Post views: counter

Senin, 05 Januari 2015

Menanti Revolusi Mental di NTT


TERPILIHNYA Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangkitkan ekspektasi yang tinggi bagi masyarakat. Masyarakat menemukan gairah baru dalam kehidupan berbangsa. Ekspektasi ini sudah terlihat sejak awal dengan gerakan sosial yang mewujud dalam relawan untuk Jokowi.

Kehadiran relawan tidak bisa dibaca hanya sebagai dukungan terhadap Jokowi tetapi lebih jauh sebenarnya adalah gambaran kerinduan Bangsa Indonesia akan demokrasi yang lebih baik. Kuatnya oligarki politik membuat demokrasi sebagai suatu prinsip yang seharusnya ada seolah-olah hilang dari negara ini.

Politik sebagai pertarungan gagasan yang terarah pada kesejahteraan bersama berhenti pada wilayah transaksional. Masyarakat tidak memperoleh hasil yang lebih baik. Dalam kondisi ini, Jokowi hadir sebagai sosok yang mampu menjawabi kerinduan itu. Jokowi diyakini mampu membawa demokrasi ke tangan rakyat dan membuat rakyat menjadi tuan atas demokrasi.

Sampai detik ini Jokowi masih menjaga ekspektasi tersebut. Meskipun kenaikan BBM cukup menurunkan popularitasnya, tetapi langkah taktisnya dengan mengalihkan dana subsidi BBM yang dikelola secara transparan dan tepat sasar, ditambah sikap tegas Jokowi dalam memberantas mafia migas membuat kepercayaan publik berangsur pulih. Inilah yang membuatnya berbeda.

Jokowi tidak membangun pola-pola pendekatan yang populis. Ia memilih untuk tidak banyak berpolemik, tidak banyak berwacana, melainkan kerja, kerja, dan tetap kerja. Kekuatan Jokowi tidak hanya terletak pada program-programnya yang sungguh berorientasi pada rakyat tetapi pada kepribadiannya yang sangat merakyat.

Jokowi menunjukkan bahwa pemerintahan yang merakyat harus dimulai dari pemimpin yang berkepribadian merakyat pula. Jokowi memulai revolusi mental dari dirinya sendiri. Jokowi memilih tiket kelas ekonomi dalam kunjungannya; tahu membedakan mana yang menjadi urusan negara dan mana yang menjadi urusan pribadi.

Jokowi berani memangkas dana untuk protokoler kepresidenan yang terkesan boros.  Kekuatan karakter inilah yang membuat Jokowi tidak terhanyut dalam pusaran politik yang melingkungi pemerintahannya. Prinsip Jokowi jelas bahwa pengabdiannya pada rakyat bukan didasarkan atas kepentingan apapun.

Visi yang Jokowi emban ternyata berdampak pada stabilitas partai politik. Politisi yang memiliki semangat pembaharuan akan mengikuti visi Jokowi tetapi politisi yang selama ini menjadikan politik sebagai arena penguatan kepentingan akan merasa terganggu.

Perpecahan yang berlangsung di PPP dan Golkar adalah contohnya. Revolusi mental sementara berlangsung, pencapaian Jokowi belum bisa diukur tetapi melihat langkah cepat tanggap Jokowi pasti akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Konteks NTT
Agenda revolusi mental tentu tidak hanya menjadi agenda Presiden, Wakil Presiden dan kementerian, tetapi sebuah program nasional yang mesti digalakkan. Di dalam sejarah, revolusi biasanya terjadi dari bawah, masyarakat yang mengalami penindasan dan ketidakdilan melakukan aksi protes yang berujung pada revolusi. Namun, jika revolusi ini berlangsung dari atas tentu bukan menjadi persoalan, bahkan dipastikan revolusi ini akan berlangsung lebih cepat, apalagi jika revolusi tersebut bertujuan mengangkat hidup masyarakat. Revolusi mental mengharuskan adanya terobosan budaya untuk membongkar sistem-sistem dan praksis kehidupan bersama yang jauh dari prosedur. Menurut Jokowi, nilai moral dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin menjadi faktor yang amat mendukung agar revolusi berlangsung dengan cepat. Jokowi menjabarkan ide revolusi ini dalam konsep Trisakti Soekarno yakni Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian dalam budaya.
Sejalan dengan gagasan Jokowi, revolusi mental selayaknya menjadi gagasan yang dilaksanakan di NTT. Kita tak dapat memungkiri bahwa NTT sementara mengalami krisis mental secara massif. Krisis ini terjadi dalam beragam dimensi kehidupan. Di bidang politik, kita menemukan bahwa gesekan menuju politik uang dan politik transaksional semakin tampak. Anggota DPR acapkali lebih memainkan sandiwara politik ketimbang politik yang mengedepankan kepentingan masyarakat. Di bidang pendidikan, catatan UN tahun ini membuka tabir yang selama ini tertutup rapat bahwasannya ada indiksasi para guru meluluskan anak dengan memberikan kunci jawaban. Kita tak bisa membayangkan bahwa lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi basis penginternalisasian nilai-nilai hidup justru menjadi tempat berkecambahnya kejahatan. NTT masih berhadapan dengan persoalan rendahnya mental berintelektual di kalangan generasi muda, minimnya penemuan-penemuan di lingkungan universitas, mentalitas cari gampang di dalam dunia pendidikan yang hadir dalam bentuk plagiarisme.
Di bidang ekonomi kita berhadapan dengan kemiskinan, dan sistem ekonomi yang membuat masyarakat tidak berkembang. Pada tataran birokrasi kita masih menemukan mentalitas koruptif yang merajalela. Kasus korupsi hampir terjadi di setiap elemen pemerintahan. Kecendrungan pembangunan yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat pun menjadi persoalan. Kuatnya rencana pembangunan kantor gubernur, misalnya, menjadi contoh mental pemerintahan yang tidak mengabdi pada masyarakat. Pemerintah perlu membangun birokrasi yang memudahkan akses layanan masyarakat, bukan sebaliknya mementingkan bangunan fisik. Pembangunan kantor baru yang menelan dana Rp 176 miliar tidak akan berarti apa-apa sebelum birokrasi kita membawa wajah baru ke publik. Persoalan kemanusiaan pun sementara melilit bumi Flobamora, kasus penjualan manusia yang semakin massif menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran moralitas dalam kehidupan bersama. Revolusi mental perlu secepatnya dilakukan di NTT guna meminimalisir krisis-krisis yang sementara berlangsung. Apatisme terhadap persoalan-persoalan ini hanya akan membuat NTT tidak pernah naik kelas.

Pemimpin: Ujung Tombak
Mengikuti Jokowi, revolusi mental di NTT akan berlangsung cepat jika pemimpinlah menjadi pionir perubahan. Pemimpin NTT dituntut untuk belajar dari Jokowi. Karakter kepemimpinan yang bebas dari segala kepentingan dan berorientasi pada rakyat adalah  syarat utama bagi dimulainya revolusi mental. Manifestasi karakter kerakyatan itu hadir dalam kesadaran yang tinggi dalam bidang hukum, komitmen pada persoalan masyarakat, berani membuka diri terhadap kritik dan mampu bekerjasama dengan pihak lain. Ia juga dituntut untuk berani merombak cara kerja birokrasi yang lamban, berani membuat terobosan-terobosan baru dalam bidang pelayanan publik.
Persoalan pendidikan, politik, ekonomi, human trafficking bahkan moralitas akan terminimalisir manakala para pemimpin menjadi pionir untuk mengatasinya. Langkah-langkah revolusioner yang diambil pemimpin akan sangat menggugah dan berdampak cepat bagi perubahan dalam masyarakat. Perayaan HUT ke-56 NTT menjadi kesempatan yang baik bagi para pemimpin di bumi Flobamora untuk berefleksi dan mulai membangun cara kerja baru; yang lebih cepat, tanggap dan peduli pada kepentingan masyarakat. Masyarakat menanti revolusi mental di NTT.
(Victory News, Dec 20, 2014)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support