Oleh:
ERAS BAUM OFM,
Calon
Imam Fransiskan Asal Manggarai Timur
|
Barangkali
para teolog memang tidak dilatih untuk berbicara kepada para mamon baru itu,
selain untuk meminta dana bagi pembangunan gereja! (George Junus
Aditjondro)
Saya tidak
sedang menciutkan makna ketika memotong dengan sewenang-wenang tulisanpanjang
Aditjondro sebagaimana ada dalam buku “Gereja, Korupsi dan Sepinya Suara
Menentang Pelanggaran HAM: An Unholy Trinity”(Aditjondro, 2008: 203).
Sebab memang, begitu sudah maknanya: masih jarang sekali para pemimpin gereja
dan lembaga-lembaga Kristen di Indonesia yang bersuara tentang aneka hal yang
berkaitan dengan pelanggaran hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya. Singkatnya, tentang HAM.
Tentu saja,
Aditjondro tidak lupa pada revolusi banyak rohaniwan dan pemimpin Gereja, entah
di Indonesia atau terutama, di Amerika Latin yang sangat kritis terhadap
fenomen perselingkuhan antara Gereja dan negara.
Itu juga
tidak berarti bahwa cendekiawan Kristiani (Gereja: Umat Allah) jarang bersuara
membela HAM penduduk nusantara. Memang ada, Tapi, kebanyakan mereka tidak
berbasis di organisasi-organisasi berbendera Kristiani. Mereka umumnya
berbicara di panggung organisasi-organisasi pembela HAM yang tidak berbendera
agama (Aditjondro, 2008: 214).
Brigadir
Polisi Rudy Soik, Anggota Resrse Polda NTT hari-hari ini menjadi salah satu
contoh sangat baik untuk itu! Dia – seorang Protestan – adalah umat Allah yang
baik: bersuara untuk kaum tak bersuara. Ia sedang menjalankan tugasnya sebagai
nabi, dan menurut saya, pas disebut salah satu bentuk tindakan kenabian masa
kini.
Tapi, apa
kabar bagi orang-orang yang menyerahkan janji di altar? Juga yang bernazar
secara khusus pada Allah, manusia dan dunia untuk menghadirkan Kerajaan Allah
di bumi ini?
Apakah mereka
bersuara dan menentang masalah dagang manusia yang sudah lama terjadi di NTT?
Apa saja yang dikotbahkan dan didoakan waktu perayaan Hari Minggu? Apa saja
yang dilakukan saat katekese? Jangan-jangan doa, kotbah dan katekese hanya
berkutat soal berlutut saat ibadah, masih tentang perarakan patung Bunda
Maria dan Sakramen Maha Kudus keliling wilayah keuskupan, masih tentang
kekudusan pribadi. Dan lupa berdoa dan berkotbah tentang sawah, kebun,
cara menghasilkan ‘mata air’, lawan tambang, apalagi Misa di sawah dan kebun.
Yah, lupa dengan mengusahakan kekudusan sosial-ekologis!
Fakta bahwa
Gejala tidak terlalu peduli pada soal-soal sosial, pada ‘mengusahakan kekudusan
sosial-ekologis’ memang bukan gejala yang sama sekali baru. Hal ini sudah
menjadi semacam bagian dari identitas banyak pemimpin dan anggota Gereja, yang
ikut membentuk cara berpikir awam pula.
Akibatnya
tidak jarang kalau ada pastor atau biarawan-biarawati terlibat pada
masalah-masalah sosial-politik, orang dengan mudah berkomentar, “Para rohaniwan
(biarawan/ti) ini kurang kerjaan” atau, “Masalah-masalah sosial itu yah urusan
kami-kami ini (awam)”. (Kalau tidak percaya, ingat-ingat lagi komentar beberapa
orang waktu Gereja Keuskupan Ruteng melakukan demonstrasi besar-besaran menolak
kehadiran tambang di Manggarai Raya.)
Tepatnya:
sejarah Gereja Katolik (sekurang-kurangnya) menunjukkan bahwa untuk waktu yang
sangat lama, Kekristenan (Katolik) memusatkan perhatiannya pada ‘mengusahakan
keselamatan jiwa’. Caranya: doa, ikuti perayaan ekaristi,sembah Sakramen
Mahakudus, mengaku dosa, doa lagi, begitu terus dan berputar-putar pada
soal-soal itu saja.
Lalu, ‘badan’
dilupakan, diabaikan, bahkan dibenci sebab dianggap sebagai ‘penjara bagi
jiwa’. Efeknya, orang lupa bahwa keselamatan juga berkaitan dengan raga, badan,
materi. Lupa pada hiruk-pikuk dunia, lupa pada soal-soal hajat hidup orang
banyak, makanan, sawah, kebun, termasuk hak sipil dan politik, HAM, hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Juga, sisa-sisanya, barangkali, lupa peduli pada
masalah dagang manusia.
Sampai pada
satu waktu Gereja (banyak pemimpin dan Umat Allah) bertekad dan bertobat.
Mereka menganggap bahwa kekudusan dan keselamatan tidak melulu soal jiwa, tidak
melulu soal pribadi tetapi menyangkut juga badan dan hidup sosial-ekologis.
Sebab mereka yakin bahwa keselamatan yang tidak menghasilkan
perubahan-perubahan ragawi, perubahan-perubahan padasturuktur sosial–politik
yang menindas, berarti keselamatan itu tidak ada.
Dan mereka
sangat yakin bahwa keselamatan itu juga masuk dan harus masuk ke dalam
konflik-konflik perbudakan, bentuk-bentuk penindasan, kapitalisme, dan semua
rezim korup dan eksploitatif yang sedang berlangsung, sekarang di dunia ini.
Tanda mula-mula kehadiran Allah dan keselamatan-Nya itu ialah konflik aktual
bahkan terbuka dengan rezim-rezim yang demikian itu.
Maka, tidak
ada lagi alasan bagi Gereja untuk diam di hadapan berbagai macam bentuk
ketidak-adilan entah sosial, politis dan ekologis.
Untuk
kasus dagang manusia yang sekarang menjadikan NTT juara satu, kiranya
bisa menggerakan gereja untuk sesegera mungkin mengambil tindakan. Tidak saja
berupaya semaksimal mungkin membantu penyelesaian kasus-kasus yang sekarang
masih ada, tetapi, lebih dari itu melakukan upaya preventif agar tidak ada lagi
perempuan dan anak-anak yang karena faktor kemiskinan dan ketidaktahuan jadi
korban di hari-hari mendatang.
Di NTT,
Gereja masih sangat dikenal berwibawa. Lantas, seruan para uskup, dan lebih
baik lagi, bila diadakan sinode khusus soal isu ini, sangatlah mendesak. Cukup
sudah, membiarkan Gereja terus nyaman dengan sikap bisu. Padahal hari demi
hari, umat terus dijual. Bukankah mereka-mereka itu adalah bagian dari umat
Allah, yang sejatinya mendapat perhatian dari Gereja. (Sumber media online http://www.floresa.co
20/11/2014/)
0 komentar:
Posting Komentar