Ketika menggelar jumpa pers di Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) NTT di Kupang, Selasa (3/1/2017), Kepala BPS NTT, Maritje Pattiwaellapia menyebutkan, hingga September 2016 NTT masuk peringkat ketiga untuk jumlah penduduk miskin di Indonesia setelah Provinsi Papua dan Papua Barat. Jumlah penduduk miskin di NTT mencapai 22,01 persen atau 1.150.080 orang dari sekitar 5, 2 juta penduduk provinsi ini.
Ia menjelaskan, jumlah penduduk miskin di NTT pada September 2016 meningkat 160 orang dibanding jumlah penduduk miskin pada Maret 2016 yang berjumlah 1.149.920 orang (22,19 persen).
Berdasarkan daerah tempat tinggal, lanjutnya, selama periode Maret hingga September 2016, persentase penduduk miskin di daerah pedesaan menurun sebanyak 300 orang (dari 1.037.900 orang menjadi 1.037.600 orang) dan untuk penduduk perkotaan mengalami kenaikan sebanyak 460 orang (dari 112.020 orang menjadi 112.480 orang).
Pada periode Maret-September 2016, kata Maritje, garis kemiskinan naik sebesar 1,26 persen. Naik dari Rp 322.947 per kapita per bulan pada Maret 2016 menjadi Rp 327.003 per kapita per bulan pada September 2016.
Dikatakannya, peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan dengan peranan komoditi bukan makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Maritje menyatakan, peran BPS adalah memotret kondisi kemiskinan di NTT untuk dicarikan solusinya. "Peranan BPS yaitu memantau, memotret kondisi kemiskinan di daerah ini. Diperlukan kerja sama semua pihak untuk mengentaskan kemiskinan," tuturnya.
Maritje menyebutkan, pada tahun 2013 dan 2014, Provinsi NTT berada di urutan keempat provinsi dengan penduduk miskin terbanyak di Indonesia. Namun, pada tahun 2015 naik lagi ke peringkat ketiga. "Mau turunkan lagi agak susah, apalagi kebutuhan pokok pada mahal. Punya hasil bumi banyak tetapi miskin, apa ada yang salah? Mudah-mudahan tahun depan bisa lebih baik lagi," ujarnya.
Ia menjelaskan komoditi yang memberi sumbangan besar terhadap garis kemiskinan di NTT pada September 2016, baik di perkotaan maupun pedesaan adalah beras kemudian diikuti rokok.
"Masyarakat kita merasa tidak makan, tidak apa-apa yang penting kereta apinya (merokok, Red) lancar terus. Ini pola konsumsi yang kurang bagus. Biar rokok harganya mahal tetap merokok. Padahal masyarakat dengan penghasilan rendah seharusnya memprioritaskan kebutuhan mendasar dibandingkan kebutuhan lainnya," kata dia. Dia menambahkan, apabila penduduk memiliki penghasilan per bulan Rp 1.500.000 tidak masuk kategori miskin.
Sumber: http://kupang.tribunnews.com
0 komentar:
Posting Komentar