Pada tanggal 8 September 2012, saya rasa bahagia
karena bertahan menjadi biarawan Katoilik selama 25 tahun. Dua teks kitab suci
yang berbeda saya pilih untuk menjadi moto kaul-kaul kebiaraan saya Kaul
Pertama, Mungkinkah ada sesuatu yang baik datang dari Nasareth? (Yoh.
1: 36); sementara Kaul Kekal; Segala sesuatu mungkin bagi mereka yang
percaya (Mk 9:23). Tentu saja ada alasan yang cukup kuat sehingga saya
memilih kedua teks tersebut.
Jika ada acara tabhisan imam atau upacara syukuran
seperti ini, dalam kata sambutan orang sering kali menyampaikan ini, bahwa
kehidupan membiara berawal dari keluarga, atau Keluarga merupakan seminari
dasar bagi panggilan hidup membiara. Rupanya saya tidak masuk dalam kategori
keluarga asal seperti ini.
Saya berasal dari keluarga petani miskin, bukan
katolik tulen. Bapa saya seorang katolik yang pergi merantau ke Tawau-Malaysia
sejak saya masih berumur 6 bulan. Saya dibesarkan oleh mama saya yang beragama
tradisional, alias kafir.
Mama baru dipermandikan pada tahun 1989, ketika saya
sudah menjadi seorang Bruder. Pada saat pastor paroki bertanya pada mama, nama
pelindung siapa yang dipilihnya, Mama katakan, “Ya, anak saya bruder to. Jadi
saya pilih santu Gabriel jadi pelindung saya…”. Maka pada hari itu juga surga
pun bergembiara karena ada tambahan seorang anggota baru bernama Gabriela.
Jadi, adakah sesuatu yang baik disini…? Jelas… ada!
Keinginan untuk menjadi seorang biarawan sudah ada
sejak saya di SMP St. Pius X Lewoleba, maka ketika tamat SMP tahun
1979, saya menyatakan keinginan masuk Seminari Hokeng. Namun
kerinduan itu tak kesampaian karena kesulitan keuangan dan orang tua tidak
mengijinkan.
Benih panggilan yang sedikit itu menjadi terlantar
bersamaan dengan masa belajar di SMA PGRI Lewoleba dengan segala
lika liku kehidupan seorang anak SMA. Tamat dari SMA, saya mengiktui Kursus
Menjahit di Kuanino Kupang dan pertukangan di Balai Latihan Kerja Indonesia
(BLKI) Oesapa Kupang. Tamat dari kursus ini pada akhir tahun 1983, saya
ditawarkan untuk bekerja di BLKI. Namun saya tolak. Saya ingin kembali ke
kampong. Saya ingin temukan Sesuatu Yang Baik di kampung. Entah apa
namanya, masih kabur.
Nah di kampung sana, sesuatu yang baik dan indah itu
muncul pada waktunya. Awal tahun 1984, secara kebetulan saya bertemu
dengan Paulus Boli (Br. Paul Fidelis yang sekarang menjadi misionaris di
PNG). Ia mengajak saya untuk melamar masuk Biara Bruder di Ende. Itu
pertama kali saya dengar nama Biara Bruder St. Konradus (BBC) Tanpa pikir
panjang saya buat lamaran, tanpa sepengetahuan orangtua.
Lamaran saya diterima dan diminta ke Ende kalau
semua persyaratan sudah ada. Persyaratan itu antara lain surat keterangan
pastor paroki, surat ijin orangtua, surat permandian, surat keterangan kepala
sekolah, keterangan polisi, dan lain-lain.
Ketika saya sampaikan berita ini kepada orang tua
saya, mereka tidak setuju khususnya mama saya. Walau orang tua tidak
setuju, saya tetap mengurus surat-surat yang lain. Niat saya yang tulus itu
semakin dipersulit oleh pastor Paroki, P. Petrus Maria Geurst, SVD. Beliau
tidak memberikan surat keterangan.
Saya minta sampai tiga kali dan beliau tetap pada
pendiriannya, dia mengatakan “Engkau berasal dari marga Balawangak yang
kebanyakan punya istri dua. Engkau berasal dari desa Jontona, yang umatnya
malas ke Gereja.
Hari minggu orang pergi Gereja, orang-orang dari
Jontona pergi kebun, pergi pindah kambing, kuda, kasih makan babi dan tidak
ingat Tuhan. Sudah banyak anak muda dari desa Jontona masuk biara tapi
semuanya sudah keluar. Engkau tidak bisa menjadi seorang biarawan.
“Wah wah wah… jadi sepertinya tidak ada sesuatu yang
baik dari marga saya… dari desa saya dari stasi saya…. Tetapi … akhirnya….”.
Pada pertemuan terakhir dengan pastor
paroki saya katakan, “Pater… Pater setuju atau tidak, Pater kasih
surat atau tidak kasih surat keterangan….saya akan tetap ke biara.” Mungkin
Beliau gentar juga mendengar ketegasan pemuda yang tidak tahu apa-apa tentang
hidup membiara ini, sehingga ia menjawab, “surat keterangan akan menyusul”.
Akan menyusul yang tidak pernah menyusul.
Juli 1984, saya tiba di Biara Bruder Kondradus (BBK)
tanpa membawa surat keterangan dari Pastor paroki dan surat ijin
orangtua. Ketika kami diminta untuk mengumpulkan semua dokumen, Saya
cemas dan takut. Dalam situasi ini, setan apa yang berbisik dalam hati, tapi
dengan satu keberanian yang konyol, saya mengarang isi surat ijin
orang tua termasuk tanda tangan bapa saya.
Saya menyerahkan dokumen-dokumen tersebut kepada P.
Rektor Biara St. Konradus (P. Didakus Diwa, SVD). Saya tidak pernah
dipanggil lagi dalam urusan perlengkapan dokumen sampai dengan saat ini.
Mungkin seperti Isak yang buta dibohongi Yakub untuk mendapatkan berkat, dalam
Kejadian 27:1-40, P. Rektor Didakus dan Dewan
Rumah waktu itu percaya saja. Dan Tuhan sepertinya setuju juga… ya Pastor
paroki tidak mau beri surat… Tuhan sendiri ambil tindakan…)
Saya bersama 8 teman diterima secara resmi masuk
Kandidat 28 Juli 1984. Selama masa kandidat dan postulan saya bekerja di
percetakan bagian pesiapan naskah – Kemudian pada tanggal 8 September 1985,
saya bersama 7 teman lainnya diisinkan masuk ke novisiat. Lalu pada
tanggal 8 September 1987 bersama teman-teman saya mengikrarkan kaul pertama
dalam Serikat Sabda Allah dengan memilih moto: Mungkinkah ada sesuatu yang baik
datang dari Nasareth/Jontona?
Merefleksikan kembali Kesetian Tuhan selama 25 tahun
sebagai biarawan SVD yang berkaul, saya menemukan berkat belaskasihan dan
kemurahan Tuhan yang tersalur lewat banyak perisitiwa, pengalaman dan
orang-orang yang saya jumpai. Rencana Tuhan memang sulit dimengerti tapi
semuanya itu indah pada waktunya. kalau saya percaya. Peristiwa-peristiwa itu
antara lain pertama seandainya saya tetap di Kupang dan
menerima tawaran BLKI, pasti saya sudah jadi PNS, menikah dan punya beberapa
anak. Tetapi rupanya Tuhan mau agar dari Marga Balawangak, dari desa Jontona pun
Yang baik sebagai Tanda Kasih setiaNya, dinampakkan. Adakah sesuatu yang baik
dari Nazareth Jontona. Ada.!
Kedua Seandainya
pada tahun 1984 P. Didakus bilang, “maaf dokumenmu tidak
lengkap, maka berakhirlah perjalanan hidup membiara. Tetapi mereka
percaya pada ‘tipu muslihat saya’ dan Tuhan sepertinya ada di pihak saya.
“Kalau Tuhan ada di pihakku siapakah dapat melawan… Pastor paroki tidak. Dewan
Rumah pun tidak. Maka segala sesuatu menjadi mungkin bagi orang yang percaya.
Ketiga; Selama masa
pendidikan, saya dipersiapkan untuk bekerja di Paroki. Kenyataan berbicara
lain. Tahun 1988, saya ditempatkan di komunitas Ledalero. Saya protes dengan
Rektor, saya tidak tahu mengetik, tidak dipersiapkan untuk kerja di kantor. P.
Alex Ganggu (rector BBK waktu itu), dengan tenang menjawab, “pergi dulu, nanti
kita lihat”. Saya ke Ledalero, bekerja di kantor Pusat penelitian Agama dan
kebudayaan Candraditya, tanpa persiapan. Kata pembesar SVD, pergilah kemana
saja pembesar mengutusmu…Tidak gampang bekerja di Candraditya…. Tapi ada
enaknya juga sehingga hampir 20 tahun saya bekerja di sana. Ternyata yang dari
Marga Balawangak ini bisa juga. ada sesuatu yang baik dari Jontona, karena segala
sesuatu mungkin bagi orang yang percaya.
Keempat; 1 Januari 1989,
setelah mama dipermandikan dan menerima komuni, ada kasus menimpa bapa saya.
Saya bingung dan putusasa. Waktu itu P. Rektor, P. Alex Ganggu mengatakan
kepada saya, “Peristiwa ini sangat mempengaruhi situasi batinmu, juga
mempengaruhi panggilanmu. Sekarang terserah pada sikapmu dalam menghadapi
masalah ini. Jangan pernah berpikir bahwa pembesar akan keluarkan engkau hanya
karena masalah yang menimpa keluargamu.” Peristiwa ini membuat saya bergulat
selama 9 bulan.
Kelima 17 September
1990, saya membuat refleksi pribadi yang kuberi judul: Mengapa semua
ini harus terjadi. Akhir relleksi saya menulis: Saya pusing Tuhan!
Tapi saya yakin bahwa Engkau dapat membantu. Aku pasrah pada-Mu, Tuhan tahu apa
yang terbaik bagiku dan bagi orangtuaku. Hasil refleksi, Saya letakkan di
bawa kaki patung Bunda Maria selama seminggu. Saya percaya. Dan Segala menjadi
mungkin bagi orang yang percaya.
Keenam; Tahun 1991,
ketika kami retret bersama di Mataloko, di depan sakramen Mahakudus saya
bertengkar dengan P. Domi Atapukan. Beliau mengancam dan akan melaporkan
saya kepada pembesar supaya saya dikeluarkan. Seandainya pembesar
waktu itu mendengar laporan P. Domi Atapukan maka malam ini saya tidak berdiri
di sini. Pater Domi Atapukan dan semua yang di BBK, serta teman-teman Bruder
waktu itu tahu…. pada Gaby ada sesuatu yang baik.
Ketujuh; Akhir 1992 saya
dikirim ke Australia untuk studi sebagai bruder berkaul sementara. Selama 3
bulan belajar bahasa Inggris, saya bisa mengerti tapi tidak bisa omong dengan
baik. Coba bayangkan hidup di Negara orang bagaimana sengsaranya kita kalau
tidak bisa berkomunikasi. (waktu makan bersama maunya cepat selesai, kalau ada
acara bersama, mau cepat-cepat pulang ke kamar, kurung diri di kamar, dll,
pokoknya mau sendiri.) Saya sudah putusasa, mau pulang ke Indonesia. Tapi
untung, saya syeringkan pengalaman ini dengan P. Bill yang tahu bahasa
Indonesia dengan sangat baik, beliau menasihati saya begini, “Gaby, Tuhan
menciptakan kita bukan untuk bodoh. Engkau tidak bodoh, hanya saja engkau tidak
tekun dan rajin”. Ungkapan inilah yang membuat saya bertahan dan
berhasil sampai pulang ke Ende.
Kedelapan ; Tantangan yang
terberat dalam hidup selama ini adalah menghayati hidup sebagai orang berkaul
kekal, ketika masa kaul sementaraku diperpanjang sampai tahun terakhir (tahun
9), saya sebetulnya masih memperpanjang masa kaul itu, tapi pembesar tidak
mengijinkan karena tidak ada alasan yang kuat. Saya harus ambil keputusan: MAJU
atau MUNDUR. Saya dengan kebebasan penuh memilih untuk MAJU berkaul kekal.Maka
pada tanggal 7 September 1995 saya mengikrakan kaul kekal dengan memilih dengan
memilih moto: Segala sesuatu mungkin bagi orang yang percaya.
Mengapa saya bertahan, Karena kemurahan dan
belaskasih Tuhan. Tuhan bebas memilih siapa saja menjadi abdi-Nya dan Ia tidak
salah memilih saya, walau saya berasal dari keluarga yang tidak tahu berdoa
secara katolik yang baik. Karena Tuhan adalah Kebaikan, maka yang ada padaNya
hanya Kebaikan itu. Juga Karena keputusan hidup membiara merupakan keputusan
bebas, keputusan saya pribadi bukan karena paksaan dari keluarga atau orang
lain. Keluarga saya ada yang tidak setuju sampai sekarang. Tapi justru ini juga
menjadi salah satu faktor mengapa saya bertahan. Siapa suruh masuk
biara. saya sendiri pilih.
Karena dukungan dari pembesar dan konfrater
seserikat serta suasana kehidupan komunitas di mana saya pernah hidup selama
ini. Saya bersyukur bahwa selama masa formasi saya dibimbing oleh para formator
yang sangat baik, hidup dalam komunitas di mana saya diberi kebebasan untuk
menjadi diriku sendiri dan bertanggungjawab secara dewasa. Dan dukungan doa-doa
keluarga, sahabat,kenalan dan dari kelompok-kelompok doa (KSM, St. Ana, GIM).
Adakah sesuatu yang baik dari Nazareth… Nazareth
bisa diganti dengan apa saja yang kita mau. Setiap kali saya bertanya, adakah
sesuatu yang baik dari Gaby… maka saya selalu berusaha untuk menjadi orang
baik, biarawan yang baik… dan Segala sesuatu menjadi mungkin bagi orang yang
percaya…. Kita semua bisa…Dan benar bagi orang percaya, ada sesuatu yang baik
datang dari Jontona, sebuah desa kecil dipinggir pantai dikelilingi tebing
te[at dibawah kaki Gunung Ile Ape, Lembata.
Br. Gabriel K. Wangak, SVD
Catatan pejalanan 25 tahun melayani
Tuhan sebagai bruder SVD
Nama asli:
Gabriel Kesape
(anak ke 6/bungsu)
Nama Biara:
Br. Gabriel
K.Wangak, SVD
Tempat/tgl
lahir:
Baopukang, 6
April 1962
Nama orangtua:
Bapak: Pius
Ebang Balawangak
Mama: Gabriela
Koli Reke Halimaking
Pekerjaan orangtua:
Bertani
Saudara dan Saudari:
Maria Abon (+)
Sasilia Bulu
Daniel Dasing
Yohanes Gatong
(Sumber WEEKLYLINE.NET_)
0 komentar:
Posting Komentar