Post views: counter

Senin, 09 Januari 2017

NEGRI KECIL SALAH URUS


Lembata adalah sebuah negri kecil seluas 1.180 km2. Kabupaten pulau yang membentang di atas hamparan laut biru yang bergelora ini yang dihuni kurang lebih dari 131 ribu jiwa. Penduduk sebanyak itu tersebar di sembilan kecamatan. Lembata telah menjadi kabupaten selama 17 tahun semenjak bergulirnya otonomi daerah pada tahun 1999. Barnes melukiskan bentang geografis Lembata sebagai “menyerupai a flying bird” (seekor burung yang sedang terbang), memiliki barisan gunung api dan bentangan sabana pegunungan dan sumber mata air panas di daerah pesisirnya (R.H. Barnes, Kedang. 1974, hlm. 2-15). Tetapi keindahan itu seakan lenyap saat ini.

Keindahan tahun 1999, Lembata terus diamuk konflik kepentingan politik dan birokrasi yang tak bertepi. Ruang-ruang publik birokrasi dan politik sarat dengan berbagai pertikaian, intrik dan persekongkolan. Negri kecil ini menjadi medan pertarungan kekuasaan politik yang sengit. Proses pilkada menjelma sebatas ruang demokrasi akal-akalan demi membangun dinasti komplotan untuk merampas hak rakyat Lembata dengan berlindung dibalik institusi negara seperti kepolisian. Masa pemerintahan ‘Lembata Baru” yang dinakhodai duet Eliaser Yantje Sunur-Viktor Mado Watun hanya membuat eksitensi Lembata semakin terpuruk di tahun ke tiga ini, dan rakyat Lembata semakin muak menyaksikan suguhan kepemimpinan yang tak jelas kerja dan tujuannya. Publik Lembata yang kritis hanya mampu mengelus dada menyaksikan Lembata tanpa kepemimpinan de facto, yang membawa pada rusaknya situasi di Lembata.

Ada 3 elemen yang berpartisipasi aktif dalam perusakan Lembata. Pertama, Bupati. Ia memperlakukan rakyat Lembata sekehendak “mimpinya”. Bupati penghobi olahraga balap ini agar Lembata menjadi terkenal sebagai arena balapan motor dan mobil, alih-alih menjadikannya sebuah negeri kecil yang sejahtera, gemah ripa loh jinawi, bagi setiap penghuninya. Bupati begitu seenaknya meninggalkan Lembata bermingggu-minggu tanpa kepekaan sedikitpun terhadap persoalan-persoalan di kabupaten yang secara de jure dipimpinnya. Mulai dari manajemen RSUD yang amburadul, hingga masalah yang ada pada semua proyek di wilayah ini, di mana hampir semua proyek itu di kuasai keluarga bupati. Gerombolan ini menyulap Lembata menjadi ajang cari makan dengan merampas secara kasar dan sewenang-wenang hak-hak rakyat Lembata. Sementara kualitas berbagai proyek yang sangat buruk, dan kebanyakkan hanya bergantung kepada kesenangan bupati semata, tanpa sama sekali memiliki keberpihakkan yang jelas bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Lembata. Proyek pembangunan patung dewi Amor, proyek pembangunan tujuh huruf nama, “Lembata” senilai Rp 721 juta, dan rencana membangun jembatan gantung, hanyalah sebagian di antara proyek-proyek selebrasi tak jelas semacam itu.

Begitulah, Lembata di tangan kepemimpinan Yantje Sunur ibarat tong masalah tanpa solusi kepemimpinan. Kasus-kasus kekerasan seperti pembunuhan Lorens Wadu tidak pernah di tanggapi.

Elemen kedua adalah Polisi. Kepolisian di lembata adalah instrusi pelindung bupati Yantje Sunur. Semua kasus yang diduga melibatkan bupati tidak pernah di sentuh polisi. Yantje Sunur bersih di mata polisi. Kasus pemerasan yang dilakukan bupati terhadap Hui tidak pernah ditindaklanjuti. Kasus kematian Petrus Sita di ladang galian bakal medan motocross Waiara yang menjadi kesenangan bupati tidak pernah direkonstruksi dan diusut tuntas oleh polisi. Tetapi ketika bupati melaporkan kasus pencemaran nama baik dan dugaan pemalsuan dokumen pemakzulan, polisi begitu gesit menanggapi. Kasus termuktakhir adalah penetapan tersangka terhada Kobus Liwa yang mengkritik bupati disidang paripurna dan Philipus Bediona dan Feri Limawai dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen pemakzulan bupati. Ketua DPRD menyatakan tidak ada pemalsuan, tetapi polisi tak mau tahu dan tetap tancap gas. Padahal, semua anggota DPRD di lindungi UU ketika menjalankan fungsi control. Toh bupati bersama polisi masih saja bisa bersekongkol mengkriminalisasi anggota DPRD. Anehnya, dokumen laporan polisi ke bupati bocor ke publik. Persekongkolan antara bupati dan polisi terbaca terang. Bau busuk kolusi menyeruak.

Ketiga, DPRD. Institusi ini tidak lebih dari perpanjangan tangan bupati. Beberapa pimpinan dan anggota adalah pembela bupati di ranah legislative. Proses pemakzulan bupati, misalnya, memperlihatkan kehilangan martabat. Beberapa anggota diduga menjadi ‘piaraan’. Mereka betul-betul ‘pasang badan’ demi sang pembayar. Memalukan.

Siapa yang bisa di harapkan untuk melawan salah urus negri Lembata ini? Bupati, polisi, DPRD dan birokrasi tidak bisa diharapkan orang-orang dalam institusi ini bersikap seragam, “maju tak gentar membela yang bayar dan yang memberi jabatan’. Tak pelak, rakyat mesti bersatu dan bangkit merebut Lembata dari proses perusakan di segala dimensi. Lembata tidak boleh dibiarkan rusak di tangan orang-orang itu. Saatnya Lembata di pulihkan dari lumuran sampah dan tinja kekuasaan. Jangan biarkan negri kecil salah urus ini menjadi arena pesta pora para penyamun lapar.

Sumber: Buku "Lembata Negeri Kecil Salah Urus" Karya Steph Tupeng Witin
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support