Post views: counter

Senin, 05 Januari 2015

Satu Tetes Air Susu Mama


KALIMAT yang menjadi judul tulisan ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Jika kita boleh sedikit mendengar penggalan lagu tersebut, rasa-rasanya kita semua harus kembali merenung dan masuk ke suasana rumah kita semua. Kita mesti kembali ke relung permenungan untuk melihat posisi mama dalam realitas kehidupan manusia secara individual dan juga secara sosial.

Mama menjadi manusia yang sangat super karena peran dan fungsinya. Terkait Hari Ibu yang diperingati pada 22 Desember, kiranya perlu melihat kembali posisi ibu dalam realitas kehidupan bangsa secara umum dan dalam kehidupan di lingkungan sosial sekitar kita sehari-hari.

Sebagai perempuan, ibu dan mama Indonesia masih mengalami banyak soal dengan baragam masalah. Munculnya perdebatan mengenai ide pengurangan jam kerja perempuan sebagaimana disampaikan Wapres Jusuf Kalla beberapa hari lalu, perlu direnungkan.

Masalah lainnya adalah kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dan di ruang publik, tingginya tingkat kematian ibu hamil dan masih banyak lagi menjadi sinyal bahwa perempuan di Indonesia masih ditempatkan pada posisi nomor dua secara sosial dan ekonomi. Pembakuan peran masih dipraktikkan di aneka ruang di Indonesia.

Saya khawatir, kita semua tidak peduli dengan air susu mama. Persoalanya semakin payah kalau negara malah melakukan pembungkaman terhadap perempuan dalam beragam aturan formal. Di situ, air susu mama tertumpah di mana-mana dan air susu itu membasahi bumi tetapi tanpa bekas.

Anak Indonesia, hemat saya, akan tetap seperti ini jika tidak memerhatikan air susu mama yang jatuh itu. Pembakuan peran perempuan sebagaimana terjadi selama ini merupakan puncak tertinggi dari keterceraiberaian air susu mama di tanah Indonesia.

Pembakuan Peran Dalam beberapa buku tentang gender saya sering membaca istilah pembakuan peran. Pembakuan peran adalah mekanisme sosial dan budaya yang menempatkan perempuan sebagai kelas nomor dua di bawah laki-laki. Peran perempuan sebatas sumur, dapur dan kasur.

Perempuan hanya berperan dalam kegiatan atau aktivitas mencuci, memasak dan melayani suami. Lebihnya tidak. Budaya patriarki menempatkan laki-laki di atas segala-galanya. Semua hal terkait dengan kehidupan sosial termasuk kehidupan perempuan akhirnya diatur laki-laki. Akibatnya, semua pekerjaan perempuan tidak pernah dihitung, dan dihargai.

Semua aktivitas di tiga bidang di atas selalu dianggap sebagai peran alamiah manusia yang berjenis kelamin wanita. Inilah yang disebut peran baku. Peran baku yang dialamatkan kepada perempuan jelas disebabkan karena banyak sebab.

Oleh para ahli budaya disebutkan bahwa budaya patriarki merupakan sistem yang membakukan peran perempuan seperti itu. Ahli sosial menyebutkan bahwa dampak dari pembakuan peran secara budaya menyebabkan perempuan selalu dinilai sebagai kelompok yang paling lemah di masyarakat.

Proses pembakuan itu sudah berlangsung cukup lama dan disosialisasikan secara turun temurun. Akibatnya, perempuan menerima kenyataan itu sebagai sebuah fakta alamiah dan tidak bisa diubah.
Masalahnya adalah saat ini sudah banyak perempuan yang bekerja di luar sektor privat.

Banyak perempuan yang bekerja di luar rumah baik di kantor pemerintah maupun swasta; banyak perempuan yang bekerja di berbagai kantor yang dulunya hanya dikhususkan kepada kaum pria. Saya kira, ide Wapres JK didorong oleh kenyaataan bahwa memang perempuan terlampau banyak beban kerja.

Pada titik tertentu ide tersebut harus diakui sebagai bentuk perhatian negara dan pemerintah kepada perempuan. Meskipun demikian, menurut saya, yang paling penting bukan soal mengurangi jam kerja perempuan. Yang penting adalah menata sistem sosial dan budaya kita di Indonesia untuk menempatkan perempuan sama dengan laki-laki.

Kekerasan yang masih dirasakan oleh para pembantu rumah tangga dan kaum ibu Indonesia di ruang privat rumah tangga akhir-akhir ini menjadi bukti bahwa pembakuan peran itu terlalu terang dipraktikan di bumi Indonesia. Anehnya, hal itu dilakukan di negara yang telah memiliki aturan dan UU Perlindungan Terhadap Perempuan.

Jika hal itu yang terjadi maka ada beberapa sebab yang bisa disebutkan. Pertama, pelaku kekerasan terhadap perempuan memang belum mengerti arti kemanusiaan. Bahwa perempuan sama dengan laki-laki. Kedua, pelaku tidak paham bahwa karena perempuan sama dengan laki-laki maka hak dan kewajiban perempuan sama dengan laki-laki.

Ketiga, pelaku tidak tahu bahwa saat ini negara memiliki aturan yang melarang dan menghukum tindakan kekerasan kepada kaum perempuan. Keempat, ada dugaan bahwa pelaku kekerasan memang merupakan manusia yang ingin membangkang dari aturan umum yang berlaku di negara ini. Sebab, yang melakukan tindakan kekerasaan adalah orang-orang yang melek huruf dan pintar; yang memiliki uang dan harta kekayaan.

Mempraktikkan Gender Hemat saya, yang harus dikerjakan pemerintah adalah mempraktikkan aturan yang berhubungan dengan perempuan. Mempraktikan  aturan yang berhubungan dengan perempuan memang sulit di Indonesia. Hal ini disebabkan karena dominasi laki-laki di semua aspek kehidupan sulit dibendung.

Negara belum mampu membendung kekuatan laki-laki. Realitas KDRT, jual beli perempuan dan anak, dan bentuk diskriminasi lain masih terus terjadi. Itu berarti yang harus dilakukan oleh semua pihak adalah mempraktikkan gender disemua aspek kehidupan. Mempraktikkan gender harus dimulai dengan mempraktikkan UU yang berhubungan dengan perempuan.

Termasuk di sini adalah menghukum pelaku kejahatan terhadap perempuan sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Harus diberi hukuman seberat-beratnya. Kekerasan terhadap perempuan dan perdagangan manusia yang menjadi topik menarik di berbagai media cetak maupun elektronik di NTT akhir-akhir ini menunjukkan bahwa negara ini memang masih menempatkan perempuan sebagai objek ekonomi, sosial, dan seksual.

Jika membaca berita yang disajikan oleh berbagai media terkait dengan masalah yang mendera perempuan NTT akhir-akhir ini, sulit untuk tidak menyebutkan bahwa kebijakan afirmatif yang didengungkan pemerintah seakan menemui kebuntuan dalam praktiknya. Sebagaimana disebutkan di atas persoalan besarnya adalah sistem sosial dan budaya kita memang sedang bermasalah.

Selain itu, sebagai perempuan, saya sendiri merasakan bahwa beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan perempuan cenderung membakukan peran itu. Dalam banyak kasus, untuk beberapa pekerjaan misalnya, masih saja ada syarat-syarat formal yang aneh.

Jika pengambil kebijakan di level atas tidak pernah berpikir sampai sedetail itu maka perempuan akan tetap menjadi obyek selamanya. Air susu mama akan tumpah ke bumi Indonesia. Ini sangat berbahaya. Berbahaya karena setiap air susu yang tumpah itu akan diikuti dengan tumbal sosial dan budaya di belakangnya.  Anak cucu bisa saja mendapatkan akibat fatal nantinya.

Saya sepakat dengan program nasional revolusi mental Presiden Joko Widodo. Yang dimaksud adalah memperbaiki mental tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan untuk menempatkan semua anak manusia sama dalam semua aspek. Malah dalam pikiran saya, upaya menempatkan perempuan sama dengan laki-laki adalah yang paling penting.

Revolusi mental harus dimulai dari dalam diri perempuan sendiri, keluarga dan masyarakat. Pemerintah dan negara harus mendukung program nasional itu dengan berbagai kebijakan dan mempraktikan kebijakan di lapangan. Selamat Hari Ibu!
(Victory News, Dec 23, 2014)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support