Slogan Polri VS Tindakan Represif
Oleh: Igo Halimaking
Tindakan brutal kembali dipertontonkan oknum polisi
yang menyerang Marga PMKRI Kupang serta melakukan pemukulan terhadap
koordinator aksi di depan Markas Polda NTT pada Selasa (2/12/2014). Aksi unjuk
rasa para mahasiswa dan aktivis yang
menuntut penuntasan kasus dugaan mafia perdagangan manusia (human trafficking)
di NTT itu, berakhir dengan tindakan represif dari sejumlah oknum polisi.
Publik tentu bertanya, ada apa di balik tindakan
represif oknum polisi di tengah sorotan terkait kasus human trafficking? Apakah
ini sebuah upaya untuk mengaburkan opini publik yang menyoroti dugaan
keterlibatan aparat Polda NTT dalam kasus perdagangan manusia sebagaimana yang
telah diungkap Brigpol Rudy Soik?
Wakil Kepala Polres Kupang Kota (Wakapolresta),
Kompol Yulian Perdana menyatakan bahwa aksi represif ini timbul dari jiwa korsa
anggota saat melihat salah satu pimpinannya terkena lemparan dari massa yang berunjuk rasa. Bagi penulis, pernyataan ini cenderung membela bahkan membenarkan
tindakan tersebut.
Sekedar
Slogan
“Mengayomi, melindungi dan melayani”, demikian
slogan Polri. Namun, slogan ini menjadi sekedar slogan yang tidak berarti
apa-apa ketika rasa teranyomi, terlindungi, dan terlayani masih menjadi sebuah
fatamorgana bagi publik. Polri yang note bene merupakan salah satu unsur
lembaga penegak hukum di Indonesia ternyata menyimpan segudang masalah. Sebut
saja, kasus-kasus yang melibatkan sejumlah oknum Polri antara lain pungutan liar, rekening gendut, dan mafia
kasus yang menghiasi media-media cetak maupun elektronik akhir-akhir ini.
Padahal Polri memiliki tiga agenda, yaitu, spirit
perubahan militerisme menjadi sipilisasi, pendekatan struktur kepolisian dalam
bidang layanan kemasyarakatan dan perubahan perilaku anggota Polri. Miris,
ketika agenda reformasi melalui penataan undang-undang, tapi tidak diikuti
penataan struktur dan perilaku anggota Polri. Perilaku brutal Polri menjadi
agenda reformasi yang sulit direalisasikan.
Dalam banyak kejadian, Polri sering menggunakan
pendekatan represi dalam menangani aksi protes masyakarat. Lihat saja
ketika Jokowi blusukan ke
sejumlah daerah, terutama di Riau dan Bengkulu. Polisi menggunakan kekerasan
dalam menghadapi para demonstran yang berusaha menyuarakan aspirasi mereka. Di
Riau, demonstran dikejar dan dipukuli hingga ke dalam rumah ibadah. Di
Bengkulu, dua aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ditangkap saat menyiapkan
aksi protes.
Yang paling menyedihkan, Hari Kamis (27/11/2014)
lalu, seorang warga Makassar, Muhammad Arif (17), tewas di tangan aparat
keamanan saat terlibat dalam aksi protes kenaikan harga BBM di depan kampus
Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Aksi penolakan kenaikan harga BBM
di Makassar juga berbuntut pada pemecatan alis drop-out (DO) terhadap 4 orang
mahasiswa. Bukankah ini bentuk dari pembungkaman terhadap mereka yang melakukan
kritik? Polisi mungkin lupa bahwa yang membayar gaji mereka adalah uang rakyat
dari hasil pungutan pajak, tapi mereka dengan mudah melakukan aksi represif
membungkam suara rakyat yang mencoba menyuarakan kebenaran.
Hemat penulis ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi persoalan ini. Pertama, Kekuasaan. Polisi masih menganggap dan
memposisikan diri sebagai bagian dari penguasa. Kedekatan Polri dan penguasa
disempitkan artinya menjadi alat pemerintah atau penguasa. Jika ada masalah
antara pemerintah dengan rakyat, maka polisi akan berpihak pada pemerintah.
Kedua, Ekonomi. Jika rakyat melakukan aksi protes,
maka dianggap sangat merugikan penguasa secara politis dan ekonomi. Kasus-kasus
reclaiming tanah merupakan contoh yang mudah dilihat, apalagi jika diintervensi
pemodal.
Ketiga, balas dendam. Dalam menangani kasus
kriminal, Polri menggunakan kekerasan (penyiksaan) untuk mencari informasi dan
data-data sehingga mempercepat proses penyelesaian kasus. Namun, penggunaan
kekerasan oleh Polri bersifat diskriminatif, tergantung status sosial
tersangka/terduga. Sindikat narkoba dan koruptor akan dilayani istimewa karena
mereka mampu memenuhi kebutuhan polisi. Sebagai imbalannya, sindikat dan
koruptor bebas memilih jenis penahanan (tahanan kota, tahanan rumah, atau sel
dengan fasilitas lengkap). Perlakuan berbeda dialami tersangka atau terduga
yang berasal dari golongan ekonomi lemah. Penyiksaan dan penganiayaan menjadi
solusi atas orang tersebut.
Lawan!
Sebagai warga negara penulis melihat tindakan
represif ini merupakan upaya pembungkaman hak rakyat. Oleh karena itu, penulis mengajak semua elemen masyarakat untuk membuka mata terhadap persoalan
ini.
Kepada mahasiswa dan kaum muda, inilah momentum untuk menunjukkan peran dan tanggung jawab
kita. Mari bangun konsolidasi dan kekuatan masif agar gerakan ini mampu bangkit
kembali di tengah himpitan pragmatisme dan sistem kampus yang mengkerdilkan
peran-peran mahasiswa. Tanggung jawab intelektual organik yang disampaikan oleh
Gramsci jangan sampai mati suri.
Mari berikan peringatan kepada pemerintah dan
kepolisian dengan puisi Wiji Thukul “Peringatan”. Jika rakyat pergi/ Ketika
penguasa pidato/ Kita harus hati-hati/ Barangkali mereka putus asa// Kalau
rakyat sembunyi/Dan berbisik-bisik/Ketika membicarakan masalahnya
sendiri/Penguasa harus waspada dan belajar mendengar//Bila rakyat tidak berani
mengeluh/Itu artinya sudah gawat/Dan bila omongan penguasa/
Tidak boleh dibantah/Kebenaran pasti
terancam//Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/Suara dibungkam kritik dilarang
tanpa alasan/Dituduh subversif dan mengganggu keamanan/Maka hanya ada satu
kata: lawan!
Untuk
Polri
Citra buruk Polri di mata publik perlu
“direhabilitasi” secara internal. Artinya, institusi Polri perlu memiliki
komitmen untuk terus berbenah diri.
Sebagai pucuk tertinggi institusi, Kapolri diharapkan dapat mendorong
bawahan dan anggota-anggotanya untuk kembali menghayati slogan “mengayomi,
melindung, dan melayani” masyarakat.
Selain itu, Polri perlu menindak tegas oknum-oknum yang mengganggu rasa aman masyarakat, terutama oknum pelaku tindak kekerasan.
Namun, jangan lupa memberikan penghargaan kepada anggota Polri yang
berprestasi. Penghargaan ini penting untuk memacu kompetensi yang sehat di
antara anggota Polri sehingga berimbas pada peningkatan profesionalitas. (Tulisan
ini sudah dipublikasikan penulis di media online http://www.floresa.co 09/12/2014/)
0 komentar:
Posting Komentar