Post views: counter

Senin, 29 Desember 2014

Mungkinkah Ada Sesuatu Yang Baik Datang Dari Jontona?




Pada tanggal 8 September 2012, saya rasa bahagia karena bertahan menjadi biarawan Katoilik selama 25 tahun. Dua teks kitab suci yang berbeda saya pilih untuk menjadi moto kaul-kaul kebiaraan saya Kaul Pertama, Mungkinkah ada sesuatu yang baik datang dari Nasareth? (Yoh. 1: 36); sementara Kaul Kekal; Segala sesuatu mungkin bagi mereka yang percaya (Mk 9:23). Tentu saja ada alasan yang cukup kuat sehingga saya memilih kedua teks tersebut.
Jika ada acara tabhisan imam atau upacara syukuran seperti ini, dalam kata sambutan orang sering kali menyampaikan ini, bahwa kehidupan membiara berawal dari keluarga, atau Keluarga merupakan seminari dasar bagi panggilan hidup membiara. Rupanya saya tidak masuk dalam kategori keluarga asal seperti ini.
Saya berasal dari keluarga petani miskin, bukan katolik tulen. Bapa saya seorang katolik yang pergi merantau ke Tawau-Malaysia sejak saya masih berumur 6 bulan. Saya dibesarkan oleh mama saya yang beragama tradisional, alias kafir.
Mama baru dipermandikan pada tahun 1989, ketika saya sudah menjadi seorang Bruder. Pada saat pastor paroki bertanya pada mama, nama pelindung siapa yang dipilihnya, Mama katakan, “Ya, anak saya bruder to. Jadi saya pilih santu Gabriel jadi pelindung saya…”. Maka pada hari itu juga surga pun bergembiara karena ada tambahan seorang anggota baru bernama Gabriela. Jadi, adakah sesuatu yang baik disini…? Jelas… ada!
Keinginan untuk menjadi seorang biarawan sudah ada sejak saya di SMP St. Pius X Lewoleba,  maka ketika tamat SMP tahun 1979, saya menyatakan keinginan  masuk Seminari Hokeng. Namun kerinduan itu tak kesampaian karena kesulitan keuangan dan orang tua tidak mengijinkan. 
Benih panggilan yang sedikit itu menjadi terlantar bersamaan dengan masa belajar di  SMA PGRI Lewoleba dengan segala lika liku kehidupan seorang anak SMA. Tamat dari SMA, saya mengiktui Kursus Menjahit di Kuanino Kupang dan pertukangan di Balai Latihan Kerja Indonesia (BLKI) Oesapa Kupang. Tamat dari kursus ini pada akhir tahun 1983, saya ditawarkan untuk bekerja di BLKI. Namun saya tolak. Saya ingin kembali ke kampong. Saya ingin temukan Sesuatu Yang Baik di kampung. Entah apa namanya, masih kabur.
Nah di kampung sana, sesuatu yang baik dan indah itu muncul pada waktunya. Awal tahun 1984, secara kebetulan saya bertemu dengan Paulus Boli (Br. Paul Fidelis yang sekarang menjadi misionaris di PNG). Ia mengajak saya untuk melamar masuk Biara Bruder di Ende. Itu pertama kali saya dengar nama Biara Bruder St. Konradus (BBC) Tanpa pikir panjang saya buat lamaran, tanpa sepengetahuan orangtua.
Lamaran saya diterima dan diminta ke Ende kalau semua persyaratan sudah ada. Persyaratan itu antara lain surat keterangan pastor paroki, surat ijin orangtua, surat permandian, surat keterangan kepala sekolah, keterangan polisi, dan lain-lain.
Ketika saya sampaikan berita ini kepada orang tua saya, mereka tidak setuju khususnya mama saya. Walau orang tua tidak setuju, saya tetap mengurus surat-surat yang lain. Niat saya yang tulus itu semakin dipersulit oleh pastor Paroki, P. Petrus Maria Geurst, SVD. Beliau tidak memberikan surat keterangan.
Saya minta sampai tiga kali dan beliau tetap pada pendiriannya, dia mengatakan “Engkau berasal dari marga Balawangak yang kebanyakan punya istri dua. Engkau berasal dari desa Jontona, yang umatnya malas ke Gereja.
Hari minggu orang pergi Gereja, orang-orang dari Jontona pergi kebun, pergi pindah kambing, kuda, kasih makan babi dan tidak ingat Tuhan. Sudah banyak anak muda dari desa Jontona masuk biara tapi semuanya sudah keluar. Engkau tidak bisa menjadi seorang biarawan.
“Wah wah wah… jadi sepertinya tidak ada sesuatu yang baik dari marga saya… dari desa saya dari stasi saya…. Tetapi … akhirnya….”.
Pada pertemuan terakhir  dengan pastor paroki  saya katakan, “Pater… Pater setuju atau tidak, Pater kasih surat atau tidak kasih surat keterangan….saya akan tetap ke biara.” Mungkin Beliau gentar juga mendengar ketegasan pemuda yang tidak tahu apa-apa tentang hidup membiara ini, sehingga ia menjawab, “surat keterangan akan menyusul”. Akan menyusul yang tidak pernah menyusul.
Juli 1984, saya tiba di Biara Bruder Kondradus (BBK) tanpa membawa surat keterangan dari Pastor paroki dan surat ijin orangtua.  Ketika kami diminta untuk mengumpulkan semua dokumen, Saya cemas dan takut. Dalam situasi ini, setan apa yang berbisik dalam hati, tapi dengan satu keberanian yang konyol, saya mengarang isi  surat ijin orang tua termasuk tanda tangan bapa saya.
Saya menyerahkan dokumen-dokumen tersebut kepada P. Rektor Biara St. Konradus (P. Didakus Diwa, SVD).  Saya tidak pernah dipanggil lagi dalam urusan perlengkapan dokumen sampai dengan saat ini. Mungkin seperti Isak yang buta dibohongi Yakub untuk mendapatkan berkat, dalam Kejadian 27:1-40,  P. Rektor  Didakus  dan Dewan Rumah waktu itu percaya saja. Dan Tuhan sepertinya setuju juga… ya Pastor paroki tidak mau beri surat… Tuhan sendiri ambil tindakan…)
Saya bersama 8 teman diterima secara resmi masuk Kandidat 28 Juli 1984. Selama masa kandidat dan postulan saya bekerja di percetakan bagian pesiapan naskah – Kemudian pada tanggal 8 September 1985, saya bersama  7 teman lainnya diisinkan masuk ke novisiat. Lalu pada tanggal 8 September 1987 bersama teman-teman saya mengikrarkan kaul pertama dalam Serikat Sabda Allah dengan memilih moto: Mungkinkah ada sesuatu yang baik datang dari Nasareth/Jontona?
Merefleksikan kembali Kesetian Tuhan selama 25 tahun sebagai biarawan SVD yang berkaul, saya menemukan berkat belaskasihan dan kemurahan Tuhan yang tersalur lewat banyak perisitiwa, pengalaman dan orang-orang yang saya jumpai. Rencana Tuhan memang sulit dimengerti tapi semuanya itu indah pada waktunya. kalau saya percaya. Peristiwa-peristiwa itu antara lain pertama seandainya saya tetap di Kupang dan menerima tawaran BLKI, pasti saya sudah jadi PNS, menikah dan punya beberapa anak. Tetapi rupanya Tuhan mau agar dari Marga Balawangak, dari desa Jontona pun Yang baik sebagai Tanda Kasih setiaNya, dinampakkan. Adakah sesuatu yang baik dari Nazareth Jontona.  Ada.!
Kedua  Seandainya pada tahun 1984 P. Didakus bilang, “maaf dokumenmu tidak lengkap, maka berakhirlah perjalanan hidup membiara.  Tetapi mereka percaya pada ‘tipu muslihat saya’ dan Tuhan sepertinya ada di pihak saya. “Kalau Tuhan ada di pihakku siapakah dapat melawan… Pastor paroki tidak. Dewan Rumah pun tidak. Maka segala sesuatu menjadi mungkin bagi orang yang percaya.
Ketiga; Selama masa pendidikan, saya dipersiapkan untuk bekerja di Paroki. Kenyataan berbicara lain. Tahun 1988, saya ditempatkan di komunitas Ledalero. Saya protes dengan Rektor, saya tidak tahu mengetik, tidak dipersiapkan untuk kerja di kantor. P. Alex Ganggu (rector BBK waktu itu), dengan tenang menjawab, “pergi dulu, nanti kita lihat”. Saya ke Ledalero, bekerja di kantor Pusat penelitian Agama dan kebudayaan Candraditya, tanpa persiapan. Kata pembesar SVD, pergilah kemana saja pembesar mengutusmu…Tidak gampang bekerja di Candraditya…. Tapi ada enaknya juga sehingga hampir 20 tahun saya bekerja di sana. Ternyata yang dari Marga Balawangak ini bisa juga. ada sesuatu yang baik dari Jontona, karena segala sesuatu mungkin bagi orang yang percaya.
Keempat; 1 Januari 1989, setelah mama dipermandikan dan menerima komuni, ada kasus menimpa bapa saya. Saya bingung dan putusasa. Waktu itu P. Rektor, P. Alex Ganggu mengatakan kepada saya, “Peristiwa ini sangat mempengaruhi situasi batinmu, juga mempengaruhi panggilanmu. Sekarang terserah pada sikapmu dalam menghadapi masalah ini. Jangan pernah berpikir bahwa pembesar akan keluarkan engkau hanya karena masalah yang menimpa keluargamu.” Peristiwa ini membuat saya bergulat selama 9 bulan.
Kelima 17 September 1990, saya membuat refleksi  pribadi yang kuberi judul: Mengapa semua ini harus terjadi.  Akhir relleksi saya menulis: Saya pusing Tuhan! Tapi saya yakin bahwa Engkau dapat membantu. Aku pasrah pada-Mu, Tuhan tahu apa yang terbaik bagiku dan bagi orangtuaku. Hasil refleksi, Saya letakkan di bawa kaki patung Bunda Maria selama seminggu. Saya percaya. Dan Segala menjadi mungkin bagi orang yang percaya.
Keenam; Tahun 1991, ketika kami retret bersama di Mataloko, di depan sakramen Mahakudus saya bertengkar dengan P. Domi Atapukan. Beliau mengancam dan akan melaporkan saya kepada pembesar supaya saya dikeluarkan.  Seandainya pembesar waktu itu mendengar laporan P. Domi Atapukan maka malam ini saya tidak berdiri di sini. Pater Domi Atapukan dan semua yang di BBK, serta teman-teman Bruder waktu itu tahu…. pada Gaby ada sesuatu yang baik.
Ketujuh; Akhir 1992 saya dikirim ke Australia untuk studi sebagai bruder berkaul sementara. Selama 3 bulan belajar bahasa Inggris, saya bisa mengerti tapi tidak bisa omong dengan baik. Coba bayangkan hidup di Negara orang bagaimana sengsaranya kita kalau tidak bisa berkomunikasi. (waktu makan bersama maunya cepat selesai, kalau ada acara bersama, mau cepat-cepat pulang ke kamar, kurung diri di kamar, dll, pokoknya mau sendiri.) Saya sudah putusasa, mau pulang ke Indonesia. Tapi untung, saya syeringkan pengalaman ini dengan P. Bill yang tahu bahasa Indonesia dengan sangat baik, beliau menasihati saya begini, “Gaby, Tuhan menciptakan kita bukan untuk bodoh. Engkau tidak bodoh, hanya saja engkau tidak tekun dan rajin”. Ungkapan inilah yang membuat saya bertahan dan berhasil  sampai pulang ke Ende.
Kedelapan ; Tantangan yang terberat dalam hidup selama ini adalah menghayati hidup sebagai orang berkaul kekal, ketika masa kaul sementaraku diperpanjang sampai tahun terakhir (tahun 9), saya sebetulnya masih memperpanjang masa kaul itu, tapi pembesar tidak mengijinkan karena tidak ada alasan yang kuat. Saya harus ambil keputusan: MAJU atau MUNDUR. Saya dengan kebebasan penuh memilih untuk MAJU berkaul kekal.Maka pada tanggal 7 September 1995 saya mengikrakan kaul kekal dengan memilih dengan memilih moto: Segala sesuatu mungkin bagi orang yang percaya.
Mengapa saya bertahan, Karena kemurahan dan belaskasih Tuhan. Tuhan bebas memilih siapa saja menjadi abdi-Nya dan Ia tidak salah memilih saya, walau saya berasal dari keluarga yang tidak tahu berdoa secara katolik yang baik. Karena Tuhan adalah Kebaikan, maka yang ada padaNya hanya Kebaikan itu. Juga Karena keputusan hidup membiara merupakan keputusan bebas, keputusan saya pribadi bukan karena paksaan dari keluarga atau orang lain. Keluarga saya ada yang tidak setuju sampai sekarang. Tapi justru ini juga menjadi salah satu faktor mengapa saya bertahan.  Siapa suruh masuk biara.  saya sendiri pilih.
Karena dukungan dari pembesar dan konfrater seserikat serta suasana kehidupan komunitas di mana saya pernah hidup selama ini. Saya bersyukur bahwa selama masa formasi saya dibimbing oleh para formator yang sangat baik, hidup dalam komunitas di mana saya diberi kebebasan untuk menjadi diriku sendiri dan bertanggungjawab secara dewasa. Dan dukungan doa-doa keluarga, sahabat,kenalan dan dari kelompok-kelompok doa (KSM, St. Ana, GIM).
Adakah sesuatu yang baik dari Nazareth… Nazareth bisa diganti dengan apa saja yang kita mau. Setiap kali saya bertanya, adakah sesuatu yang baik dari Gaby… maka saya selalu berusaha untuk menjadi orang baik, biarawan yang baik… dan Segala sesuatu menjadi mungkin bagi orang yang percaya…. Kita semua bisa…Dan benar bagi orang percaya, ada sesuatu yang baik datang dari Jontona, sebuah desa kecil dipinggir pantai dikelilingi tebing te[at dibawah kaki Gunung Ile Ape, Lembata.

Br. Gabriel K. Wangak, SVD
Catatan pejalanan 25 tahun melayani Tuhan sebagai bruder SVD

Nama asli:
Gabriel Kesape (anak ke 6/bungsu)
Nama Biara:
Br. Gabriel K.Wangak, SVD
Tempat/tgl lahir:
Baopukang, 6 April 1962
Nama orangtua:
Bapak: Pius Ebang Balawangak
Mama: Gabriela Koli Reke Halimaking
Pekerjaan orangtua:
Bertani
Saudara dan Saudari:
Maria Abon (+)
Sasilia Bulu
Daniel Dasing
Yohanes Gatong
(Sumber WEEKLYLINE.NET_)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support