Post views: counter

Senin, 05 Januari 2015

Cur Deus Homo


KITA telah  merayakan Natal dengan berbagai dinamikanya. Natal adalah suatu peristiwa iman, dimana “Allah menjadi manusia”. Oleh karena itu, dalam memaknai Natal, baiklah kita renung sejenak tentang mengapa Allah menjadi manusia?

Judul di atas berasal dari bahasa Latin yang artinya “Mengapa Allah menjadi manusia?” yang pernah diajukan oleh Uskup Agung Cantebury Anselmus (tahun 1100). Dalam bukunya berjudul “Cur Deus Homo” yang diterjemahkan menjadi “Mengapa Allah menjadi manusia?”.

ia mengemukakan alasan mengapa Allah mau menjadi manusia karena Allah tidak dapat menutup realita dari kuasa dosa yang menguasai kehidupan manusia. Realita kuasa dosa dalam kehidupan manusia sangatlah melukai hati-Nya. Dosa manusia telah melawan kekudusan-Nya.

Padahal kekudusan Allah adalah seperti api yang menghanguskan (Ibr. 12:29). Itu sebabnya setiap dosa yang diperbuat oleh umat manusia seharusnya dibinasakan. Apabila kita melihat pemikiran Anselmus yang mengajukan pertanyaan hakiki itu, maka kita dapat melihat dasar argumentasi yang utama pada korban pendamaian yang telah dilakukan Allah melalui kelahiran-Nya di dunia dan karya penyaliban Kristus. Sebab melalui peristiwa tersebut, Allah di dalam Kristus menjadi korban yang mendamaikan.

Pemahaman korban pendamaian dalam hukum Taurat disebut sebagai “syelamim”, yang berasal dari kata “syalom” yang berarti damai atau kesejahteraan. Selain itu, istilah “syelamim” berasal pula dari kata “syilem” yang berarti melunasi hutang atau membawa nazar. Jadi, umat yang berdosa dianggap seperti seorang yang sedang berhutang kepada Allah.

Itu sebabnya mereka harus membayar hutang mereka dengan korban “syelamim”, sehingga dapat terjadi karya pendamaian. Melalui korban pendamaian (syelamim) dimaksudkan untuk memelihara dan memperbaiki hubungan antara umat yang berdosa dengan Allah, dan terwujudlah suatu keadaan damai sejahtera dan selamat (syalom).

Sebenarnya kurang tepat menyatakan “Allah menjadi manusia”. Lebih tepat dalam penyataan Kristus, Allah melalui firmanNya berkenan menjadi manusia. Itu sebabnya Yoh. 1:14 mengungkapkan, “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran”.

Pada satu sisi, kita sadar bahwa firman Allah yang menjelma menjadi Kristus pada hakikatnya adalah Allah (Yoh. 1:1). Tetapi pada sisi lain, firman Allah tersebut berbeda dengan Allah. Allah dan firman Allah memiliki keunikan-Nya sendiri. Dalam Perjanjian Lama, berulangkali dinyatakan bahwa “firman Tuhan” (dabar Yahweh) datang kepada nabi-nabi misalnya kepada nabi Yeremia (Yer. 1:4), Hosea (Hos. 1:1), Yunus (Yun. 1:1), Mikha (Mikh. 1:1), Zefanya (Zef. 1:1). Dalam pemahaman teologis ini firman Tuhan tetap dihayati sebagai pribadi Ilahi yang sehakikat dengan Allah, sehingga alam semesta dapat terjadi karena diciptakan oleh Firman Allah (Yoh. 1:3, Ibr. 11:3).

Allah dan FirmanNya Dalam Perjanjian Baru, karena Kristus adalah inkarnasi dari firman Allah yang menciptakan alam semesta dan manusia, tetapi manusia menolak-Nya, maka Injil Yohanes menyaksikan bahwa “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya.

Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh. 1:10-11). Teologi Kristen tetap mengakui bahwa terdapat kesatuan yang hakiki antara Allah dan firman-Nya, serentak pula terdapat perbedaan di antara Allah dan firman-Nya; sehingga dalam Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel menyatakan relasi yang unik, intim dan tiada taranya antara Allah dengan Kristus, yaitu “diperanakkan, bukan dibuat, sehakikat dengan sang Bapa, yang dengan perantaraan-Nya, segala sesuatu dibuat; yang telah turun dari sorga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita”.

Itu sebabnya apa yang tidak mampu dilakukan oleh manusia, mampu dilakukan oleh Kristus bagi Allah. Di dalam kehidupan Kristus, Allah tidak hanya sekadar “berfirman dan memberi wahyu-Nya”, tetapi di dalam Kristus, Allah secara total dan personal hadir dalam realitas sejarah kehidupan manusia.

Dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Tuhan Yesus dapat merasakan dan mengalami seluruh kelemahan-kelemahan manusiawi kita, tetapi hidup-Nya tetap kudus dan tanpa dosa (lihat Ibr. 4:15). Konsekuensinya, hanya Kristus yang dapat menjadi satu-satunya pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang (Ibr. 5:9).

Sebab melalui Kristus, Allah berkenan melimpahkan kasih karunia-Nya. Ibr. 4:16 berkata: “Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih-karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya”.

Alasan mengapa “Allah menjadi manusia” dari sudut yang relasional yaitu: bahwa di dalam Kristus, Allah yang Mahatinggi secara hakiki berkenan menjadi sahabat bagi umat manusia. Sebab dalam keberdosaan dan kefanaannya, umat manusia berada dalam situasi yang terasing dan terbuang.

Manusia tidak hanya terasing dari sesama dan orang-orang di sekitarnya, tetapi dia juga terasing dengan dirinya sendiri dan terasing dengan Allah. Dengan keterasingan tersebut kehidupan manusia senantiasa ditandai oleh “keretakan-keretakan” spiritual yang membuat dia sering kehilangan makna dan tujuan hidupnya.

Selanjutnya, selama 30 tahun Kristus berprofesi sebagai “anak tukang kayu”. Maknanya adalah bahwa pekerjaan tukang kayu yang pada zaman itu dianggap kurang terhormat dan kurang suci; justru kini di dalam terang Kristus semua pekerjaan yang dianggap “duniawi” tersebut menjadi suatu pekerjaan yang setara dan sama sucinya dengan pekerjaan seorang imam atau ahli Taurat.

Martin Luther, dengan teologinya “Imamat Am Orang Percaya” menegaskan bahwa jabatan seorang imam atau pastor dan pendeta tidak lebih mulia daripada jabatan atau profesi seorang “awam”. Semua orang dalam setiap jabatan atau profesinya adalah seorang imam.

Oleh sebab itu, melalui inkarnasi Kristus, Allah telah menguduskan semua aspek kehidupan dalam sejarah umat manusia. Semua hal dan setiap bidang kehidupan manusia adalah kudus. Karena itu manusia dipanggil oleh Allah dengan anugerah-Nya untuk hidup kudus.

Dengan demikian, makin jelas bahwa alasan Allah menjadi manusia bukanlah sekadar untuk suatu kisah petualangan (adventure) teologis yang romantis dalam sejarah hidup manusia. Allah berkenan menjadi manusia juga bukan karena Dia ingin sekadar solider dengan penderitaan dan permasalahan manusia.

Tetapi dalam inkarnasi-Nya melalui Kristus, Allah memberi kepenuhan kasih karunia-Nya kepada umat yang percaya sehingga terciptalah suatu syalom, yaitu damai sejahtera dan keselamatan yang menyeluruh dalam kehidupan manusia. Allah berkenan menjadi manusia pada hakikatnya bertujuan untuk mengaruniakan keselamatan, yang tidak mungkin mampu dilakukan dengan usaha manusia.

Seandainya Allah tidak pernah menjadi manusia dalam inkarnasi Kristus, maka seluruh umat manusia dengan agama dan kepercayaan serta semua prestasi rohaninya tetap berada di bawah hukuman dan murka Allah. Akhirnya, refleksi kita pada Natal 2014 ini adalah “Jika Allah menjadi manusia, maka manusia mau jadi apa?” Selamat Natal!
(Victory News, Dec 27, 2014)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support