Bupati Yantje Sunur menghebohkan masa pengunjung pengadilan Negeri (PN) Lewoleba, Selasa (15/9). Saat itu Ia barusan mendapat kuliah hukum gratis dari Akhmad Bumi dalam sidang kasus dugaan pemalsuan Dokumen pemakzulan atas dirinya oleh DPRD dengan terdakwa Philipus Bediona. Pengunjung sidang PN Lewoleba menyaksikan sendiri bagaimana bupati Lembata ini terpancing emosi dan meledak marah saat Akhmad Bumi menanyakan dugaan pemerasan yang dilakukannya terhadap kontraktor Paulus Lembata. Kasus ini telah dilaporkan sebelumnya ke Polres Lembata tetapi didiamkan oleh Kapolres Wresni Satya Nugroho hingga detik ini.
Dalam kemarahannya, bupati Yantje Sunur menunjuk – nunjuk dan mengatai – ngatai romo Frans Amanue sebagai biang kerok dari segala persoalan di Kabupaten Lembata (FP 16/9). Padahal seperti yang disampaikan romo Frans - Bupati Yantje Sunur sendirilah yang justru sedang berperkara dan baru saja memberikan kesaksian setelah nyaris dipanggil paksa oleh jaksa karena telah mengabaikan panggilan sidang lebih dari batas normal dan waras secara hukum. Romo Frans Amanue menyebut tindakan bupati Yantje sunur ini dengan “ Perilaku kampungan”.
Perilaku kampungan ini pernah dialami romo Frans Amanue ketika sopir pribadi Yantje Sunur bernama Omi Wuwur – salah satu tersangka kasus Lorens Wadu – pernah mencegat Romo Frans dalam kaitannya dengan kasus terbunuhnya Lores Wadu. Romo Frans Amanue selama ini getol memperjuangkan kebenaran dan keadilan hukum dalam banyak kasus criminal yang diduga melibatkan bupati Yantje Sunur. Ia juga sangat aktif menggunakan media khususnya Flores Pos untuk mencerahkan kesadaran dan mencerdaskan rasionalitas public melalui tulisan dan pernyataan sikap yang keras dan konsisten demi kemaslahatan rakyat.
Romo Frans menggunakan kata “Kampungan” untuk melukiskan perilaku seorang pejabat selevel bupati semodel Yantje Sunur ini. Kamus besar Bahasa Indonesia menerangkan kata “kampungan” dengan arti : berkaitan dengan kebiasaan di kampung, terbelakang (belum modern), kolot, tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, kurang ajar (2008: 614). Romo Frans Amanue adalah rohaniwan katolik yang sangat terhormat dan bermartabat. Menurut Bernadus Sesa Manuk, perilaku kampungan bupati itu patut diduga telah direncanakan dan menjadi provokasi untuk memancing emosi masa (FP 19/9). Tapi orang Lembata tidak terpancing dengan perilaku kampungan bupati model ini. Mayoritas rakyat Lembata tinggal dikampung – kampung tetapi terhormat dan bermartabat. Mereka sangat menghormati sesamanya. Orang – orang Lembata memang tinggal di kampung – kampung, tetapi perilaku, sikap dan tutur kata mereka tidak kampungan dengan rohaniwan katolik yang sangat dihargai dan dihormati. Orang- orang kampung di Lembata tidak pernah berlaku kasar, mengkambing hitamkan dan mengumbar kekerasan kepada seorang pastor. Orang – orang Lembata memang lahir dan tinggal di kampung tetapi perilaku mereka lebih beradab dari perilaku bupati.
Selama ini romo Frans tidak pernah memeras orang, tidak pernah melaporkan orang ke polisi, tidak pernah mendalangi pembunuhan siapapun, dan tidak pernah menggunakan uang rakyat untuk melakukan perjalanan dinas berminggu – mingu. Romo Frans lebih pantas menjadi Bupati Lembata karena lebih sering berada di Lembata dan memperjuangkan tegaknya hukum, kebenaran dan keadian di tanah Lembata. Jadi, masihkah rakyat Lembata akan memilih lagi orang – orang arogan berperilaku kampungan sebagai pemimpin mereka dimasa yang akan datang?
(SUMBER: Buku “Lembata Negeri Kecil Salah Urus”, Karya Steph Tupeng Witin)
Dalam kemarahannya, bupati Yantje Sunur menunjuk – nunjuk dan mengatai – ngatai romo Frans Amanue sebagai biang kerok dari segala persoalan di Kabupaten Lembata (FP 16/9). Padahal seperti yang disampaikan romo Frans - Bupati Yantje Sunur sendirilah yang justru sedang berperkara dan baru saja memberikan kesaksian setelah nyaris dipanggil paksa oleh jaksa karena telah mengabaikan panggilan sidang lebih dari batas normal dan waras secara hukum. Romo Frans Amanue menyebut tindakan bupati Yantje sunur ini dengan “ Perilaku kampungan”.
Perilaku kampungan ini pernah dialami romo Frans Amanue ketika sopir pribadi Yantje Sunur bernama Omi Wuwur – salah satu tersangka kasus Lorens Wadu – pernah mencegat Romo Frans dalam kaitannya dengan kasus terbunuhnya Lores Wadu. Romo Frans Amanue selama ini getol memperjuangkan kebenaran dan keadilan hukum dalam banyak kasus criminal yang diduga melibatkan bupati Yantje Sunur. Ia juga sangat aktif menggunakan media khususnya Flores Pos untuk mencerahkan kesadaran dan mencerdaskan rasionalitas public melalui tulisan dan pernyataan sikap yang keras dan konsisten demi kemaslahatan rakyat.
Romo Frans menggunakan kata “Kampungan” untuk melukiskan perilaku seorang pejabat selevel bupati semodel Yantje Sunur ini. Kamus besar Bahasa Indonesia menerangkan kata “kampungan” dengan arti : berkaitan dengan kebiasaan di kampung, terbelakang (belum modern), kolot, tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, kurang ajar (2008: 614). Romo Frans Amanue adalah rohaniwan katolik yang sangat terhormat dan bermartabat. Menurut Bernadus Sesa Manuk, perilaku kampungan bupati itu patut diduga telah direncanakan dan menjadi provokasi untuk memancing emosi masa (FP 19/9). Tapi orang Lembata tidak terpancing dengan perilaku kampungan bupati model ini. Mayoritas rakyat Lembata tinggal dikampung – kampung tetapi terhormat dan bermartabat. Mereka sangat menghormati sesamanya. Orang – orang Lembata memang tinggal di kampung – kampung, tetapi perilaku, sikap dan tutur kata mereka tidak kampungan dengan rohaniwan katolik yang sangat dihargai dan dihormati. Orang- orang kampung di Lembata tidak pernah berlaku kasar, mengkambing hitamkan dan mengumbar kekerasan kepada seorang pastor. Orang – orang Lembata memang lahir dan tinggal di kampung tetapi perilaku mereka lebih beradab dari perilaku bupati.
Selama ini romo Frans tidak pernah memeras orang, tidak pernah melaporkan orang ke polisi, tidak pernah mendalangi pembunuhan siapapun, dan tidak pernah menggunakan uang rakyat untuk melakukan perjalanan dinas berminggu – mingu. Romo Frans lebih pantas menjadi Bupati Lembata karena lebih sering berada di Lembata dan memperjuangkan tegaknya hukum, kebenaran dan keadian di tanah Lembata. Jadi, masihkah rakyat Lembata akan memilih lagi orang – orang arogan berperilaku kampungan sebagai pemimpin mereka dimasa yang akan datang?
(SUMBER: Buku “Lembata Negeri Kecil Salah Urus”, Karya Steph Tupeng Witin)
0 komentar:
Posting Komentar