Post views: counter

Senin, 05 Januari 2015

Bencana Proyek


MUSIM dan pergantian musim di Indonesia selalu diikuti berbagai macam soal. Musim kemarau selalu diiikuti dengan kekeringan, gizi buruk, kekurangan air bersih dan lain-lain. Seperti musim kemarau, musim hujan di Indonesia pun selalu identik dengan bencana; tanah longsor, banjir, wabah penyakit dan lain sebagainya.

Seakan terdapat garis lurus antara realitas pergantian musim dengan munculnya bencana. Untuk mengantisipasi bencana, pemerintah memang telah membentuk badan bencana yang tersebar di hampir semua daerah. Berkaitan dengan perubahan musim yang sedang terjadi saat ini, lembaga yang mengurus masalah kebencanaan itu jelas telah menyiapkan beragam persiapan dan langkah antisipasi.

Atas usaha itu, semua pihak laik memberikan apresiasi sambil mengangkat topi setinggi langit.  Problemnya, untuk konteks Indonesia, dalam batas tertentu, bencana adalah kesempatan. Kesempatan untuk mendapatkan keuntungan oleh beberapa pihak. Media ini menyebut kesempatan memburu rente. Oleh beberapa oknum, bencana dijadikan sebagai sebuah fakta fungsional.

Keberadaan bencana dijadikan sarana untuk dapat mengaktualisasikan tujuan individunya. Pada batas ini, kita dapat mengerti, mengapa kemudian di setiap bencana selalu saja muncul dampak ikutan; sosial, fisik dan ekonomi atau bahkan politik serta budaya. Bencana dapat dijadikan proyek untuk mendulang keuntungan sebesar-besarnya.

Soal aktor yang memanfaatkan situasi bencana tidak jadi masalah. Yang pasti proyek bencana selalu saja memunculkan bencana lain sebagai ikutannya. Itulah yang disebut bencana proyek dalam tulisan ini.  Bencana proyek adalah situasi di mana beberapa aktor memanfaatkan proyek bencana untuk tujuan tertentu yang bersifat subjektif dan individual.

Yang dimaksudkan adalah menjadikan bencana sebagai proyek untuk mendapatkan keuntungan. Bencana dijadikan momen untuk memperkaya diri dengan memanfaatkan peluang. Maka, bisa dimengerti mengapa di setiap bencana selalu saja diikuti dengan realitas korupsi secara sosial atau fakta buruknya kualitas proyek pembangunan di akhir masa mitigasi bencana.

Kasus memburu rente di bencana kekeringan beberapa waktu lalu menjadi bukti dampak ikutan dari proyek bencana itu.   Tulisan ini ingin mewanti siapa pun di wilayah ini untuk berhati-hati tidak hanya terhadap bencana yang bakal muncul tetapi juga terhadap proses mitigasi bencana.

Jika tulisan ini diberi judul seperti di atas, maka itu tidak untuk berdoa supaya bencana segera datang. Karena tujuannya untuk mewanti atau semacam peringatan, maka tulisan ini merupakan awasan untuk berhati-hati.

Banyak Varian Dalam sebuah studi tentang bencana, Komisi Riset Bencana Amerika (2006) pernah menulis buku yang sangat menarik; “Facing Hazards And Disasters: Understanding Human Dimensions”. Buku ini menurunkan minimal tujuh asumsi terkait bencana.

Dua di antaranya adalah soal karakteristik bencana dan dampak bencana itu secara fisik dan sosial. Disebutkan bahwa pada titik tertentu bencana memiliki banyak varian. Mulai dari bencana fisik hingga ke sosial; dari yang namanya bencana alam sampai ke bencana yang dikonstruksi atau didesain.

Asumsi pertama memunculkan asumsi lain soal dampak bencana. Dampak bencana bisa berupa perubahan fisik dan juga sosial. Bencana proyek yang ditulis dan diangkat di sini merupakan salah satu bentuk implikasi sosial dan ekonomi dari bencana itu.

Korupsi dan memburu rente di tengah sibuknya masyarakat menyelesaikan masalah bencana merupakan dampak langsung dari bencana itu, selain perubahan fisik. Oleh lembaga yang menulis buku di atas, munculnya banyak dampak sosial ikutan dari bencana hanya dapat dijelaskan sejauh memahami moral hazard.

Moral hazard dalam konteks bencana adalah semacam disposisi mental untuk semakin memiskinkan korban bencana. Masalah utamanya ada pada penanaman dan praktik nilai di masyarakat.
Kekeringan merupakan implikasi dari realitas alam. Seperti kekeringan, musim hujan seperti sekarang ini, akan muncul dampak ikutan lain di belakangnya.

Sehebat apa pun manusia tetap sulit melawan alam. Soal besarnya adalah mampukah manusia menahan ego diri untuk tidak rakus mengambil dan memunculkan bencana baru dari bencana yang telah ada itu?  Yang terjadi adalah selain kerugian dan kerusakan fisik, secara sosial, pihak yang turut serta mengambil bagian dalam proses itu terjebak dalam masalah yang sama. Memproyekkan bencana.

Fatalnya, proyek bencana memunculkan apa yang disebut bencana proyek sebagaimana dibahas di awal tulisan ini. Modus bencana proyek baru ini bermacam-macam. Dalam kasus kekeringan, air bisa dijadikan komoditas yang dapat diperjualbelikan. Di musim hujan, dana untuk korban tanah lonsor atau jenis bencana lainnya diambil untuk tujuan pribadi. Mencuri dan memanipulasi.

Dalam studi yang dilakukan banyak pihak sebagaimana dijelaskan dalam buku “Facing Hazards and Disasters”, diketahui bahwa perilaku manipulasi yang ditunjukkan oleh beberapa pihak disebabkan karena dua hal pokok. Pertama, secara sosial nilai-nilai baik telah berubah menjadi sangat pragmatis. Yang disebut saling membantu dan menolong sesama telah diubah menjadi ruang ekonomi untuk mendapatkan sesuatu.

Perubahan struktur sosial dan struktur budaya menjadi alasan utama di sini. Moral sosial telah bergeser menjadi moral ekonomi. Mental pragmatis bawaan modernitas menjadi soal besar. Nilai sosial dan budaya lokal akhirnya harus tunduk di bawah kekuasaan diri sendiri.

Kedua, berhubungan dengan hal pertama di atas, seperti analisis Freud, terjadi perubahan besar-besaran dalam ruang mental manusia Indonesia dan NTT. Alam bawah sadar manusia seperti ini telah mendapatkan saluran untuk menguasai manusia lain. Diri dan pribadi seperti ini merupakan bentukan minus masa lampau.

Bahwa sekarang seseorang sudah menjadi kaya raya dengan segudang jabatan yang diembannya sulit ditolak. Meskipun demikian, perkawinan antara disposisi mental seperti itu dan pragmatisme bentukan modernitas menjadikan orang itu menjadi sangat rakus.

Agak sulit mencari solusinya. Meskipun demikian, beberapa ahli coba membuat peta jalan untuk kembali melihat peninggalan budaya masa lampau itu. Sosialisasi nilai-nilai dan keutamaan lokal penting di sini. Sosialisasi itu tidak saja dilakukan kepada generasi muda sekarang dalam langgam formal di sekolah tetapi pada elite kekuasaan yang saat ini sedang berkuasa.

Presiden, gubernur, bupati, wali kota, kepala dinas dan kantor harus mengikuti pendidikan nilai itu. Tidak berhenti di situ, semua elite kekuasaan harus mempraktikkan nilai dan moralitas itu dalam hidup keseharian di kantor, dan di rumah. Tugas media dan masyarakat sipil adalah mengontrol praktik nilai yang telah disosialisasikan. Tanpa itu, kita semua akan terjebak dalam bencana proyek yang justru menindas masyarakat dan bangsa kita sendiri.
(Victory News, Dec 13, 2014)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support