Tabuh gendrang Pilkada Nusa Tenggara Timur Juni 2018 sudah dimulai dengan bermunculan tokoh dari berbagai background dari politikus, akademisi, pengusaha, bupati bahkan tokoh nasional ikut meramaikan kontestasi merebut kursi nomor satu NTT walaupun masih menyisakan satu tahun lagi. Pesta demokrasi lima tahunan kali ini sangat spesial karena semua kontestan mempunyai kesempatan yang sama dalam mulai membangun kekuatan masa dan elektabilitas mulai dari nol. Gubernur muda NTT Frans Lebu Raya tidak bisa ikut lagi karena sudah dua periode menjabat. Inilah saatnya bagi putra daerah terbaik NTT untuk menunjukkan gigi dan taringnya dalam mengambil alih roda kepemimpinan yang selama 10 tahun ini dipimpin oleh seorang pemimpin muda.
Calon-calon gubernur NTT yang sudah deklarasi dan yang belum deklarasi sudah bermunculan dimedia online baik twitter dan paling heboh di facebook. Pembuatan kalender, baliho, stiker dll untuk mensosialisasikan diri menjadi pemandangan yang sangat lumrah di pelosok-pelosok desa dan paling banyak berupa baliho raksasa calon gubernur dengan berbagai jargon yang diusung. Pemanasan mesin politik menuju Pilkada tahun 2018 sudah di mulai oleh partai-partai dengan mengusung calon seperti Partai Gerindra yang mengusung Esthon Feonay dan Chris Rotok, Partai Demokrat yang mengusung Beny K Harman. Sedangkan partai lain masih menunggu hasil survey. Partai golkar masih menunggu survey terhadap delapan kadernya, namun yang lebih berpeluang untuk mendapatkan SK, Ibarahim Medah dan Melki Laka Lena sedangkan di partai PDIP ada Ray Fernandes, Daniel Tagu Dedo, Kristo Blasin dan sejumlah figure lainnya akan bersaing mendapatkan SK dari DPP.
Menarik melihat calon-calon gubernur yang siap maju dalam pilkada NTT 2018 dari faktor usia. Faktor usia di sini menjadi faktor yang sangat penting yang perlu di perhatikan oleh masyakarakat NTT karena Kekuatan fisik seorang pemimpin bisa dilihat dari faktor usia. Apalagi kondisi topografi provinsi NTT yang terdiri dari pulau – pulau maka dibutuhkan figure muda, energik untuk bisa menggapai daerah – daerah pelosok dalam memberikan pelayanan pembangunan terhadap masyarakat. Pemimpin muda yang berbekal banyak potensi, memiliki karekter dinamis serta semangat menyala dibarengi pula dengan kebugaran fisik sangat cocok memimpin NTT kedepannya. Untuk itu, hemat penulis, calon yang layak memimpin daerah ini kedapannya adalah figure seperti Melki Laka Lena, Victor Lasikodat, Honing Sany, Alex Ofong, Kristo Blasin, Benny K. Harman, Ray Fernandes dan figur muda lainnya.
Sedangkan untuk figure Esthon Foenay dan Ibrahim Medah, hemat penulis sudah saatnya istirahat. Saatnya memberi tampuk kepemimpinan kepada orang muda untuk memimpin NTT. Dari kategori umur maka Esthon Feonay dan Ibrahim Medah sudah masuk dalam kategori Lansia. Dalam ilmu kesehatan, usia 60 tahun keatas bagi seorang pria memang masih mampu mengerjakan sesuatu, namun ia akan lebih cenderung membutuhkan perhatian dari orang sekitar, karena pada usia tersebut organ tubuh mulai melemah. Penulis sangat sepakat dengan pernyataan pengamat politik Boni Hargens bahwa NTT butuh “potong generasi” kepemimpinan (https://www.florespost.co/2017/04/05/terkait-pilgub-ntt-2018-ntt-butuh-potong-generasi-kata-boni-hargens/). Dari pernyataan itu tersirat maksud bahwa NTT butuh figur-figur muda untuk jadi pemimpin.
Apa yang disampaikan Boni Hargens di atas sebenarnya masih bertalian dengan munculnya wajah – wajah lama yang dari 2003 bertarung dalam Pilgub NTT. Sebut saja Esthon Foenay dan Ibrahim Medah. NTT seolah menjadi milik mereka berdua. Publik pun sudah bosan dengan kedua wajah ini yang tak pernah memberi kesempatan pada kaum muda. Sehingga muncul guyonan lu lagi lu lagi. Munculnya figur Esthon Foenay dan Ibrahim Medah yang masih bertarung dalam pilgub NTT menunjukan bahwa NTT masih tersandera penyakit akut yakni masalah gerontokrasi. Dalam ilmu sosial, gerontokrasi (gerontocracy) dimaknai sebagai sebuah tatanan sosial politik yang dikendalikan atau didominasi oleh orang-orang tua, mereka menjadi penentu dan pengendali utama di sebuah organisasi. Gerontokrasi ini bukanlah hal baru di masyarakat kita, pola hubungan kekuasaan yang gerontokratik telah lama terbentuk di berbagai tempat. Dalam lembaga-lembaga politik, sosial, maupun keagamaan, kontrol orang-orang tua menjadi faktor utama penghambat lajunya sebuah proses perubahan.
Konservatif, lambat dan kaku, itulah ciri umum yang melekat pada kepemimpinan kaum tua. Gelombang perubahan yang demikian deras terjadi, bisa saja tidak diimbangi oleh mereka yang tua, sebab perubahan yang cepat selalu membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan, gesit dalam mencermati situasi dan tentu saja kuat secara fisik dalam menjalankan berbagai aktifitas.
Kaum tua dalam sikap politiknya cenderung mengejar dan haus akan kekuasaan. Itu sebabnya eksistensi kaum tua akan menghambat pengembangan kaum muda, sebab kaum muda selalu akan muncul dengan gagasan-gagasan segar tentang perubahan, dan itu menjadi ancaman serius terhadap kaum tua.
Eksistensi gerontokrasi dalam politik akan menghambat dua hal penting menyangkut konsolidasi demokrasi. Pertama, regenerasi politik menjadi terhambat karena tertutupnya ruang untuk kaum muda dalam sirkulasi kepemimpinan. Kedua, transisi ke sitem politik yang lebih demokratis akan mengalami kesulitan karena watak kaum tua yang koservatif dan anti perubahan.
Menurut pakar politik Eep Saefullah Fatah, gerontokrasi yang meluas membawa serta sejumlah bahaya, baik politik diam-diam maupun terang-terangan kerapkali bekerja untuk menumpulkan kesadaran orang-orang muda, menumpas kekuatan orang-orang muda dan menutup kesempatan bagi orang-orang muda .
Era Baru Kaum Muda
Bahaya gerontokrasi yang nampak nyata dan cenderung menghadang jalannya sistem demokrasi, menghendaki adanya upaya serius secara politik untuk menghindari budaya politik ini di NTT. Memang dalam menghadang kekuasaan yang didominasi kelompok orang-orang tua ini bukanlah perkara mudah. Dalam konteks NTT, ancaman gerontokrasi juga berlangsung. Banyak kepala daerah yang menjadikan basis kekuasaan politik berada pada sekumpulan politisi tua yang bercokol lama di lingkaran utama partai politik maupun di pemerintahan. Realitas politik lokal diciptakan seolah-olah kaum tua adalah kelompok yang memiliki kematangan politik dan pengalaman pemerintahan yang baik, padahal tidak sedikit kaum tua di daerah ini yang gagal dalam melakukan pembangunan di daerah. Ini terlihat dari banyaknya kepala daerah yang terdiri dari orang-orang tua yang banyak terlibat dalam perkara korupsi maupun penyalahgunaan kekuasaan.
Bercermin dari ancaman di atas, dalam konteks Pilgub NTT perlu kiranya menyediakan alternatif politik kaum muda yang yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat di kontestasi elektoral (pemilu) sebagai cara menghadang berakarnya budaya politik gerontokrasi. Kasus kemenangan Emil Elistianto Dardak (umur 31 tahun) dan pasangannya Mochamad Nur Arifin (25 tahun), sebagai Bupati dan Wakil Bupati Trenggalek, Jawa Timur. Zumi Zola (35 tahun), Bupati Tanjung Jabung dan sekarang sudah menjadi Gubernur Jambi. Sutan Riska Tuanku (26 tahun) yang merupakan Bupati Dharmasraya, Sumatera Barat, menunjukan bahwa sebenarnya masyarakat menginginkan alternatif pemimpin yang cekatan dari kalangan kaum muda. Kelompok kaum tua semakin tidak mendapatkan kepercayaan (trust) dari masyarakat.
Di tengah kemenangan politisi muda di beberapa pemilukada, ada angin segar dalam tradisi politik kita yang selama ini diwarnai wajah-wajah lama yang dominan dari kelompok kaum tua. Gelombang kepercayaan akan kualitas yang dimiliki kaum muda lamban laun mulai dipahami masyarakat. Budaya politik lama mulai perlahan tergerus dan kepercayaan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mendukung terciptanya budaya politik yang terbuka ini.
Oleh sebab itu, merupakan tanggung jawab yang fundamental untuk secara kolektif mengupayakan terwujudnya kesempatan politik yang terbuka ini agar bisa diakses oleh setiap kelompok supaya arah baru politik kaum muda semakin mendapat tempat di Nusa Tenggara Timur. Wajah politik kita mulai menuju ke arah kematangan, ada asa tercipta dalam demokrasi bahwa kesempatan politik dimiliki semua orang. Kaum muda adalah masa depan politik Indonesia maupun NTT dan pendorong utama majunya demokrasi sebuah bangsa.
Penulis: Igo Halimaking
Calon-calon gubernur NTT yang sudah deklarasi dan yang belum deklarasi sudah bermunculan dimedia online baik twitter dan paling heboh di facebook. Pembuatan kalender, baliho, stiker dll untuk mensosialisasikan diri menjadi pemandangan yang sangat lumrah di pelosok-pelosok desa dan paling banyak berupa baliho raksasa calon gubernur dengan berbagai jargon yang diusung. Pemanasan mesin politik menuju Pilkada tahun 2018 sudah di mulai oleh partai-partai dengan mengusung calon seperti Partai Gerindra yang mengusung Esthon Feonay dan Chris Rotok, Partai Demokrat yang mengusung Beny K Harman. Sedangkan partai lain masih menunggu hasil survey. Partai golkar masih menunggu survey terhadap delapan kadernya, namun yang lebih berpeluang untuk mendapatkan SK, Ibarahim Medah dan Melki Laka Lena sedangkan di partai PDIP ada Ray Fernandes, Daniel Tagu Dedo, Kristo Blasin dan sejumlah figure lainnya akan bersaing mendapatkan SK dari DPP.
Menarik melihat calon-calon gubernur yang siap maju dalam pilkada NTT 2018 dari faktor usia. Faktor usia di sini menjadi faktor yang sangat penting yang perlu di perhatikan oleh masyakarakat NTT karena Kekuatan fisik seorang pemimpin bisa dilihat dari faktor usia. Apalagi kondisi topografi provinsi NTT yang terdiri dari pulau – pulau maka dibutuhkan figure muda, energik untuk bisa menggapai daerah – daerah pelosok dalam memberikan pelayanan pembangunan terhadap masyarakat. Pemimpin muda yang berbekal banyak potensi, memiliki karekter dinamis serta semangat menyala dibarengi pula dengan kebugaran fisik sangat cocok memimpin NTT kedepannya. Untuk itu, hemat penulis, calon yang layak memimpin daerah ini kedapannya adalah figure seperti Melki Laka Lena, Victor Lasikodat, Honing Sany, Alex Ofong, Kristo Blasin, Benny K. Harman, Ray Fernandes dan figur muda lainnya.
Sedangkan untuk figure Esthon Foenay dan Ibrahim Medah, hemat penulis sudah saatnya istirahat. Saatnya memberi tampuk kepemimpinan kepada orang muda untuk memimpin NTT. Dari kategori umur maka Esthon Feonay dan Ibrahim Medah sudah masuk dalam kategori Lansia. Dalam ilmu kesehatan, usia 60 tahun keatas bagi seorang pria memang masih mampu mengerjakan sesuatu, namun ia akan lebih cenderung membutuhkan perhatian dari orang sekitar, karena pada usia tersebut organ tubuh mulai melemah. Penulis sangat sepakat dengan pernyataan pengamat politik Boni Hargens bahwa NTT butuh “potong generasi” kepemimpinan (https://www.florespost.co/2017/04/05/terkait-pilgub-ntt-2018-ntt-butuh-potong-generasi-kata-boni-hargens/). Dari pernyataan itu tersirat maksud bahwa NTT butuh figur-figur muda untuk jadi pemimpin.
Apa yang disampaikan Boni Hargens di atas sebenarnya masih bertalian dengan munculnya wajah – wajah lama yang dari 2003 bertarung dalam Pilgub NTT. Sebut saja Esthon Foenay dan Ibrahim Medah. NTT seolah menjadi milik mereka berdua. Publik pun sudah bosan dengan kedua wajah ini yang tak pernah memberi kesempatan pada kaum muda. Sehingga muncul guyonan lu lagi lu lagi. Munculnya figur Esthon Foenay dan Ibrahim Medah yang masih bertarung dalam pilgub NTT menunjukan bahwa NTT masih tersandera penyakit akut yakni masalah gerontokrasi. Dalam ilmu sosial, gerontokrasi (gerontocracy) dimaknai sebagai sebuah tatanan sosial politik yang dikendalikan atau didominasi oleh orang-orang tua, mereka menjadi penentu dan pengendali utama di sebuah organisasi. Gerontokrasi ini bukanlah hal baru di masyarakat kita, pola hubungan kekuasaan yang gerontokratik telah lama terbentuk di berbagai tempat. Dalam lembaga-lembaga politik, sosial, maupun keagamaan, kontrol orang-orang tua menjadi faktor utama penghambat lajunya sebuah proses perubahan.
Konservatif, lambat dan kaku, itulah ciri umum yang melekat pada kepemimpinan kaum tua. Gelombang perubahan yang demikian deras terjadi, bisa saja tidak diimbangi oleh mereka yang tua, sebab perubahan yang cepat selalu membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan, gesit dalam mencermati situasi dan tentu saja kuat secara fisik dalam menjalankan berbagai aktifitas.
Kaum tua dalam sikap politiknya cenderung mengejar dan haus akan kekuasaan. Itu sebabnya eksistensi kaum tua akan menghambat pengembangan kaum muda, sebab kaum muda selalu akan muncul dengan gagasan-gagasan segar tentang perubahan, dan itu menjadi ancaman serius terhadap kaum tua.
Eksistensi gerontokrasi dalam politik akan menghambat dua hal penting menyangkut konsolidasi demokrasi. Pertama, regenerasi politik menjadi terhambat karena tertutupnya ruang untuk kaum muda dalam sirkulasi kepemimpinan. Kedua, transisi ke sitem politik yang lebih demokratis akan mengalami kesulitan karena watak kaum tua yang koservatif dan anti perubahan.
Menurut pakar politik Eep Saefullah Fatah, gerontokrasi yang meluas membawa serta sejumlah bahaya, baik politik diam-diam maupun terang-terangan kerapkali bekerja untuk menumpulkan kesadaran orang-orang muda, menumpas kekuatan orang-orang muda dan menutup kesempatan bagi orang-orang muda .
Era Baru Kaum Muda
Bahaya gerontokrasi yang nampak nyata dan cenderung menghadang jalannya sistem demokrasi, menghendaki adanya upaya serius secara politik untuk menghindari budaya politik ini di NTT. Memang dalam menghadang kekuasaan yang didominasi kelompok orang-orang tua ini bukanlah perkara mudah. Dalam konteks NTT, ancaman gerontokrasi juga berlangsung. Banyak kepala daerah yang menjadikan basis kekuasaan politik berada pada sekumpulan politisi tua yang bercokol lama di lingkaran utama partai politik maupun di pemerintahan. Realitas politik lokal diciptakan seolah-olah kaum tua adalah kelompok yang memiliki kematangan politik dan pengalaman pemerintahan yang baik, padahal tidak sedikit kaum tua di daerah ini yang gagal dalam melakukan pembangunan di daerah. Ini terlihat dari banyaknya kepala daerah yang terdiri dari orang-orang tua yang banyak terlibat dalam perkara korupsi maupun penyalahgunaan kekuasaan.
Bercermin dari ancaman di atas, dalam konteks Pilgub NTT perlu kiranya menyediakan alternatif politik kaum muda yang yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat di kontestasi elektoral (pemilu) sebagai cara menghadang berakarnya budaya politik gerontokrasi. Kasus kemenangan Emil Elistianto Dardak (umur 31 tahun) dan pasangannya Mochamad Nur Arifin (25 tahun), sebagai Bupati dan Wakil Bupati Trenggalek, Jawa Timur. Zumi Zola (35 tahun), Bupati Tanjung Jabung dan sekarang sudah menjadi Gubernur Jambi. Sutan Riska Tuanku (26 tahun) yang merupakan Bupati Dharmasraya, Sumatera Barat, menunjukan bahwa sebenarnya masyarakat menginginkan alternatif pemimpin yang cekatan dari kalangan kaum muda. Kelompok kaum tua semakin tidak mendapatkan kepercayaan (trust) dari masyarakat.
Di tengah kemenangan politisi muda di beberapa pemilukada, ada angin segar dalam tradisi politik kita yang selama ini diwarnai wajah-wajah lama yang dominan dari kelompok kaum tua. Gelombang kepercayaan akan kualitas yang dimiliki kaum muda lamban laun mulai dipahami masyarakat. Budaya politik lama mulai perlahan tergerus dan kepercayaan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mendukung terciptanya budaya politik yang terbuka ini.
Oleh sebab itu, merupakan tanggung jawab yang fundamental untuk secara kolektif mengupayakan terwujudnya kesempatan politik yang terbuka ini agar bisa diakses oleh setiap kelompok supaya arah baru politik kaum muda semakin mendapat tempat di Nusa Tenggara Timur. Wajah politik kita mulai menuju ke arah kematangan, ada asa tercipta dalam demokrasi bahwa kesempatan politik dimiliki semua orang. Kaum muda adalah masa depan politik Indonesia maupun NTT dan pendorong utama majunya demokrasi sebuah bangsa.
Penulis: Igo Halimaking
0 komentar:
Posting Komentar