Post views: counter

Rabu, 07 Januari 2015

Wakil Rakyat= Vampire Hunter


Oleh Igo Halimaking

Salah satu agenda DPRD Kota Kupang yang saat ini cukup mendesak diawal masa baktinya, yakni membahas Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD. Kegiatan tersebut rupanya mendapat perhatian dari kalangan masyarakat, bahkan masyarakatpun ikut mengritisi dalam proses pembahasan Tata Tertib DPRD tersebut. Pembahasan Tata Tertib DPRD dinilai masyarakat luas hanya kegiatan pemborosan dan membuang–buang anggaran saja. Lebih-lebih pembahasan Keputusan DPRD itu, dibarengi kunjungan kerja keluar daerah dimana para anggota DPRD Kota Kupang sebayak 37 minus 3 orang dari fraksi PKB mengikuti kunjungan kerja kunker ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Dirjen Bina Marga Kementerian Pekerja Umum di Jakarta dari tanggal 7-10 Oktober 2014 yang menyedot anggaran sekitar Rp 750 juta.
Seandainya saja semua anggota DPRD terhormat kalau bisa memahami bahwa pembahasan Keputusan DPRD tersebut, semestinya akan lebih efektif dan efisien, apabila pembahasannya dilaksanakan setelah terbitnya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD. Sebab, apabila Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD terbit, maka Keputusan DPRD itu harus dirubah lagi. Hal itu untuk menyelaraskan dan menyesuaikan dengan dasar pertimbangan yuridisnya maupun muatan materinya.
Sambil menunggu terbitnya peraturan pemerintah, maka tatib lama masih bisa digunakan dan apabila ada pasal yang tidak sesuai dengan UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3, maka rujukannya adalah pasal yang tertuang di dalam UU–MD3 sehingga apa pembahasan Tatib DPRD Kota Kupang tentang Tata tertib DPRD yang dilanjutkan dengan kunker terkesan hanya buang-buang waktu, tenaga dan anggaran atau justru merupakan ‘pemborosan’ saja.
Pertanyaan, "apa manfaat kunker?" apakah selama selama dalam pembahasan tatib antara pemerintah bersama DPRD dan terjadi deadlock atau jalan buntu sehingga harus dikonsultasikan dengan lembaga yang lebih tinggi. tidak relevan lagi jika dikaitkan dengan posisi dan fungsi pejabat publik. Kunker ini adalah jalan-jalan yang membikin pelakunya senang. Paling-paling manfaatnya: segar kembali saat menjalani tugas. Namun bak anjing menggonggong kafilah berlalu. Begitulah seolah sikap DPRD atas kritik terhadap Kunker ini. Kunker yang seringkali penuh kekonyolan itu tetap dilakukan meski mendapat protes berbagai kalangan. Mengapa? Tak lama lagi istilah Kunker maupun kedepannya akan ada istilah studi banding akan berubah makna. Dari sebuah konsep belajar di lokasi dan lingkungan berbeda, menjadi jalan-jalan ke lokasi atau lingkungan lain. Perubahan makna ini sebagai konsekuensi atas terus berlangsungya kegiatan kunker maupun studi banding yang dilakukan DPR/DPRD.
Sudah jelas, tidak ada yang dipelajari dari kegiatan tersebut. Tetapi mereka selalu ngotot, bahwa mereka belajar banyak. Namun ketika ditanya apa yang mereka pelajari, mereka tidak bisa menunjukkan. Yang terlihat adalah aktivitas jalan-jalan dan belanja-belanja.
Apa boleh buat, daripada terus beradu argumen dan beradu bukti dengan anggota DPR/DPRD, lebih baik yang waras mengalah. Kunker maupun studi banding berubah arti saja menjadi jalan-jalan, atau dimaknai secara khusus kegiatan jalan-jalan pejabat ke luar negeri atau ke luar daerah.
Mengapa pejabat? Mengapa bukan anggota DPR saja? Ya, kenyataannya kalau ditelisik lebih lanjut para pejabat eksekutif juga suka melakukan kegiatan jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding. Tidak percaya? Lacak saja laporan keuangan departemen atau instansi pemerintah ke BPK.
Apakah pejabat daerah, anggota DPRD dan pejabat pemerintah daerah, juga melakukan? Sama saja, dan mungkin lebih parah. Hanya karena lepas dari kontrol masyarakat dan media saja, kegiatan jalan-jalan mereka tidak ketahuan. Jika di DPR setiap RUU harus distudibandingkan, demikian juga dengan setiap Raperda.
Tentu saja, DPRD studi bandingnya tidak ke luar negeri, melainkan ke daerah lain. Dalam hal ini daerah di sekitar Jakarta, Yogyakarta dan Bali, jadi sasaran daerah di Luar Jawa. Sedang daerah di sekitar Batam, Palembang, dan Manado, jadi sasaran DPRD Jawa.
Oleh karena itu, rasanya “tidak adil” bila para aktivis LSM, akademisi dan media hanya menyorot habis kegiatan studi banding DPR. Mestinya mereka juga memantau kegiatan serupa dari pejabat eksekutif, anggota DPRD dan pejabat pemerintah daerah. Dengan demikian perubahan makna studi banding menjadi sekadar jalan-jalan itu bisa langsung diterima di seluruh penjuruh tanah air.
Pertanyaan, "apa manfaat kunker/studi banding?", tidak relevan lagi jika dikaitkan dengan posisi dan fungsi pejabat publik. Kunker/studi banding adalah jalan-jalan yang membikin pelakunya senang. Paling-paling manfaatnya: segar kembali saat menjalani tugas.
Pertanyaannya mungkin harus ditarik lebih ke belakang: mengapa DPR/DPRD diisi oleh orang-orang yang sampai tega hati mengubah makna studi banding menjadi jalan-jalan? Mengapa anggota DPR/DPRD yang diharapkan dapat mengontrol pejabat eksekutif, justru ikut-ikutan melakukan kegiatan yang mestinya mereka cegah?
Sejak Pemilu 2009 lalu hingga pemilu 2014, wajah-wajah yang menduduki kursi di DPR/DPRD sebenarnya rata-rata diisi oleh wajah baru. Bahkan, tingkat pendidikan yang menjadi latar belakang wakil rakyat itu rata-rata berada di level strata satu. Sayangnya, tingkat pendidikan tidak berbanding lurus dengan kerja-kerja yang dihasilkan di gedung DPR/DPRD.
Ini memang memprihatinkan, kualitas DPR/DPRD  kita sangat jauh merosot pada titik terendah di sejarah Indonesia. Dulu dikenal idiom tentang politik yaitu berpolitik untuk hidup. Sayang hal tersebut tidak tercermin dari para anggota dewan sekarang. Tagline "Hidup dari politik" seakan telah menjadi penyakit yang tertanam di kepala wakil rakyat sekarang. Proses berpikir yang ingin mendapatkan materi secara cepat telah menjangkiti seluruh wakil rakyat.
Ada beberapa hal mendorong hal tersebut. Pertama, pada politik yang mahal modal. Wakil rakyat yang duduk di DPR/DPRD harus segera mencari sumber pendapatan lain untuk mengembalikan uang-uang yang dipergunakan saat Pemilu 2014 lalu.
Kedua, praktek untuk mendapatkan modal tambahan yang juga didukung oleh sistem politik anggaran yang berasal dari Kementerian Keuangan. Pada kunjungan kerja keluar negeri dan daerah, Kementerian Keuangan memberikan porsi yang cukup besar untuk pengalokasian dana. Akhirnya Tanpa malu-malu, wakil rakyat memanfaatkan kesempatan tersebut dan memperoleh dana yang besar dari kunjungan per hari yang dilakukannya, terlebih pada kunjungan ke luar negeri/daerah.
Inilah kesalahan negara yang terlalu royal memberikan uang kepada anggota DPR/DPRD. Ketika dilakukan penyusunan anggaran, anggota DPR/DPRD secara berjamaah mengalokasikan dana untuk melakukan kunjungan kerja ke luar negeri, dengan hasil yang didapatkan bisa dikatakan nol besar. Selama tidak ada kebijakan yang jelas soal politik anggaran, yang ada hanya kunjungan kerja yang bersifat foya-foya. Selama masih bersifa kolektif kunjungan kerja, dengan berangkat dalam jumlah yang banyak maka kunjungan kerja.
Mereka lupa pada esensi demokrasi yang menempatkan rakyat muara pengabdian politik. Wakil rakyat hanya berpikir dengan logika 'jual-beli'. Semua tindakan politik dilakukan transaksional, rugi dan untung berapa. Itu karena mungkin mereka terjebak dalam pemahaman, di mana aktivitas politik di hadapan rakyat merupakan momentum mengubah status hidup secara ekonomi. Mereka tak peduli pada rakyat di saat rakyat dibelit persoalan serius. Bahkan menjauh dari rakyat, pemberi mandat.
Inillah gambaran wakil rakyat kita. Mereka seperti berpura-pura mengidap amnesia, penyakit kehilangan daya ingat. Bahkan terkesan sepihak memutuskan kontrak politik dengan rakyat selaku mitra kesayangannya yang dibuat saat masa “bulan madu” kampanye legislatif.
Ini memilukan, memalukan, konyol, sontoloyo, dan kurang beres karena mengingkari dan mengangkangi partai politik yang merupakan alat perjuangan politik. Mereka tak ubahnya binatang buas yang masuk low politics. Janji-janji manis kepada rakyat untuk kerap menyambangi warga kampung/desa untuk menyerap aspirasi hanya utopis.
Para wakil rakyat benar-benar lupa. Pertemuan dengan rakyat berakhir di saat pengumunan siapa caleg terpilih. Mereka tak ubahnya binatang buas yang masuk low politics. Janji-janji manis kepada rakyat untuk kerap menyambangi warga kampung/desa untuk menyerap aspirasi hanya utopis.
Laku para wakil rakyat ini tak ubahnya seperti vampir, pengisap darah sebagaimana dilukiskan sutradara film Abraham Lincoln: Vampire Hunter. Pengisap darah mirip cerita penguasa yang merampas hak-hak mendasar warga negaranya. Berjubah wakil rakyat, tetapi bersekongkol merampok anggaran negara dan menjual kewenangan yang dimilikinya.
Akhirnya semoga spirit penolakan keberangkatan oleh tiga anggota Fraksi PKB itu menjadi sinar penerang bagi anggota DPRD yang lain untuk berubah. Bukan saatnya lagi berbaju kebesaran Dewan namun tidak merasa senasib dan mewakili keadaan rakyat.

(sumber; www.timorexpress.com/Kamis, 16 Oktober 2014)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support