Post views: counter

Jumat, 09 Januari 2015

Merengkuh Kayuh Di Tanjung Baja


Berkayuh Sampan Saat Senja di Tanjung Baja
Matahari mulai condong ke Barat, lambat laun menyelinap di balik Gunung Ile Lewotolok, Sabtu pekan lalu. Larik sinar kemerahan menerpa permukaan Teluk Waienga, sementara daratan di sekeliling teluk menampilkan lekak-lekuk siluet pulau Lembata yang sexi. Lambat laun kapal bantuan Dinas Perikanan berkekuatan 2,5 PK, bergerak mendekati rimbunan pohon Bakau mengikuti selarik cahaya mentari kemerahan. Sekumpulan bakau jenis Sentigi bagai perawan berhias menyambut kedatangan kami. Rupanya bakau itu menjadi rumah ikan yang siap memberi hidup, persis disaat jaman mulai menapak garang.
Tanjung Baja, terletak di wilayah Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, hanya bisa diakses melalui jalur laut. Tidak ada kebun ataupun rumah warga, jauh dari aktivitas rutin manusia. Meskipun terisolasi dari akses darat, Tanjung Baja sungguh menjadi surga bagi para nelayan tradisional, disinilah para nelayan tradisional meninggalkan keluarganya, mengumpulkan kemampuan berburu ikan Kerapu dengan cara-cara sederhana dan jauh dari modernitas.
Menariknya, mereka juga barusaha mempertahankan mata rantai makanan dengan cara menanam kembali bakau sebagai rumah bagi ikan yang pada akhirnya memberi berkah. Tidak mengherankan, kenaikan harga BBM, bagi 20 nelayan di Tanjung Baja, tidak mempengaruhi produktivitas mereka, sebab pencarian ikan bertumpuh seberapa kuat dayung dikayuh, bukanlah berapa ton BBM yang dibutuhkan.
Ditopang armada tradisional 10 unit sampan dan sebuah Kapal berkekuatan 2,5 PK, bantuan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lembata, para nelayan ini mampu menghasilkan 30 juta rupiah per bulan. Jauh dari kesan modern, para nelayan berkelompok, menggunakan pukat ramah lingkungan dan tali pancing berbagai ukuran untuk berburu ikan Kerapu. Para nelayan ini berikhtiar mencari ikan sampai anak-anaknya memperoleh ijazah dan mampu meniti hidup sendiri.
Ini Hasil tangkapan kerapu berbagai jenis

“setiap sampan terdiri dari dua orang pemancing yang rata-rata mampu mengisi 1 boks ikan. Karena memancing dengan mengandalkan dayung, saya hitung 3 sampan terdiri dari 6 pemancing mampu menghasilkan 100 hingga 200 kg ikan segar berbagai ukuran. Interval ini disebabkan faktor keberuntungan dan cuaca laut yang kadang bersahabat, kadang tidak,” ujar Abdurahman Muhamad, sang pengusaha ikan di Tanjung BajaDitingkahi pancaran sinar matahari kemerahan diatas permukaan laut, Kapal berbodi fiber putih, menyeret dua buah sampan yang dikayuh Lajamudin Lasi dan Abdurahman, warga Desa Kalikur Weel, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata. Kapal Motor yang diberi nama KM Lembata Baru melepaskan sauhnya 5 meter mendekati bibir pantai. Sementara, ABK diatas KM Lembata Baru melepaskan ikatan tali yang mengikat kedua sampan.Rupanya KM Lembata Baru menopang sampan-sampan tersebut agar ikan hasil tangkapan itu lebih cepat diawetkan ke dalam cool box, Selanjutnya dilemparkan ke pasar.
Laju sampan pun melangsam hingga ujung haluannya kandas di bibir pantai ditumbuhi pohon Sentigi di sisi kiri dan kanan. Pantai Berpasir putih mengintip dari rerimbunan sentigi dan bakau. Ada celah selebar 5 meter sebagai jalan keluar masuk nelayan. Lajamudin mengeluarkan ratusan Ikan Kerapu tikus, Kerapu Sunu,Kerapu harimau, kerapu biasa, Kerising, kakap merah dan kakap putih dari dalam lambung sampan untuk diawetkan ke dalam cool box yang tersedia.

“ini kali kedua kami mancing. Karena cukup jauh dari basecamp ini, maka kami minta bodi untuk jemput. Ikan yang lumayan menyebabkan kami kesulitan mendayung dari ujung Tokojaeng ke sini,” ujar Lajamudin, saat menjejakan kakinya ke pasir.

Kapal itu berbalik arah. Sang Kaptain, Sabudin Ali, mengarahkan haluan kapal menuju ke arah Tokojaeng. Ia kembali untuk menarik sampan-sampan yang sudah selesai memancing 10 km dari Tanjung Baja. Masih ada dua sampan lagi yang sedang dikayuh menuju Base camp. Ali mengatakan, gagasan Abdurahman Muhamad, mantan anggota DPRD Lembata menetapkan Tanjung Baja sebagai Base camp bagi para pemacing manual, disambut gembira.
“Tanjung Baja selalu dijadikan tempat bermalam bagi para pemancing dari luar Lembata yang datang mencari umpan ikan ataupun datang sekedar mencari ikan jenis Kerapu. Sampai saat ini kapal-kapal yang biasaya datang dari Flotim, Sulawesi dan Kupang tidak sampai lagi ke sini. Mungkin karena BBM naik sehingga membatasi ruang mereka. Saat Bos minta supaya pemancing radisional yang menggunakan tali pancing dikumpulkan agar dia urus pengelolaan dan pemasaran dengan lebih baik, kami sangat antusias, karena selama ini kami kesulitan mengakses pasar,” ujar Lajamudin.
Para nelayan yang berasal dari Desa Kalikur Weel, Bareng, Wailolong dan Tapolangu, disatukan oleh Abdurahman Muhamad, mantan anggota DPRD Lembata, dibagi dalam dua kelompok yang menempati dua pondok yang dibangun terpisah. Dua kelompok nelayan ini menjadikan Tanjung Baja sebagai base camp, tempat mengumpulkan seluruh ikan, diawetkan dan dijemur sebelum dilemparkan ke pasar lokal maupun regional. Meski dengan alat tangkap tradisional, Nelayan ini fokus mencari dan mengumpulkan ikan.Hasilnya, mereka bisa menopang hidup keluarga dan menyekolahkan anak.
“dalam sehari, 3 buah sampan yang terdiri dari 6 sampai 7 orang bisa menghasilkan 100 sampai 200 kilogram ikan berbagai bentuk dan ukuran, tetapi rata-rata ikan kerapu tikus, Kerapu Sunu,Kerapu harimau, kerapu biasa, Kerising, kakap merah dan kakap putih. Omset penjualan ikan dalam sebulan berkisar antara 20 sampai 30 juta rupiah. Para nelayan mendapatkan uangnya setelah dipotong biaya makan sehari-hari. Nelayan bisa terima bersih 2 sampai 3 jura rupiah per orang,” ujar Abdurahman Muhamad.
Selain mensuplay kebutuhan makan sehari-hari bagi para nelayan, Sang bos Abdurahman Muhamad dan Alex Murin bertugas mencari pasaran untuk ikan produksi Tanjung Baja. Keduanya juga mempersiapkan sarana tangkap dan alat tangkap yang dirasakan perlu dibenahi guna memacu produksi.
“setelah berhenti dari DPRD, saya melihat potensi nelayan yang bisa diberdayakan dan menjadi potensi usaha di bidang maritim. Saya memprediksi, BBM akan sangat berpengaruh pada produktivitas para nelayan, sehingga untuk tahap awal, kami berdayakan potensi lokal yang memang sehari-hari mencari ikan dengan cara tradisional. Lokasi ini selain menyajikan panorama alam yang menakjubkan, dijadikan pusat produksi ikan Tanjung Baja. Dalam waktu luang saya dan teman-teman nelayan menanam bakau dan sentigi, tentu dengan harapan bias menjadi rumah bagi perkembangan ikan-ikan di daerah ini,” ujar Abdurahman Muhamad.
Abdurahman mejelaskan, Kapal motor bantuan pemerintah ini digunakan utuk mobilisasi ikan dan mengantarkan kebutuhan bagi para nelayan. Kapal inipun digunakan untuk menopang sampan-sampan pergi dan pulang mencari.
“kalau kebutuhan BBM, kami hanya butuhkan untuk operasional KM Lembata baru, bantuan Dinas Perikanan Dan Kelautan Lembata ini. Dalam sehari, kami butuh 10 liter BBM jenis Solar. Sampan-sampan ini diantarkan ke titik-titik pemancingan sampai dijemput kembali,” ujar Abdurahman.
Hidup dari hasil mencari, para nelayan asal Lembata ini berharap mampu bersaing dengan para pemancing dari luar Lembata yang kerap menggunakan alat mancing yang lebih modern. Mereka rela hidup terkucil dan menangkap ikan dengan cara sederhana dan ramah lingkungan, namun mereka percaya, kebersamaan menjadi solusi untuk memperbaiki hidup yang terasa semakin sulit pasca kenaikan BBM.
Sektor maritim yang selama ini menurut Presiden Joko widodo sebagai sektor yang tidur panjang, sudah saatnya dibangun. Kisah 20 nelayan tanjung Baja mengambil hasil kekayaan laut tetapi tetap memperhatikan ekosistem Bakau sebagai rumah ikan menjadi contoh, sector usaha jika digerakan dengan hati, akan sangat ramah lingkungan. 20 an laki-laki ini selalu merengkuh kayuh sekan tak peduli hingar bingar kenaikan BBM. Tidak memperkaya diri, mereka hanya mempertahankan hidup.

(Sumber: lembata online 25 November 2014)

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support