Post views: counter

Rabu, 07 Januari 2015

Membangun Heroisme Baru Penerus Bangsa


 
Oleh Igo Halimaking

Bangsa kita setiap tahun merayakan Hari Pahlawan pada 10 November. Pada saat itulah kita mengenang jasa para pahlawan yang telah bersedia mengorbankan harta dan nyawanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Kita memilih 10 November sebagai Hari Pahlawan karena pada tanggal tersebut 69 tahun silam para pejuang kita bertempur mati-matian untuk melawan tentara Inggris di Surabaya.
Di tahun ini, penyelenggaraan upacara peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2014, yang  akan digelar secara nasional, mengangat tema "Pahlawanku Idolaku". Tema ini tentunya bermaksud untuk menggugah semangat kepahlawanan sebagai ukuran nilai, baik panutan maupun figur teladan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kali ini peringatan Hari Pahlawan kembali menyapa rakyat Indonesia terutama para generasi penerus bangsa. Hari Pahlawan adalah sebuah momentum reflektif bagi para generasi penerus bangsa untuk kembali memikirkan bangsa Indonesia. Para generasi penerus bangsa yang selama ini disibukkan dengan berbagai hal ditegur kembali dengan sapaan hangat dari para pahlawan kusuma bangsa lewat momentum hari pahlawan ini. Itulah sesungguhnya makna yang hendak disampaikan oleh Hari Pahlawan. Hanya saja kita tak mampu menangkap makna-makna itu. Kita telah lama terkurung oleh budaya materialisme, hedonisme, pragmatisme, bahkan egoisme. Sehingga celah kesadaran kita semakin tertutup. Kita hanya memikirkan hal-hal yang serba material-fisikal saja. Jabatan, kedudukan, uang, harta, dan segala sesuatu yang mendatangkan kesenangan diri, itulah yang menjadi fokus dan perhatian kita.
Diri kita saat ini memang betul-betul diambang ke-chaos-an. Berbagai problematika bangsa dari kemiskinan, anak-anak terlantar, pengangguran, korupsi, aksi penggusuran, serta berbagai problematika lain, sungguh semakin meresahkan bangsa. Rakyat kecil semakin semrawud karena semakin banyaknya problem kehidupan. Mereka semakin sesak dengan kondisi zaman yang tidak memberikan ruang kenyamanan. Sementara para pemimpin rakyat ribut antara satu sama lain. Ribut mempersoalkan gaji, kepentingan politik, jabatan yang tak kunjung naik, korupsi yang ditutup-tutupi, kekayaan yang kurang melimpah, serta berbagai hal yang sesungguhnya tidak perlu diperselisihkan. Itu adalah fakta yang terjadi dalam kehidupan ini. Dan itulah musuh yang harus kita hadapi.
Barangkali memang benar adanya yang dikatakan Emha dalam puisianya "sesudah ditindas kita mempersiapkan diri untuk menindas". Sebab bisa kita prediksi bagaimana buruknya nasib bangsa ini meski beberapa kali beganti tampuk kepemimpinan. Bangsa Indonesia memang telah merdeka sejak 1945. Namun itu hanyalah merdeka secara lahiriah dan secara hukum. Adapun sesungguhnya kita adalah bangsa yang sakit. Mungkin kita mengira dengan memiliki gedung-gedung megah kita telah mengatakan bahwa pembangunan berhasil. Kita tidak berfikir berapa banyak angka kemiskinan yang melilit bangsa ini serta berapa pula manusia yang haknya tertindas atas pembangunan itu. Itu hanya salah satu contoh sebagai gambaran bahwa negri ini semakin sakit.
Karena itu, memperingati Hari Pahlawan seperti pada hari ini merupakan saat tepat untuk evaluasi ulang pemahaman kita akan arti pahlawan. Jika tidak, ia hanya akan menjadi seremoni hampa makna, tak membuat perubahan apa pun bagi negara. Negara seperti dibiarkan berjalan menuju bibir jurang. Setiap generasi memang memiliki persoalan dan tantangannya sendiri. Dulu, musuh utama bangsa ini adalah penjajah. Heroisme untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan pun menjadi pekik yang tidak pernah berhenti disuarakan.
Kini, siapa yang layak menjadi musuh bangsa ini? Musuh besar kita tak lain dan tak bukan adalah korupsi, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Itulah sejumlah masalah utama yang dihadapi negeri ini sekarang.
Korupsi seperti penyakit kronis yang sulit disembuhkan. Orang justru berlomba-lomba mengeruk uang negara. Dan, itu terjadi di semua level yang menyebar baik di pusat maupun di daerah. Hampir di semua jajaran, baik yudikatif, legislatif, maupun eksekutif, terjangkit penyakit korupsi kronis. Tentunya saat ini yang sangat dicari adalah seorang pahlawan yang mampu memberantas korupsi yang sepertinya sudah berurat-berakar di negara ini. Dicari seorang yang berani menolak segala sesuatu pemberian hanya untuk kepentingan pribadinya. Orang yang berani memangkas birokrasi yang semuanya berujung kepada perilaku korupsi. Inilah yang menjadi satu tanda tanya yang sangat besar dan menggelayut di dalam setiap pemikiran kita.  Bagaimana frame pahlawan anti korupsi tentunya sangat sulit untuk dijelaskan. Namun untuk dasarnya adalah bagaimana sosok hukum itu memberikan jaminan terwujudnya keadilan dan penegakan peraturan.
Pahlawan anti korupsi itu tentunya adalah bagaimana hati nurani semua kita mampu berkata tidak pada saat kita melihat ada sesuatu yang sebenarnya tidak beres. Sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi hak kita. Tidak peduli dengan keadaan lingkungan sekitar yang memiliki harta berlimpah namun diperoleh dari hasil yang kurang sehat. Dan yang paling penting adalah bagaimana dia setiap saat takut dengan Tuhannya terhadap apa yang dilakukannya di muka bumi ini.
Sesungguhnya para pahlawan yang berjuang pada zaman revolusi dahulu jelas punya cita-cita mulia agar negara ini dapat berdiri dengan kukuh dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Para pahlawan rela berkorban agar anak cucunya tidak dicemoohkan oleh bangsa lain. Jiwa-jiwa seperti merekalah yang harus kita jadikan referensi dalam setiap perjuangan. Bukan omongan-omongan bualan yang mengatas namakan kepentingan bangsa tetapi ujungnya adalah kepentingan pribadi. Sudah saatnya kita lawan diri (baca:nafsu) kita. Segelintir perasaan yang ingin menang sendiri, acuh tak acuh pada yang lain, serta ingin membangun kejayaan sendiri harus segera kita tampik. Jadikan diri kita sebagai pahlawan tangguh yang mampu menjadi majikan nafsu. Mental kita bukan mental kacangan yang mengalah begitu saja dan mau menjadi budak nafsu. Kita adalah ksatria baja yang lahir untuk membangun babak pencerahan bagi bangsa ini. Pola-pola lama yang masih memberlakukan adat penindasan segera kita runtuhkan dan segera kita rubah menjadi adat keadilan. Tentu semua itu adalah demi kemajuan dan kejayaan bangsa ini. Itulah yang seharusnya direnungkan semua kita bahwa kita memang harus bisa bangkit bukan sebagai negara juara satu koruptor namun menjadi negara yang nomor satu dalam kebersihannya dan kejujurannya.
Setiap orang harus berjuang untuk menjadi pahlawan. Karena itu, hari pahlawan tidak hanya pada 10 November, tetapi berlangsung setiap hari dalam hidup kita. Setiap hari kita berjuang paling tidak menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri dan keluarga. Artinya, kita menjadi warga yang baik dan meningkatkan prestasi dalam kehidupan masing-masing.
Memang tidak mudah untuk menjadi pahlawan. Mungkin lebih mudah bagi kita menjadi pahlawan bakiak, yaitu suami yang patuh (takut) kepada istrinya. Atau menjadi pahlawan kesiangan, yakni orang yang baru mau bekerja (berjuang) setelah peperangan (masa sulit) berakhir atau orang yang ketika masa perjuangan tidak melakukan apa-apa, tetapi setelah peperangan selesai menyatakan diri pejuang.
Hari ini kita merayakan Hari Pahlawan untuk mengenang jasa para pejuang pada masa silam. Kita bertanya pada diri sendiri apakah kita rela mengorbankan diri untuk mengembangkan diri dalam bidang kita masing-masing dan mencetak prestasi dengan cara yang adil, pantas dan wajar. Itulah pahlawan sekarang.  Itulah makna heroisme baru yang harus dibangun terus-menerus. Kita tidak ingin jasa para pahlawan dan nilai-nilai luhurnya hanya ada dalam ingatan, tapi terlupakan dalam tindakan. Dan semoga momentum Hari Pahlawan kali ini benar-benar membawa angin segar bagi para penerus bangsa.

sumber; www.timorexpress.com/ Senin, 10 November 2014
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support