Post views: counter

Senin, 09 Januari 2017

RINDU BUPATI BERSIH


Bentara edisi kali ini ditulis sebagai ungkapan keprihatinan mendalam redaksi atas kinerja para bupati di seluruh kabupaten di NTT pada umumnya, dan di Flores dan Lembata, pada khususnya. Nurani kami, diamuk gelisah ketika membaca berita seputar kasus-kasus publik yang yang melibatkan beberapa bupati. Publik Flores dan Lembata yang kritis mulai gerah dengan masalah-masalah yang melibatkan para pemimpin di pulau-pulau tersebut. Mulai dari isu kejahatan ekonomi seperti tambang ilegal dan improsedural, dugaan masalah moral pejabat, dugaan korupsi hingga sederajat kasus lainnya.

Publik memahami bahwa para Bupati adalah manusia biasa seperti rakyat jelata lainnya. Tetapi sebagai tokoh publik, mereka memiliki kewajiban untuk memimpin, menjadi teladan untuk rakyatnya, dan membangun daerah dengan kesungguhan hati, dalam etos ing ngarsa sung tulada, ing madaya mangun karsa, tut wuri handayani. Modal utamanya tentulah kepercayaan rakyat.

Tanah Flores dan Lembata sangat potensial untuk mensejahterakan rakyat. Seandainya potensi-potensi itu dikembangkan dengan sebaik-baiknya, pemerintah tidak perlu menadahkan tangan seperti pengemis ke Jakarta bahkan sekalipun alokasi dana pembangunan untuk setiap kabupaten memang disediakan oleh Negara apalagi kok sampai harus mengumpulkan uang dari rakyat untuk membayar pelobi di Istana Negara dan Senayan. Publik jadi bertanya-tanya, apakah para bupati ini tidak memiliki kemampuan membangun jejaring dan komunikasi yang sehat dengan Istana Negara dan Senayan hingga membutukan makelar-makelar proposal dan makelar proyek untuk bisa menggolkan proyek-proyek kesejahteraan bagi rakyat ?

Di depan rakyat, para bupati ini tampak gagah dan berwibawa. Di balik itu, proyek-proyek pembangunan saja (konon) harus dilobikan oleh orang lain hingga bupati perlu memeras rakyat untuk membyar makelar-makelar lobi semacam itu. Lalu, begitu proyek pembangunan jadi, ada klaim bahwa itu hasil lobinya sendiri yang kemudian di hadiahkannya untuk rakyat. Klaim-klaim semacam itu mereka “jual” untuk mendapatkan simpati rakyat, terutama menjelang pilkada. Dukungan rakyat diraih dengan medium begitu dangkal. Jabatan bupati digadaikan dengan begitu murah meriah di bawah bayang-bayang para kontraktor tamak yang setiap saat menadah proyek-proyek. Grombolan yang bekerja ala mafia inilah yang terus saja memurukkan derap pembangunan di pulau-pulau kita dari dulu hingga saat ini.

Bupati-bupati kita adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat. Tetapi yang jadi soal adalah proses menjadi “orang pilihan rakyat” itu. Dengan cara bagaimana mereka meraih dukungan rakyat ? apakah kemenangan pilkada itu diraih dengan aliran dana dan gelontoran sembako yang jumlahnya tak seberapa disertai janji-janji kosong? ataukah rakyat pemilih didekati secara emosional dengan memelintir dengan berbagai isu suku, agama, ras, dan golongan, bahkan tak jarang dengan memanipulasi dengan ayat-ayat kitab suci ? sudah sering terjadi jiwa dan nurani rakyat diobrak-abrik atas nama “Tuhan” demi kepentingan kekuasaan politik sementara. Rasionalitas rakyat pemilih dibuta-tulikan dengan materi yang besarannya tak signifikan serta umbaran informasi dan janji-jani manis dalam kampanye yang menyesatkan. Panggung kampanye tidak dijadikan sebagai ajang untuk membangun rasionalitas rakyat dengan program-program pembangunan, tetapi menjadi ajang jual keangkuhan, kebesaran diri yang hampa dan berbagai omong kosong yang menegaskan kemampuan membangun yang nihil dari realisasi, yang, entah bagaimana diraih, klaim yang muncul adalah “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Namun Tuhan seolah begitu rendah dan dangkal, dijadikan embel-embel yang seolah melegitimasi “restu” rakyat. Terdengar lantang layaknya klaim orang beragama yang tidak beriman.

Memang, Tuhan itu sebuah keagungan yang nyata terlibat ditengah realitas politik; tetapi dia tidak selalu identik dengan kehendak rakyat, terutama bila hal itu hanya klaim opurtunus politik orang-orang tertentu yang menginginkan “legitimasi rakyat” atas suatu jabatan. Bila itu yang terjadi, itu artinya kekuasaan sudah sejak jauh hari dirancang dengan jalan yang tidak sehat. Mayoritas politik yang di buat irasional disesatkan oleh informasi-informasi yang dilontarkan oleh calon-calon pemimpin semacam itu, sebuah perilaku yang merupakan ikhtiar membangun kekuasaan di atas dasar yang sangat rapuh. Keserakahan akan kekuasan menjustifikasi langkah mereka untuk menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasan. Lalu, ketika jabatan sudah di tangan, ketakutan akan kehilangan kekuasaan membuat mereka kalap. Segala tipu daya dan bahkan langkah kekerasanpun ditempuh. Tukang-tukang pukul dan preman yang berlaku ala body guard pun jadi penghias kekuatan otot ketika kekuatan otot pejabat kalah dalam adu argumen yang cerdas ketika berhadapan dengan kepentingan rakyat banyak.

Di tengah situasi seperti ini, masih bisakah kita mengharapkan dan merindukan sosok bupati pemimpin yang bersih? Harapan itu selalu hadir di tengah rasionalitas publik yang sehat dan tak pernah berhenti berharap akan datangnya sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, publik senantiasa mengharapkan bahwa proses pilkada dapat menghadirkan calon-calon pemimpin yang tidak hanya berkualitas tetapi juga benar-benar peduli pada perbaikan kualitas kehidupan rakyat. Mereka juga berharap bahwa pilkada bisa berlangsung dengan jujur dan elegan, seraya memberi ruang yang seluas-luasnya bagi rakyat untuk memilih secara cerdas berdasarkan pada pengetahuan dan pemahaman tentang kondisi kehidupannya dihadapan kualitas calon-calon pemimpin yang dipilihnya. Rasionalitas dan nurani rakyat mesti dihargai oleh para calon pemimpin. Permainan uang mesti dihentikan. Pilkada yang dimenangkan dengan uang akan menjadikan kekuasaaan sebagai momen pengambilan ongkos dan membayar hutang. Rakyat harus diyakinkan untuk memilih karena integritas dan komitmen membangun yang dimiliki oleh para kandidat, bukan karena iming-iming materi sesaat. Dana kampanye para kandidat mesti diaudit dan diawasi dengan ketat, karena hanya dengan demikian pemimpin yang dihasilkan adalah murni pilihan rakyat, buka hasil transaksi dengan kontraktor plus kapitalis. Kesadarang rakyat janganlah dicemari oleh politisi dan para calon pejabat dengan permainan uang yang gila. Politik harus menjadi investasi masa depan yang rasional. Rakyat yang rasional dan cerdas tidak akan menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin yang dibarter dengan alokasi proyek pembangunan. Bupati harus tampil sebagai sosok yang bijaksana, bersih dan cerdas. Hanya dengan jalan inilah tanah Flores dan Lembata selamat dari proses kehancuran yang sesungguhnya didesain dengan struktur yang tamak dan represif.

Sumber: Buku "Lembata Negeri Kecil Salah Urus" Karya Steph Tupeng Witin
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support