Post views: counter

Senin, 05 Januari 2015

Et Tu, Rudy?


ADALAH hal menarik takala ediatorial Victory News edisi 6 Desember 2014 menulis judul “Mengulik Manajemen Mafia”. Bahwa, mafia di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) begitu rapi. Hal ini terkait dengan penangkapan anggota Satgas Anti-Human Trafficking Brigpol Rudy Soik yang dituduh terlibat praktik human trafficking an sich.

Pertanyaan publik kepada Rudy Soik adalah “Et tu, Rudy?” (Engkaukah juga, Rudy?). Apakah Rudy berkhianat kepada negara dan korban human trafficking? De facto Rudy telah dituduh sebagai “brutus” yang berkhianat terhadap “kaisar” yang harus dibelanya. Sangkaan ini tentu mengernyitkan logika publik.

Sebab, Rudy dikenal sebagai “pangeran” yang berjuang melawan penjahat human trafficking. Maka, penangkapan Rudy adalah preseden buruk bagi pemberantasan human traficking di NTT. Padrino
Kejahatan human trafficking adalah kanker sosio-ekonomi dalam nafas peradaban NTT.

Realitas nasib tak tentu pada sebagian masyarakat NTT dijadikan peluang kejahatan ini. Kegamangan sosial dan himpitan ekonomi membuat mereka mudah diperdaya. Mimpi akan hidup layak dan sejahtera membuat mereka “rela” menggadaikan hidup. Celakanya, mimpi itu harus bertemu pragmatisme “bisnis” diabolik human trafficking.

Pragmatisme “bisnis” diabolik human trafficking telah mereduksi manusia menjadi objek atau komoditas. Komodifikasi manusia ini adalah penyangkalan terdahap prinsip hidup bersama. Manusia adalah mahluk mulia dan berakal budi. Objektivasi manusia adalah perangkap adorasi ekonomi neoliberal dengan spirit kapitalisme.

Sikap fetisistik terhadap profit maksimal membuat homo economicus mereduksi apa saja sebagai komoditas, termasuk manusia. Celakanya, negara yang selalu diharapkan absen dalam persoalan ini.
Pada konteks lokal NTT dimana rating human trafficking begitu tinggi, negara justru menjadi penjamin (guarantor) praktik kejahatan itu.

Polda NTT adalah state apparatus (alat negara) yang paling dekat dengan itu. Keterlibatan perwira-perwira polisi dalam human trafficking adalah bukti hadirnya guarantor itu.  Prinsip “do ut des” (memberi untuk menerima) adalah cara kerja ekonomi politik mafia. Bahwa, para perwira akan menerima upeti besar atas perlindungan yang diberikan kepada “sang Don” (mafia capo) dan jejaring mafianya. Boleh jadi, supremasi “sang Don” juga berpengaruh pada posisi jabatan para perwira tersebut.

Di sini, persahabatan “sang Don” dan para perwira menjadi semakin kental. Persahabatan ini adalah langgam politik keluarga mafia untuk saling melindungi. “Friendship is more than talent. It is more than government. It is almost the equal of family,” kata Don Corleone dalam novel Mario Puzo berjudul “The Godfather”.

Adam Bellow (2003) dalam bukunya “In Praise of Nepotism” mengurai bahwa padrino atau dikenal dengan godftaher bukanlah sebuah kesombongan metaforis, melainkan akurasi deskrisi atas sebuah peran sosial (social role). Dalam perkembangannya, padrino seringkali meski samar menjadi peran yang dilekatkan pada variasi praktik kompleks jaringan sosial (complex social network).

Jika kita dekatkan dengan mafia human trafficking di NTT, padrino adalah dalang dari setiap variasi praktik kompleks jaringan socio-economico-politic. Padrino adalah toxic master (tuan beracun) yang sedang merayakan kejahatan kemanusian sembari mengambil keuntungan darinya. Boleh jadi, supremasinya menggenggam nadi sosial, politik dan ekonomi di NTT. Karenanya, selain para perwira polisi, (kemungkinan) ada figur-figur hegemonik lain yang terlibat di dalamnya.

Untuk melindungi padrino, “sang Don” dan jejaring mafianya, dibutuhkan kambing hitam sebagai korban. Dalam aras pemikiran filsuf Rene Girard (1965), korban digunakan sebagai penyaluran atas kekerasan. Kekerasan terjadi boleh jadi karena topeng penutup rahasia nyaris terbuka. Maka, Rudy Soik adalah kambing hitam dalam persahabatan rahasia antara padrino, perwira polisi dan figur-figur hegemonik lain dalam ritus mafia human trafficking NTT.

Lantas bagaimana dengan manusia NTT yang menjadi komoditas dalam human trafficking? Homo Sacer Yang tersisa setelah penangkapan Rudy adalah sejarah panjang human trafficking. Pemerintah NTT hanya berkoar-koar soal political will pemberantasan human trafficking.

Sementara political action-nya sangat lamban, atau jangan-jangan menjadi bagian dan mendapat “gratifikasi” dari padrino human trafficking. Pada konteks economico-politic, pemerintah daerah di NTT telah menjadi bagian (by ommision) karena belum berhasil mewujudkan keadilan ekonomi dan kesejahteraan yang merata.

Orientasi politik para pemimpin di NTT masih berhala kepada kekuasaan. Gubernur dan para bupati/wali kota lebih sibuk membicarakan dan mengurus parpol, pemekaran provinsi, dan kabupaten. Demokrasi politik lokal hanya dirayakan untuk pelanggengan kekuasaan dan ekstensifikasi korupsi, bukan selebrasi pemerataan kesejahteraan rakyat.

Demokrasi pun lebih kental dengan pertikaian regimentasi elite-elite politik, ketimbang narasi sukses kebijakan publik. Pada konteks socio-politic, pemerintah NTT telah tidak berhasil melindungi hak-hak rakyatnya. Hak untuk hidup sebagai warga negara menjadi begitu mahal di NTT. Setelah cerita kemiskinan menjadi momok, “jaminan” sosial pun kian buruk.

Buruknya pelayanan kesehatan, pendidikan dan aksi premanisme adalah preseden gagalnya peran negara di NTT. Siklus penderitaan masyarakat seakan tidak pernah berubah seiring pergantian elite-elite penguasa lokal.  Atas ketidakperhatian pemerintah dan krisis kepemimpinan politik itulah sebagian rakyat NTT terpaksa terjun bebas ke dalam lembah human trafficking.

Korban human trafficking adalah korban absennya negara mengontrol ritus ekonomi kapitalisme berwajah manusia (capitalisme with human face) yang mengkomodifikasi manusia an sich. Di sini,  manusia menjadi sekarat. Filsuf Agamben menyebutnya sebagai homo sacer, yakni manusia yang tereksklusi dari kebijakan sosial, ekonomi dan politik.

Homo sacer adalah manusia yang sengaja dipinggirkan dari orde masyarakat dan dapat “bunuh” kapan saja dengan impunitas. Korban human trafficking adalah homo sacer. Mereka tidak mendapatkan perlindungan maksimal dari pemerintah dan dapat dijual kapan saja. Kalau mental pemerintah NTT tidak berubah, maka homo sacer di NTT masih akan terus bertambah.

Governmentalitas (governmentality) para pemimpin di NTT harus memiliki spirit revolusioner. Sprit ini dapat dielaborasi dengan skema “trisakti” Kantian (bdk. Slavoj Zizek, 2009), yakni signum rememorativum, demonstraticum dan prognosticum: masyarakat NTT memerlukan tanda bahwa pemerintah telah mengkaji sejarah panjang human trafficking dan setiap perjuangan melawannya; kebijakan politis-progresif dan tindakan riil yang menunjukkan semangat perubahan hic et nunc; dan harapan akan terhapusnya praktik human trafficking di NTT.

Selanjutnya, Rudy Soik harus diselamatkan. Sebab, informasi dan data padrino dan jejaring mafia human trafficking ada pada Rudy. Ia ditangkap karena para perwira kepolisian di NTT terlibat dalam mafia human trafficking. Negasi atas tesis ini adalah penghinaan kecerdasan publik (insulting public intelligent). Jika Rudy tidak dibebaskan, publik justru akan bertanya, “Et tu, kepolisian NTT?”
(Victory News,Dec 11, 2014)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support