Post views: counter

Senin, 05 Januari 2015

Kantor Gubernur: Ikon NTT?


HARIAN ini dalam beberapa edisinya rturut-turut Victory News (22 dan 23 November 2014) menyajikan headline news yang cukup memberi wacana dan diskusi baru dalam melihat rencana pembangunan kantor gubernur NTT yang baru. Permasalahannya tidak terletak pada pembahasan anggaran untuk membangun kembali kantor yang terbakar dan telah di-SP3 pihak kepolisian.

Permasalahan inti terletak pada dana ratusan miliar rupiah yang diusulkan pemerintah dan ditanggapi berbeda oleh dua kubu di DPRD NTT. Ada fraksi yang menolak dengan alasan yang cukup diterima yakni dana ratusan miliar dianggap berlebihan mengingat kondisi masyarakat NTT yang butuh dana perbaikan infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Di pihak lain, ada fraksi di DPRD yang setuju  pembangunan kantor tersebut. Perbedaan tersebut adalah hal yang wajar namun menjadi tidak wajar ketika argumen yang diambil jauh dari sebuah kata pro-rakyat.  Yang sedikit menggelikan adalah ada fraksi yang berpendapat bahwa pembangunan kantor gubernur yang baru harus segera direalisasikan karena kantor gubernur dianggap sebagai ikon NTT dan menampakkan wajah kota Kupang.

Pernyataan ini, bagi penulis, kurang rasional dan harus dikritisi lebih lanjut. Dasar tulisan ini terletak pada pertanyaan apa yang dilanggar jika pembangunan kantor gubernur dengan dana yang fantastis itu tetap direalisasikan? Tulisan ini tidak mengerucut pada penjelasan makna kata “ikon”, tetapi hanya menjadi jalan untuk membuka diskusi apakah pembangunan tersebut urgen dilakukan mengingat dana tersebut bisa dikerucutkan atau juga merenovasi kantor gubernur lama (di Jalan Basuki Rahmat, Naikolan) yang masih representatif dan layak digunakan.

Menilik Sisi Etika Politik Rencana pembangunan kantor gubernur dengan menghabiskan dana ratusan miliar tanpa kepekaan terhadap situasi NTT merupakan sebuah kejahatan politik. Dikatakan kejahatan politik karena jika hal itu tetap dilakukan, maka akan menciptakan korban yakni masyarakat itu sendiri yang lebih urgen membutuhkan segala fasilitas yang segera diperbaiki.

Paul Ricoeur (1949) yang diambilalih oleh konsep Karl Jaspers menjelaskan adanya empat kesalahan dasar ketika sebuah kejahatan politik dilakukan. Keempat kesalahan itu adalah kesalahan kriminal, kesalahan politik, kesalahan moral, dan kesalahan metafisik.

Meminjam telaah Ricouer di atas, ada beberapa tesis yang harus dipahami. Pertama, kesalahan kriminal dan metafisik mungkin akan luput dari wacana pembangunan kantor gubernur tersebut walaupun harus diakui bahwa secara hukup positif.

Publik belum sepenuhnya menerima penjelasan hukum tentang penyebab kebakaran kantor gubernur beberapa waktu lalu. Walau sudah di-SP3 pihak kepolisian, namun publik tetap menuntut sebuah penjelasan yang benar sekaligus riil. Kedua, kesalahan politik menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari wacana pembangunan kantor gubernur tersebut.

Kesalahan politik bisa disematkan pada sebuah negara (Pemerintah Provinsi NTT), yang entah sadar atau tidak telah “lalai” menjaga keberadaan kantor gubernur hingga akhirnya terbakar. Negara (baca: Pemprov NTT dan pihak terkait) harus bertanggungjawab atas terbakarnya kantor gubernur tersebut.

Negara harus segera menjelaskan pada publik fakta yang terjadi sehingga kasus tersebut tidak berkembang menjadi sebuah wacana yang dapat mengganggu perkembangan Provinsi NTT ke arah yang lebih baik. Jangan-jangan ada realitas yang disembunyikan dengan kasus kebakaran kantor gubernur tersebut.

Ketiga, kesalahan moral adalah kesalahan dasar dari wacana pembangunan kantor Gubernur NTT. Kesalahan tersebut terkait dengan apa yang disebut dengan kesalahan moral. Kejahatan moral tidak berhadapan dengan sanksi hukum positif tetapi berhadapan dengan hukuman sosial atau hukuman publik.

Kejahatan ini berhadapan dengan masyarakat umum yang berhak memiliki sebuah kehidupan yang lebih baik daripada memiliki kantor gubernur yang megah namun berbanding terbalik dengan realitas kehidupan masyarakatnya.  Kebijakan apapun harus mengikuti prosedur etika sehingga tidak memunculkan korban-korban politik yang semakin banyak.

Korban yang dimaksud adalah korban yang secara struktural tidak mempunyai kekuatan (power) untuk berteriak ketika mereka tertindas (baca: masyarakat atau rakyat kecil).  Orang harus bertangjawab atas kehidupan orang lain. Dengan demikian sumber moralitas bukan pertama-tama for-intern, tetapi dari kehadiran atau wajah orang lain.

Ketiga tesis di atas butuh koreksi dan klarifikasi demi menjernihkan wacana. Butuh sebuah diskusi lanjut bagaimana wacana ini dapat dikritisi sehingga pembangunan kantor gubernur yang baru tidak menjadi bumerang bagi pembangunan kehidupan ekonomi masyarakat NTT.

Adalah sebuah hal yang lumrah dan sah ketika kantor gubernur harus direnovasi atau dibangun baru, jika dibutuhkan. Namun adalah tidak wajar (secara etika politik) jika rencana pembangunan tersebut harus menghabiskan dana yang “wow” dan tidak mengindahkan pembangunan di ranah kehidupan yang lain di NTT.

NTT butuh kantor gubernur yang layak (bukan harus baru dengan dana fantastis) dan sekaligus butuh pembangunan kehidupan masyarakat yang semakin memadai.  Pembangunan kantor gubernur harus mempertimbangkan segala segi demi meminimalisir kesalahan politik.

NTT harus menunjukkan jati dirinya lewat pembangunan kehidupan masyarakat yang kontinyu (berkelanjutan), bukan dengan memiliki kantor gubernur yang berharga fantastis itu. Semoga wakil rakyat kita masih mempunyai nurani yang bersih untuk membaca wacana ini.
(Victory News, Dec 12, 2014)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support