Post views: counter

Senin, 05 Januari 2015

Pasar Tradisional, masih Relevankah?


“NANTI pi pasar beli sayur di ina yang pas di jalan masuk. Mama su langganan lama di situ. lalu tomat di sebelah kios yang dekat pertigaan tu paling murah. Kalo telur di dekat jual daging, nanti ingat tawar sadiki!”. Itulah pesan singkat ibu dari teman saya saat diminta berbelanja di salah satu pasar tradisional di Kota Kupang. Ungkapan ini menunjukkan kepada kita bagaimana dekatnya penjual dan pembeli di pasar tradisional.

Relasi penjual dan pembeli dan tawar menawar merupakan salah satu dari keunggulan pasar tradisional. Akan tetapi pasar tradisional juga identik dengan lingkungan yang bau, kumuh, sampah, macet, hingga persoalan pungutan yang tiada habisnya. Belum lagi bila memasuki musim hujan. Selokan yang meluap karena mampet, becek dan jalan yang digenangi air. Masalah-masalah tersebut membuat banyak dari kita berpikir ulang bila berbelanja di pasar tradisional.

Para pembeli mulai bergeser ke toko-toko modern. Betapa tidak, saat ini banyak pasar modern yang menjual barang yang hampir sama dengan yang dijual di pasar tradisional. Sebut saja daging, ikan, buah-buahan hingga bumbu dapur. Tidak heran mini market hingga hypermarket bertumbuh pesat berbanding terbalik dengan pasar tradisional.

Menurut BPS, jumlah toko di Kota Kupang pada tahun 2012 berjumlah 1.205 unit, melonjak drastis dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebanyak 111 toko. Berbeda dengan 24 pasar tradisional di Kota Kupang yang terus menyusut karena tidak terurus. Hasil riset AC Nielsen (2008) juga mempertegas kondisi ini dengan menunjukkan penyusutan jumlah pasar tradisional di Indonesia sebesar 8 persen per tahun sedangkan pasar modern naik 31,4 persen. Yang menjadi pertanyaan, apakah pasar tradisional masih relevan dalam pembangunan Kota Kupang? Apakah kondisi masyarakat perkotaan masih menerima kehadiran pasar tradisional?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bisa mempertimbangkan hal-hal berikut. Pertama, pasar tradisional membangun relasi yang erat antara penjual dan pembeli. Sejarah yang melekat dengan pembentukan kota, membuat banyak orang memiliki ikatan emosional dengan pasar tradisional. Termasuk dengan pembeli dan penjual yang masih memiliki hubungan kekeluargaan maupun penjual langganan yang “diwariskan” dari orang tua.

Tidak heran saat berbelanja di pasar tradisional, yang terdengar bukan hanya tawar menawar, tapi juga gurauan, keluh kesah dan ajang gosip, bahkan dengan alunan bahasa daerah. Semangat kekeluargaan ini yang harus kita jaga seiring dengan budaya individualistis yang menjangkiti penduduk perkotaan.

Kedua, tidak ada barang yang tidak bisa ditawar di pasar tradisional. Suatu hal yang sulit ditemukan di toko ritel. Di dalam tawar-menawar inilah pembeli dan penjual mencari posisi menguntungkan. Beberapa dari kita mungkin tidak nyaman dengan kondisi ini. Tapi sebagian lain—umumnya ibu-ibu— begitu antusias dengan tawar-menawar tersebut. Esensi dari sebuah pasar ini dijaga dengan baik oleh pasar tradisional.

Di sini kita akan melihat bagaimana kepercayaan diri, kemampuan berlogika dan kesabaran dalam proses tawar-menawar. Ketiga, hanya pasar tradisional yang menjual produk lokal. Pasar modern umumnya menjual produk-produk yang dipasok dari luar daerah. Dan tentu saja sulit berharap menemukan sayuran daun marungga  (kelor), sirih pinang hingga ikan tembang (lemuru) di pasar modern.

Produk lokal, baik sayuran, ikan, bumbu dapur hingga obat tradisional dapat dengan mudah ditemui di pasar tradisional. Bahkan bahan untuk upacara adat seperti rangkaian buah pinang dan janur kuning pun bisa kita pesan atau peroleh di pasar tradisional. Keempat, pasar tradisional menyerap banyak tenaga kerja. Tidak bisa dipungkiri, ribuan orang menaruh hidupnya pada pasar tradisional.

Petani, nelayan, sopir, juru angkut, pedagang, juru parkir, hingga penjual tas plastik berada dalam lingkaran kehidupan pasar tradisional. Bila pasar tradisional bisa dioptimalkan oleh pemerintah daerah, maka dapat menurunkan angka pengangguran yang signifikan.

Tonggak Ekonomi Daerah Terakhir, pasar tradisional merupakan tonggak ekonomi suatu daerah. Posisi ini didapat karena pasar tradisional terdiri dari kelompok-kelompok usaha kecil yang bertahan menghadapi krisis ekonomi. Bahkan saat krisis 1998, pasar tradisional tetap bertahan di saat usaha ekonomi skala besar bertumbangan.

Kenaikan harga BBM bersubsidi pun nyaris tidak menggoyahkan keberadaan pasar-pasar tradisional. Bahkan pasar tradisional yang menjadi ujung tombak pengendalian inflasi daerah. Menimbang kelima hal di atas, dapat kita simpulkan bahwa pasar tradisional masih relevan untuk Kota Kupang —setidaknya untuk saat ini.

Akan tetapi posisi pasar tradisional harus dibenahi dan ditata, baik itu kondisi tempat penjualan, pengelolaan sampah, lahan parkir, dan pengendalian pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di luar pasar. Bagi pelaku pasar tradisional juga perlu didampingi untuk strategi perencanaan pemasaran, manajemen pengadaan barang yang akan dijual, kerjasama dengan pemasok besar dan kemampuan menyesuaikan diri dengan keinginan konsumen.

Peran pemerintah memegang posisi penting dalam hal ini, termasuk dalam mengatur regulasi pasar modern yang mengancam pasar tradisional. Pasar tradisional masih relevan di Kota Kupang, karena itulah pasar tradisional harus dibenahi menjadi lebih baik. Dengan begitu kita pun dapat melanjutkan “tradisi” berpesan pada anak kita agar membeli barang kebutuhan hidup pada penjual langganan keluarga di pasar tradisional.(Victory News, Nov 19, 2014)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support