merenung mengapa DPP Partai Golkar tidak secara langsung menetapkan dirinya sebagai calon tunggal yang diusung partai Golkar tetapi harus melalui proses survei.
Sebenarnya sederhana saja jika kita menganalisis sikap dari DPP Partai Golkar ini. Pertama, Sikap dari DPP Golkar ini menunjukan bahwa DPP Golkar tidak mau kecolongan untuk ketiga kalinya dalam mengusung figure Medah dalam pentas Pilgub kali ini karena Medah sudah dua kali tumbang dalam pentas Pilgub NTT. Maka tidak salah kemudian DPP Golkar kemudian mengedepankan hasil survei ketimbang rekomendasi dari DPD Partai Golkar tingkat II/Kabupaten. DPP Golkar lagi mencoba menerapkan teori marketing politik yakni memoles dan menjual figur baru sebagai brand Golkar dalam Pilgub NTT. Karena memajukan lagi calon yang pernah kalah, hanya bisa dilakukan kalau sang calon memiliki peningkatan elektabilitas luar biasa. Kalau tidak ada peningkatan bahkan turun, sama saja membuang garam ke laut.
Kedua, DPP Golkar sebenarnya memberi pesan soal regenerasi. Sekjen DPP Partai Golkar, Idrus Marham sebagaimana dikutip dari kompas.com, mengatakan bahwa Golkar sangat menyadari regenerasi dan kaderisasi dalam tubuh partai sangat penting. Sudah saatnya anak muda yang bersih dan memiliki visi ditampilkan dalam sejarah bangsa. Maka tidak heran kemudian figure muda MelkI Laka Lena diikutsertakan dalam proses survei dari partai Golkar menuju Pilgub NTT. Sikap dari DPP Golkar ini juga memberi pesan kepada Medah untuk memberi kesempatan pada figur muda untuk tampil dalam hajatan Pilgub ini.
Jika Medah sadar dan bisa membaca pesan tersirat dari sikap DPP Partai Golkar ini, maka Medah harusnya mundur. Mundur dari panggung kontestasi Pilgub NTT kali tentunya bukanlah sebuah aib. Karena memang usia 73 tahun bukanlah sebuah momentum tepat untuk mengabdikan diri kepada nusa bangsa, atau provinsi ini. Karena secara teoritis, usia 60 tahun ke atas sudah tidak lagi produktif. Apalagi untuk berfikir kreatif, inovatif, dan berani melakukan perubahan mendasar yang drastis. Sedangkan usia di bawah 60 tahun sebaliknya. Jika dianalogikan figur Medah yang sudah berkepala tujuh (umur 73 tahun) ibarat dengan mobil tua. Sedangkan sosok Melki Laka Lena diibaratkan sebagai mobil baru atau setengah baru. Pemimpin tua ibarat mobil tua, dan pemimpin muda ibarat mobil baru atau setengah baru. Apabila keduanya beradu dalam sebuah balapan di jalan raya atau sirkuit, jelas akan kalah mobil tua dari mobil baru atau sentengah baru. Disamping itu, mobil tua membutuhkan biaya operasional atau perawatan yang jauh lebih tinggi, bila dibandingkan dengan mobil baru atau setengah baru. Mobil tua sering berkunjung ke bengkel atau ke luar masuk bengkel untuk mengganti onderdil atau turun mesin. Kalau onderdil yang dibutuhkan tersedia, maka baru bisa melanjutkan perjalanannya setelah diperbaiki dalam waktu beberapa hari. Tetapi kalau belum ada, mobil tua tidak bisa melanjutkan perjalanan, dan asyik menunggu onderdil pesanannya yang akan tiba seminggu lagi, bahkan lebih. Sementara mobil baru atau sentengah baru, dalam perjalanannya terus melaju, melanglang buana, menyeberangi lautan, bahkan mencapai tujuan dengan cepat. Kalau pun masuk bengkel, paling untuk servis ringan yang membutuhkan waktu tidak lama, setengah hari atau satu hari.
Oleh karena itu, dalam konteks pilgub NTT kali ini, Partai Golkar harus memberi kesempatan kepada mobil baru atau setengah baru (Melki Laka Lena) yang siap tancap gas, berlari jauh dan gesit menjawab dan menerjang hambatan-hambatan di jalanan. Jangan sampai masyarakat (rakyat) dalam Pemilu atau Pemilukada diberi mobil tua yang mogok terus di tengah jalan, lantaran memang sudah tua. Seperti kata Iwan Fals dalam sebuah lagunya, “pak tua, sudahlah”. Orang tua mesti tahu diri, berilah kesempatan kaum muda.
Dari analogi di atas seharusnya Pak Medah sadar dan tahu diri. Toh telah puluhan tahun Pa Medah telah berkuasa. Mulai dari camat, bupati Kabupaten Kupang 2 periode, menjadi anggota sekalian merangkap sebagai ketua DPRD NTT dan hingga kini menjadi DPD RI, bahkan 2 kali bertarung dalam pilgub NTT. Apa belum puas? Bukan karena figur muda takut bersaing dengan opa, tapi karena rasa sayang mereka terhadap opa. Mereka tidak mau opa dipermalukan lagi ketika kalah untuk ketiga kalinya, mereka tidak tidak mau opa dihujat dan dicaci-maki dalam panggung pilgub NTT.
Berikan saja pintu Golkar kepada Melki Laka Lena sebagai kendaraan politik untuk bertarung dalam hajatan pilgub NTT kali ini. Barangkali lebih menjual dan menyelamatkan wajah partai Golkar dalam panggung Pilgub NTT yang saban tahun sudah terkapar berkali – kali. Toh secara kapasitas dan kemampuan Melki Laka Lena tiddak diragukan lagi. Dalam kapasitas non pejabat publik, Melki Laka Lena telah berbuat untuk NTT dan untuk bangsa ini. Antara lain membawa SMF Kupang juara debat antar siswa SMU di Unika Widya Mandira Kupang dan juara bola voli FIA Cup Undana, pameran dan festival kebudayaan NTT di Jogja, bersama Franky Sahilatua – Garin Nugroho dan penggiat lainnya berjuang kembalikan dasar negara Pancasila sebagai komitmen kebangsaan dengan berkampanye Pancasila ke seluruh Indonesia sejak 2005, membawa kontingen FKTI NTT (karate) juara 2 nasional di kejurnas di Surabaya, ikut membidangi kelahiran Ormas Nasional Demokrat, membantu banyak pemimpin nasional dan daerah membangun negeri tercinta antara lain Purnomo Yusgiantoro, Surya Paloh, Sri Sultan HB X, Setya Novanto dan yang lainnya. Kedekatan Melki Laka Lena dengan para petinggi di tingkat pusat hanya sebatas hubungan sosial politik tanpa ada embel- embel bisnis apapun. Selain itu sejak 9/4/2017, Melki Laka Lena melakukan konsolidasi gagasan dan orang orang baik se NTT melalui Sayembara Ayo Bangun NTT di 22 kabupaten/kota yang bertujuan untuk konsolidasi pikiran-pikiran baik dan orang baik yang selama ini dilupakan, ditinggalkan, orang-orang yang tidak dianggap tetapi memiliki dedikasi dan pengabdian terhadap daerah ini serta menjadi inspirasi dan teladan bagi semua orang. Kini Melki Laka Lena tampil dalam hajatan Pilgub NTT 2018 dengan panji perjuangan mendengar, berpikir, berbicara dan berkarya bersama semua pihak serta mengusung tagline Ayo Bangun NTT dari titik tersulit. Jika dilihat maka Melki telah berbuat banyak untuk NTT dan bangsa ini. Patut diakui bahwa dalam kapasitas non pejabat publik saja Melki telah berbuat untuk NTT dan untuk bangsa ini, apalagi kalau diberi kesempatan untuk memimpin NTT.
Sehingga hemat penulis, Medah harus legowo dan memberi kesempatan kesempatan kepada yang muda (Melki Laka Lena) untuk maju sebagai calon gubernur NTT dari partai Golkar. Medah harusnya bisa meneladani sesepuh Golkar di NTT, Daniel Woda Pale yang pada Pilgub NTT Periode 2003-2008 yang karena alasan regenerasi memilih mundur dan memberikan kesempatan kepada kader muda Golkar NTT waktu itu, Eston Foenay sebagai calon Gubernur NTT Periode 2003-2008. Padahal saat itu ia sendiri menjabat ketua umum DPD I Partai Golkar NTT sekaligus Ketua DPRD NTT.
Pak Medah hendaknya meniru sikap elegan Daniel Woda Pale waktu itu yang meletakkan nilai-nilai politik soal regenerasi. Jika pa Medah secara legowo memberikan kesempatan figure muda untuk maju dalam kontestasi Pilgub kali ini, maka Publik NTT akan angkat topi buat pa Medah. Medah pasti akan dikenang sebagai guru politik, pembina politik dan pasti menjadi tempat bertanya dan konsultasi politik bagi politisi – politisi muda. Namun jika sebaliknya, maka jangan salahkan ketika suatu saat nanti nama Medah hilang tak bebekas sebagai politisi senior dan ketokohannya menguap begitu saja. Akan menjadi akhir yang baik bagi opa kalau meletakkan obor perjuangan dan memberikan kepada yang muda. Jauh lebih baik menjadi kakek yang meluangkan waktunya untuk membaca dongeng untuk cucu-cucu bahkan cicit. Akhirnya, pohon – pohon beringin yang rindang harusnya dipangkas, biar tumbuh tunas-tunas baru.
Penulis : Lusia L. Ruing (Alumnus STIKES CHMK)
0 komentar:
Posting Komentar