Post views: counter

Senin, 05 Januari 2015

Kesehatan yang sedang Sakit (Refleksi atas Perayaan HKN)


SETIAP tanggal 12 November bangsa ini merayakan Hari Kesehatan Nasional (HKN). Di beberapa kabupaten di NTT, korps baju putih mengisinya dengan berbagai kegiatan. Pertandingan, perlombaan, kegiatan sosial hingga diskusi ilmiah. Meriah memang. HKN menjadi momen penting untuk mengingatkan kita semua akan arti penting kesehatan. Sebab, dalam banyak data, kesehatan sungguh terlampau mahal untuk kita di Indonesia, dan terutama di NTT.

Sebagai gambaran, kematian bayi, ibu hamil, dan anak balita hingga saat ini menjadi sorotan banyak pihak. Kinerja pelayanan medis terus digugat sampai sekarang. Layanan publik yang diberikan oleh lembaga kesehatan semisal rumah sakit, puskesmas atau poskesdes belum menunjukkan tanda-tanda membaik.

Kesehatan akhirnya masuk ke ruang gelap peradaban. Kesehatan yang menjadi kebutuhan seakan jatuh ke dalam kubangan kesakitan berkepanjangan. Inilah mengapa saya memilih judul tulisan seperti di atas. Tulisan ini bertujuan untuk menggugah kesadaran semua pihak; tim medis yang bekerja mengurus kesehatan, pemerintah, swasta dan masyarakat untuk kembali ke habitus sehat.

Sebab, dalam banyak hal, bangsa ini seakan sakit yang terus menggejala dalam banyak aspek. Tulisan ini bisa dianggap sebagai otokritik sekaligus ajakan moral, dan sosial. Saya tidak mengatakan bahwa kami, tim medis, selalu benar dan sungguh benar dalam menjalankan tugas keprofesian kami. Dalam beberapa kasus, harus diakui bahwa kapasitas dan profesionalitas tenaga medis memang laik dan harus digugat.

Meskipun demikian, hemat saya, kesehatan merupakan fungsi dari bekerjanya banyak aspek mulai dari individu, sosial, fisik, medik, kebijakan, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, menumpahkan semua kesalahan hanya kepada masyarakat atau tim medis merupakan pemikiran yang kurang bijak. Demikian pun, mengalamatkan keburukan layanan kesehatan hanya kepada lembaga-lembaga kesehatan menjadi naïf rasanya.

Banyak Aspek Diskusi mengenai kesehatan mau tidak mau harus melibatkan banyak aspek. Sebab, kesehatan merupakan fungsi dari bekerjanya banyak aspek. Dengan demikian, sehat atau sakitnya seseorang tergantung dari banyak hal. Maka, mencari sebab tunggal atas menurunnya kualitas kesehatan di Indonesia, dan terutama di NTT, menjadi sia-sia. Dalam refleksi ini, saya coba mendiskusikan dimensi promosi kesehatan.

Hemat saya, promosi kesehatan penting didiskusikan karena terkait strategi manusia sebagai individu maupun sosial dan juga kelembagaan dalam menumbuhkembangkan kebiasaan baik (habitus) dan praktik-praktik baik (best practices) dalam bidang kesehatan. Itu berarti, kesehatan merupakan urusan bersama.

Dalam konteks itu, manusia sebagai individu, sebagai mahluk sosial dan juga berbagai lembaga terkait mesti secara simultan bekerja sama membangun dua hal penting di atas; kebiasaan sehat dan praktik baik dalam bidang kesehatan. Dalam praktiknya, dua hal tersebut harus didukung oleh kebiasaan dan praktik baik. Di situlah kesehatan penting dipromosikan.

Berkaitan dengan promosi kesehatan, Profesor Notoadmodjo mengatakan bahwa dimensi promosi kesehatan (Promkes) berhubungan dengan dua hal utama yakni pelayanan kesehatan dan dimensi tatanan (setting) atau tempat pelaksanaan Promkes. Aspek pelayanan kesehatan melibatkan banyak unsur dan harus menyertakan banyak dimensi turunan. Dalam aspek pelayanan kesehatan, tim medis dan lembaga kesehatan menjadi bagian penting untuk dilihat di sini.

Fakta menunjukkan banyaknya keluhan masyarakat terkait dengan kinerja dua lembaga ini. Harus diakui bahwa keluhan masyarakat wajar adanya. Meskipun demikian, saya harus pula berdiri tegak untuk membela teman-teman seprofesi. Tim medis tidak sedang mencuci tangan bak Pilatus sembari mengatakan bahwa tim medis bebas dari kesalahan dan kekeliruan. Tenaga medis bisa saja keliru. Sangat manusiawi.

Meskipun begitu, jika ada perilaku, sifat atau watak yang demikian, mungkin harus dilihat sebagai perilaku atau sifat individu. Sebab, sebagai lembaga, tim medis tidak pernah menginginkan sakit yang berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan.  Demikian pun terkait dengan kualitas layanan publik di lembaga kesehatan.

Rumah sakit, puskesmas atau poskesdes tidak bekerja di ruang kosong. Banyak kepentingan di sana. Maka, kalau kualitas layanan publik di beberapa lembaga kesehatan itu buruk, semua pihak harus objektif menilai setiap fakta buruk layanan publik itu. Obyektif berarti menilai keburukan layanan dengan banyak pertimbangan dan kasus per kasus.

Dalam beberapa aspek, layanan kesehatan justru telah menunjukkan kemajuan meskipun belum sempurna. Dengan demikian, penilaian  yang terlalu tendensius dan ‘pukul rata’ hanya karena satu kasus menjadi miring atau tidak obyektif lagi.
Layanan kesehatan harus pula menjadi tanggung jawab individu dan sosial. Di aspek itulah letak kebiasaan dan praktik baik laik didiskusikan.

Kebiasaan sehat harus dimulai dari individu dan keluarga. Keluarga menjadi dasar menumbuhkan kebiasaan sehat. Keluarga harus terus menerus memikirkan kesehatan. Realitas menunjukkan bahwa masyarakat kita lebih sibuk mencari uang untuk tujuan konsumtif ketimbang memilih menumbuhkan kebiasaan (habitus) sehat. Masyarakat lebih gemar mengkonsumsi makanan cepat saji daripada membiasakan anak-anak mengkonsumsi makanan lokal yang kaya protein.

Berhubungan dengan aspek tatanan (setting) atau tempat pelaksanaan Promkes, pemerintah harus dilibatkan di sini. Kebijakan kesehatan harus pula dilihat dan dianalisis. Di sini, kebijakan kesehatan berhubungan dengan otoritas penentu kebijakan itu. Inkonsistensi penerapan kebijakan kesehatan jelas berdampak pada macetnya layanan kesehatan.

Sebagai gambaran, promosi untuk  melakukan pelayanan kesehatan di sarana kesehatan adalah baik adanya. Meskipun demikian, jika kebijakan itu tidak ditopang oleh kebijakan anggaran penyediaan alat-alat kesehatan di fasilitas kesehatan, maka kebijakan seperti itu akan mendapatkan cemoohan. Aspek kebijakan harus pula melihat infrastruktur kesehatan.

Harus diakui bahwa infrastruktur kesehatan telah mulai perlahan-lahan dikembangkan dan tersebar di hampir semua wilayah terpencil di seluruh daerah. Meskipun demikian, sebagai petugas kesehatan di tingkat dasar, saya harus jujur mengatakan bahwa infrastruktur kesehatan masih kekurangan alat-alat kesehatan.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dibuat semacam kesimpulan bahwa derajat kesehatan harus melibatkan banyak pihak untuk mencapai kualitas kesehatan yang baik. Itu berarti dibutuhkan langkah vertikal (dari atas ke bawah atau sebaliknya) dan langkah horizontal. Langkah vertikal menjadi tanggung jawab pengambil kebijakan di bidang politik dan kesehatan (pemerintah), sementara langkah horizontal menjadi tanggung jawab bersama masyarakat sebagai individu dan sosial, petugas kesehatan dan lembaga-lembaga kesehatan di tingkat bawah.

Hanya dengan dukungan individu dan kerja kolektif seperti itulah maka derajat kesehatan kita perlahan meningkat. Semua pihak harus melepaskan ego diri dan kelompok, baik dalam kategori individu apalagi gap instansional, dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan kita. Salam Sehat dan Selamat Hari Kesehatan Nasional!
(Victory News, Nov 13, 2014)
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Flag Counter

Featured Post 3

Arsip Blog

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support