Post views: counter

Jumat, 23 Januari 2015

Sekolah Harus Berikan Pendidikan yang Ramah Bukan kekerasan.

ketua kppa belu suster sisislia ssps/nttonline

Kekerasan fisik terhadap siswa kembali terjadi di SMPK Don Bosco Katolik Atambua, Kabupaten Belu. Oleh Kepala Sekolah diterapkan aturan bagi setiap siswa yang terlambat ke sekolah diberi sanksi berlutut diatas bebatuan kerikil sambil berjalan gunakan lutut dan dilakukan berulang kali.

Akibat perlakuan sanksi tersebut, VT (12) salah seorang siswa kelas 1 menjadi korban setelah mendapat sanksi berlutut itu. Korban mengalami luka memar yang serius pada kedua lututnya. Hal itu menuai kecaman, keluarga korban mendatangi sekolah dan meminta pertanggungjawaban dari Kepsek. Keluarga mengancam jika tidak ada penyelesian maka akan pidanakan Kepsek ke Polisi.

Ferdinand Tanjung, paman korban menuturkan kejadian sanksi tersebut bermula pada Jumat pekan lalu, korban bersama sejumlah siswa lain mendapat sanki berlutut diatas bebatuan pengerasan sambil berjalan gunakan lutut dan berulang kali.

"Korban tidak bisa ke sekolah karena kedua lututnya luka memar. Kami keluarga sangat sayangkan aturan yang diterapkan pihak sekolah," ungkap dia kepada awak media Rabu (21/1/2015) di lokasi SMP Don Bosco.

Tanjung menuturkan, keluarga telah sepakat akan memindahkan anak mereka ke sekolah yang lain karena trauma. Keluarga juga meminta sanksi yang berat kepada Kepseknya biar ada efek jerah dan tidak ada lagi kekerasan di sekolah ini. Pasalnya banyak siswa yang telah menjadi korban, tapi tidak dilaporkan keluarga. Karena itu mekanisme didikan bagi siswa yang terlambat juga harus dirubah.

orang tua siswa, ferdinand tanjung/nttonline

"Ini sekolah milik yayasan Katolik tentunya berikan pendidikan yang ramah buka kekerasan. Keluarga Tandjung meminta agar Yayasan Astanara dan Dinas PPO segera memecat Kepsek dari jabatannya dan segera melakukan pembenahan dalam lembaga sekolah," tegas Tandjung.

Ketua Komisi Perlindangan Perempuan dan Anak (KPPA) Belu Suster Sisilia Ssps mengatakan, kejadian ini merupakan kekerasan anak dibawah umur. Sekolah ini milik Yayasan Katolik dan tidak dibenarkan sekolah memberikan nilai kekerasan, tapi berikan nilai pendidikan bagi para siswanya. Harusnya sekolah berikan sanksi didikan yang lain bagi siswa yang terlambat kesekolah.

"Kita dukung sekolah tegakan disiplin. Sekolah cukup berikan sanksi hukumnya berikan WC atau menyapu dan meraut sampah, karena itu menghasilkan sesuatu yang baik, bukan anak disuruh berlutut seperti yang terjadi selama ini," tandas Suster Sisilia.

Kepala Yayasan Astanara Vinsen Loe mengatakan, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan keluarga korban dan pihak sekolah. Pada intinya Yayasan akan tetap menindaklanjuti kekerasan fisik yang terjadi atas laporan keluarga korban. "Kita akan tindaklanjuti. Kami akan sampaikan ke Uskup karena sebagai pembina, karena itu berikan kami waktu karena kami masih melihat jadwal Uskup," ujar Loe.

Kejadia serupa di alami mantan siswa SMP Don Bosco Eti Klau. Gres Amalo ibunda korban menuturkan, anaknya pindah sekolah dari Kefamenanu ke SMP Don Bosco. Namun baru dua minggu sekolah anaknya langsung dikeluarkan oleh Kepsek secara tidak layak dan etis lantaran tidak mau menerima sanksi berlutut.

"Saat itu anak saya sedang datang bulan dan tidak memakai short. Dia malu dan tidak mau berlutut. Saya memohon maaf kepada Kepsek tapi Kepseknya langsung mengatakan anak ibu sudah saya keluarkan," kisah Amalo dihadapan Ketua Yayasan Astanara.

Sementara itu Kepala Sekolah SMPK Don Bosco Pius Seran, ketika akan dikonfirmasi awak media terkait kejadian tersebut tidak bersedia memberikan keterangan.

Pihak Yayasan Astanara harusnya bertindak tegas, kalau perlu memecat kepala sekolah yang masih mengunakan pola pembinaan dengan mengedepankan kekerasan fisik, dan bersikap otoriter tanpa mempedulikan kondisi siswa yang hendak diberi hukuman.

Sumber; NTTOnline -
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support