Zubaidah adalah wanita muslim pemberani yang berdagang dipasar Pada. Lahir dirayuan Kelapa kelurahan Lewoleba Utara, Kecamatan Nubatukan, 19 September 1972. Pendidikan SMA Negeri 1 Nubatukan (Sampai kelas 1). Suaminya, Iwan adalah nelayan. Anak – anaknya; Ira, sudah menikah, Faizal, Kuliah di Kupang, Megawati, kelas 3 SMA dan Marzuki, kelas 6 SD. Ia sendiri mengaku bahwa pendidikannya sangat terbatas. Tapi kata – kata dan keberaniannya membuktikan bahwa Zubaidah cerdas dalam diri dan kemampuannya. Ia berani berbicara tentang kelakuan pemimpin seperti bupati Yantje Sunur. Ia tahu betul tingkah pola pemimpin rakyat Lembata ini yang lebih pantas disebut “Bupati Pedagang TPI”. Kata – kata zubaidah menyiratkan kejujuran yang otentik. Zubaidah bicara dari konteksnya sebagai rakyat kecil yang dituntut menaati aturan sementara bupati Yantje Sunur justru melanggar peraturan daerah (Perda) yang Ia tandatangani sendiri. Zubaidah gerah dengan pemimpin Lembata yang memakai kekuasaannya untuk melanggar peraturan yang ia tuntut harus ditaati pedagang kecil seperti Zubaidah. Maka para pedagang melakukan protes dengan aksi konkret : berjualan di Taman Kota “Swaolsa Titen”.
Zubaidah adalah representasi sikap cerdas dan bening nurani rakyat jalata yang akan sangat mengagumi dan menghormati pemimpin yang jujur dan benar tapi sekaligus akan menjadi garang dan kasar melawan penguasa yang melanggar peraturan sesukanya. Zubaidah berjuang untuk ratusan pedagang pasar pada yang menjadi korban pelanggaran Perda Nomor 13 Tahun 2004 oleh Bupati Yantje sunur. Perda ini menegaskan bahwa di Kota Lewoleba hanya ada dua pasar yaitu pasar Pada dan Lamahora. TPI itu Tempat Pendaratan Ikan yang awalnya menjadi Pasar Senja. Tapi Bupati Yantje Sunur menjadikannya pasar harian selama 4 tahun. Ratusan pedagang pasar pada adalah orang – orang sederhana yang datang dari kampung – kampung di Lembata untuk mengadu nasib. Mereka datang ke pasar Pada karena tahu bahwa inilah pasar yang resmi. Keluhan telah disampaikan berulangkali kepada DPRD dan pemerintah. Tapi didengarkan pun tidak, apalagi dilaksanakan. Bupati Yantje Sunur malah lebih sibuk berpesta bersama pedagang TPI yang merayakan HUT ke – 4 pasar TPI. Orang – orang kecil yang berjuang dengan mengalirkan keringat sendiri seperti inilah yang merupakan kritik paling hidup dan berenergi.
Mari kit baca Narasi Zubaidah tentang perilaku bupati Yantje Sunur pada perayaan HUT ke - 4 pasar TPI. Disebuah Koran terbitan Kupang yang wartawannya di Lewoleba disebut “Wakil Bupati”, ada foto bupati Yantje Sunur sedang disuapi oleh seorang pedagang TPI wanita. Pembaca yang buta realitas politik di Lembata akan bergumam “Bupati Merakyat”. Tapi pembaca kritis yang tahu warna kulit politik Lembata akan tertawa geli. Adegan itu hanya sandiwara murahan dan pencitraan basi. Menurut Zubaidah, dalam perayaan itu bupati Yantje Sunur menyampaikan beberapa hal. Pertama, tidak ada satu orang pun menggugat pedagang TPI selagi dia masih menjadi Bupati Lembata. Kedua, TPI adalah pasar rakyat, bukan pasar pemerintah. Ketiga, TPI jadi tempat wisata dan tidak ada penambahan pedagang. Keempat, para pedagang diminta menyampaikan kepada keluarga besar mereka masing – masing bahwa Yantje Sunur akan maju lagi dalam Pilkada nanti (FP 28/3). Pedagang TPI pasti bersorak karena Yantje Sunur telah menjadi bupati mereka selama 4 tahun. Lembata ia rangkum seperti Tempat Pendaratan Ikan. Pedagang TPI pasti mendukung calon bupati yang akan memimpin TPI berjualan ikan. Orang – orang di TPI pasti mendukung Dia karena hanya Dia yang selalu setia datang di TPI. Maka layaklah jika Ia digelari “Bupati TPI”. Ini yang membedakan dengan bupati Lembata yang mengunjungi seluruh rakyat, tidak melanggar perda nomor 12 tahun 2004 hanya untuk sebuah pencitraan semu setelah terpental dengan sangat menyakitkan dan memalukan dari pentas pencalonan ketua DPC PDIP Lembata. Kita patut menduga, di TPI inilah Yantje Sunur menemukan demokrasi yang sesungguhnya yang Ia pertanyakan di PDIP selepas keputusan DPP PDIP yang menumbangkan dirinya.
Zubaidah telah menginspirasi seluruh rakyat Lembata agar menyudahi masa kepemimpinan saat ini melalui proses politik dan demokrasi pilkada nanti. Pemimpin saat ini lebih cocok memimpin para pedagang ikan di TPI. Mengapa? Karena para pedagang di TPI tidak akan membantahnya, tidak akan mengkritiknya dan hanya sanggup mengiyakan apapun kehendak bupati, seorang bupati yang tak punya kapasitas pemimpin sebagai seorang pemimpin sejati.
(SUMBER: Buku “Lembata Negeri Kecil Salah Urus”, Karya Steph Tupeng Witin)
0 komentar:
Posting Komentar