Post views: counter

Senin, 05 Januari 2015

Ratapan untuk Para Koruptor



BAGI NTT, Hari Anti Korupsi Sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember mesti dimaknai sebagai hari untuk berrefleksi tiga serangkai kekuasaan; eksekutif (pemerintah), legislatif (dewan), dan yudikatif (penegak hukum). Refleksi ini dimengerti sebagai hal yang perlu dilakukan guna menyamakan tekad untuk memerangi korupsi demi mewujudkan provinsi yang bersih, jujur dan berintegritas.

Harapan demi harapan disampaikan oleh masyarakat bagi para pemimpinnya untuk mengedepankan kesejahteraan rakyat. Namun, harapan itu pupuslah sudah dan diganti “ratapan” yang tak berkesudahan melihat perilaku para pemimpin negeri yang sudah tak lagi bersih, jujur, dan berintegritas.

Memang perlu diakui, bahwa ada pemimpin yang ada dalam tiga serangkai ini berupaya untuk memetingkan kepentingan rakyat. Pemimpin seperti ini hanya segelintir orang sehingga yang mendominasi hanyalah pemimpin yang pada dasarnya lebih mengutamakan kepentingan pribadi.

Harga diri dan wibawa sebagai pemimpin digadaikan hanya untuk memuaskan hasrat dalam mengumpulkan segudang rupiah. Korupsi telah menjadi suatu kejahatan yang sering digambarkan sebagai “gurita” yang melilit banyak orang sehingga sulit melepaskan diri dari lilitannya.

Demi mencegah tindakan korupsi itu, maka dibuat larangan-larangan, baik dalam kitab Suci, maupun peraturan yang diberlakukan sebagai norma di tengah masyarakat. Namun, rupanya larangan-larangan ini tidak membuat para pemimpin kita jera. Malah semakin dilarang, maka semakin bersemangat untuk berbuat. Celah demi celah dicari untuk satu tujuan yang lebih pasti yakni keuntungan yang tak seharusnya didapat.

Panggilan untuk Memimpin Mari kita ingat kembali, bahwa bukankah bangsa ini yang selalu menyebut dirinya anti korupsi? Dengan bertolak dari realita yang terjadi, maka perlu kita amini bahwa sebagian pemimpin kita ternyata “suka korupsi” ketimbang “anti korupsi”. Ini merupakan suatu keanehan karena di dalam komitmen untuk memimpin ternyata ada kontra di dalamnya.

Di satu pihak mengakui diri sebagai orang-orang  yang anti korupsi, namun dalam tindakan ternyata sebaliknya, yakni dari anti korusi menjadi suka korupsi. Hal ini bisa saja terjadi, karena jika dilihat dari untung rugi, maka dapat kita katakan bahwa lebih baik korupsi walaupun menyimpang yang penting untung daripada anti korupsi dengan bersikap jujur tetapi tidak dapat apa-apa.

Sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin mengajak kita untuk mengetahui apa makna keterpanggilan sebagai pemimpin dengan bertolak dari keterpanggilan Paulus sebagai Rasul Kristus (Kis 9:3-6). Rasul Paulus bukan dipanggil dari orang yang memiliki intergritas baik, jujur dan penolong, tetapi dari penganiaya umat Allah.

Namun kesadaran untuk mau bertobat yang membuat dirinya dipulihkan kembali menjadi baik. Seorang pemimpin tidak selamanya dari orang yang baik-baik, yang dibutuhkan adalah kesadaran untuk menjalankan keterpanggilan dengan berlaku atau bersikap baik dalam segala hal.

Rasul Paulus memang merupakan seorang rasul dari antara rasul-rasul yang perlu kita akui, bahwa kejahatannya telah merusak kehormatan dirinya sebagai ciptaan Allah. Tetapi kesadaran untuk berbalik (bertobat), mengubah dirinya dari yang dulunya tak layak menjadi layak dan diakui.

Hal yang tidak masuk akal jika pelaku korupsi dikategorikan sebagai orang yang bodoh. Justru karena mereka adalah orang yang pintar sehingga ketahuan korupsi pun mereka bisa mengeluarkan banyak alasan untuk membela diri. Hal yang tak masuk akal juga jika pelaku korupsi dikategorikan sebagai orang yang tidak mengetahui hal yang baik dan yang salah.

Justru karena mereka tahu tentang yang baik, sehingga dalam setiap kesempatan mereka rajin mengikuti ibadah dan dari mulut mereka selalu mengeluarkan kata-kata bijak. Masyarakat seakan terpukau dalam meilihat ketika mereka berdiri dan berbicara. Kebaikan demi kebaikan gencar dibicarakan untuk memikat hati rakyat namun penuh dengan kepalsuan dan kemunafikan.Sungguh amat disayangkan.

Keterpanggilan harus dimaknai sebagai yang dipanggil Allah, bukan atas kemauan sendiri atau kehebatan sendiri. Kebanyakan dari kita merasa dirinya sebagai pemimpin tetapi tidak sadar bahwa kepada siapakah ia harus memimpin. Ketidaksadaran inilah yang akan mengunci dirinya untuk tahu keterpanggilannya sebagai pemimpin.

Sehingga pada akhirnya ia mementingkan dirinya sendiri, padahal yang dipimpin adalah orang di luar dirinya (masyarakat, jemaat, teman sekerja, dan lain-lain). Hal mengutamakan diri sendiri yang membawa seseorang terjerumus dalam tindakan korupsi (suap, penggelapan uang).

Di sisi yang lain, sebagai orang yang beriman kita perlu akui bahwa mereka yang sedang memimpin adalah orang-orang pilihan Tuhan. Masyarakat yang kemudian dengan hati nurani yang tulus disertai doa menyempatkan waktu untuk datang dan memilih mereka menjadi pemimpin. Masyarakat dengan penuh sadar dan yakin bahwa orang yang dipilihnya adalah orang-orang pilihan.

Syukur dan doa kemudian disampaikan kepada Tuhan setelah mereka menyandang status sebagai pemimpin. Singkatnya masyarakat dalam setiap kesempatan selalu manaruh harapan, namun yang didapat adalah ratapan.

Masyarakat kini terus meratap karena hak-haknya telah dirampas. Masyarakat terus meratap karena keadilan terus diputarbalikan. Masyarakat terus meratap karena pemimpinnya menjadi rakus. Masyarakat terus meratap karena pemimpin yang dipercayainya tidak memiliki hati yang peduli. Masyarakat terus meratap karena pemimpinnya tidak sadar akan panggilannya untuk melayani.

Pemimpin yang Peduli Masyarakat hanya menginginkan hak-haknya diperhatikan. Masyarakat hanya ingin agar pemimpinnya kembali diakui kejujurannya. Masyarakat hanya ingin agar pemimpinnya sadar dan peduli. Masyarakat hanya ingin agar keadilan ditegakkan.

Semua yang diinginkan rakyat hanyalah kesejahteraan bagi seluruh alam ciptaan, baik orang yang memimpin dan juga orang yang dipimpin. Tepatnya, masyarakat menginginkan agar kasus-kasus korupsi yang sekarang segera diselesaikan agar cita-cita bangsa yang bersih, jujur dan berinteritas segera terwujud.

Salam dari rakyat untuk pemimpinnya adalah “Sadarlah bahwa dirimu dipakai Tuhan untuk kepentingan yang lebih baik. Jangan pernah rendahkan dirimu hanya karena mata dan hatimu tertuju demi uang. Lebih tepat jika engkau berkecukupan karena kejujuran daripada berkelimpahan tetapi mencuri”. Salam dari generasi anti-korupsi!
(Victory News, Dec 10, 2014)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support