Oleh Linus Lusi
Sekretaris Tim Pengembang Kurikulum Propinsi NTT,
Ketua MK2S/ FIGUR SD Kota Kupang
Namun setahun berjalan, muara sekolah negeri berlabel rintisan internasional serba bingung dalam pengembangan kurikulum. Memulai dari mana dan berakhir di mana? Atas undangan Direktur Drs. Jhon Manullangga, M.Ed, dan Ketua Yayasan Servas Marryo Patty, diskusi kurikulum SBI bersama para guru semakin mengerucut pada tataran praktis yang dilakukan oleh para guru. Tulisan ini diangkat sebagai sharing bagi sekolah penyelenggara rintisan internasional.
Tetap Standar Pendidikan Nasional
Secara konsep penetapan sekolah bertaraf internasional (SBI) apabila telah memenuhi delapan standar nasional pendidikan plus. Di antaranya: standar isi, kompetensi lulusan, proses, penilaian pendidikan, pendidikan dan tenaga kependidikan, pembiayaan, pengelolahan dan sarana prasarana. Selain itu berkiblat pada standar pendidikan salah satu negara dari 30 anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) atau negara maju lainnya yang memiliki keunggulan di bidang pendidikan.
Ketiga puluh anggota OECD: Australia, Austria, Belgia, Canada, Czech Republic, Denmark, Finlandia, Peranci, Jerman, Yunani, Hungaria, Island, Irlandia, Italia, Jepang, Korea, Luxemburg, Meksiko, Belanda, New Zealand, Norway, Polandia, Portugal, Slovakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris, Amerika Serikat. OECD sebagai wadah organisasi yang berdiri sejak 14 Desember 1960 berpusat di Paris, Perancis bertugas membantu pemerintahan negara-negara anggotanya menghadapi tantangan globalisasi ekonomi.
Dalam aspek penjaminan mutu, selain memenuhi standar nasional pendidikan sekolah bertarat internasional pun berakreditasi minimal A dari Badan Akreditasi Nasional-Sekolah dan Madrasah (BAN-S/M), juga diakreditasi oleh salah satu negara OECD (Depdiknas:2007). Bila merunut pada negara anggota OECD yang secara ekonomi dan kemajuan pendidikan relatif maju, maka sekolah rintisan bertaraf internasional perlu menjemput bola dengan penguatan standar pendidikan. Kata kuncinya sekolah tersebut perlu menerapkan standar lebih di atas rata-rata standar minimal pendidikan nasional.
Sejumlah persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh Depdiknas adalah aspek pembelajaran perlu memperkaya model proses dari negara-negara maju dan OECD, menerapkan pembelajaran berbasis TIK, menggunakan bahasa Inggris pada mata pelajaran kelompok sains, matematika dan inti kejuruan.
Bagi tenaga pendidikan khusus SD, SMP dan SMA masing-masing minimal 10 %, 20% , 30% guru berpendidikan S2/S3 dari perguruan tinggi yang program studinya berakreditasi A. Juga berbahasa Inggris secara aktif. Melihat persyaratan yang demikian ketat, sebagian sekolah hampir memenuhinya. kendatipun masih plus minus yang dapat diatasi secara berkesinambungan.
Gaung kurikulum sekolah bertaraf internasional dalam tahap implementasinya terpasung dan cenderung bias dalam otonomi daerah. Pembiasan ini tersandung pada kegagalan suport sistem di dinas teknis dalam mendukung mendesain kurikulum nasional plus dan mekanisme perekutan para siswa serta tenaga kependidikan lainnya.
Di sisi lain terperangkap dalam pilihan model penyelenggaraan. Apakah model terpadu, terpisah-satu sistem, model terpisah beda sistem dan model entry-exit. Dalam kondisi yang demikian, para kepala sekolah berkreasi yang melewati ambang batas maksimal, sering diperhadapkan pada keputusan dilematis yang menyerempet bahaya kebijakan. Fakta yang terekam lewat media massa sebagai contoh potret buramnya desain pengembangan sekolah bertaraf internasional.
Berciri Standar isi
Pada umumnya model kurikulum Cambridge, IBO, Highscope,Victoriam Curriculum, Highscope, Montessori dan masih banyak lainnya diadaptasi oleh berbagai sekolah internasional. Adaptasi maupun adopsi atas seizin pemilik kurikulum sebagai terobosan penting karena tuntutan globalisasi.
Hal yang demikian mengharuskan sekolah berlomba menyiapkan siswanya mampu bersaing secara global. Keuntungannya, para siswa dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri. Juga dapat mengikuti sertifikasi bertaraf internasional yang diselenggarakan oleh salah satu negara OECD atau negara maju lainnya yang memiliki keunggulan di bidang pendidikan (Balitbang Depdiknas:2007).
Dalam mendesain kurikulum, aspek yang tetap menjadi perhatian adalah filosofi, struktur, kontent, pendekatan pengembangan kurikulum psikologi sebagai landasan pengembangan kurikulum. Dalam filosofi terdapat argumen filsafat apa yang cocok dikembangkan. Karena dalam filsafat pendidikan kegunaan untuk menentukan arah ke mana anak-anak dibimbing, menentukan cara dan proses yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan, memberikan kebulatan kepada usaha pendidikan sehingga tidak terpisah (Kopong:2009).
Prinsip dasar filsafat yang dianut oleh sekolah bertaraf internasional adalah progresivisme-eksistensialis. Dengan acuan tersebut, sekolah menginginkan perubahan, ilmu dipelajari untuk memecahkan masalah kehidupan, memberikan kebebasan pada siswa apa yang dipelajari sesuai minat dan kesanggupannya dan ingin mengubah kenyataan dalam masyarakat. Bila dipadukan dengan filsafat konstruktivisme, maka akan semakin menggali berbagai potensi siswa yang terpendam.
Pada hakekatnya sesuai filosofi tersebut, belajar adalah gagasan untuk memproduksi pengetahuan, bukan sekadar mengonsumsi pengetahuan pada tataran pembelajaran berciri tradisional versus progresif. Dalam kurikulum berciri standar isi, sekolah pada umumnya menekankan kemampuan berpikir rasional. Kesulitannya ketika tahap impelementasi. Antara teori dan praktek terjadi gap. Struktur kurikulum internasional dalam kajian Nugroho (2008) sangat simple dan ramping. Muatan isi sangat sederhana yang esensial, meliputi: bahasa, studi ilmu sosial, matematika, seni, sains dan teknologi. Sedangkan pendekatan pengembangan dengan model integrated kurikulum.
Dilihat dari pemetaan tersebut dan ditarik masuk dalam kurikulum nasional plus, maka sekolah perlu mendesain dengan beberapa pilihan. Pertama, menganalisis semua standar isi mata pelajaran yang esensial. Dalam hal ini sekolah bisa menambahkan kompetensi dasar dan indikator yang diperkaya dengan kurikulum negara maju, Singapura, Australia. Kenapa dikembangkan? Karena siswa yang masuk ke kelas tersebut relatif memiliki kemampuan akademik lumayan baik yang dapat menyerap kompetensi dasar tersebut.
Kedua, pengembangan pembelajaran dengan metode dan strategi dengan mengadaptasi kurikulum internasional seperti IB atau Cambridge.
Ketiga, modifikasi berbagai sumber kurikulum, namun acuan tetap standar nasional pendidikan. Sumber kurikulum mengacu pada 30 negara anggota OECD dan kurikulum IBO, Cambridge, Highscope dan masih banyak. Hal ini sejalan dengan model kurikulum rancangan PUSKUR, yakni acuan SNP diperkaya dengan negara maju. Diharapkan lulusan mempunyai sertifikat sehingga dapat diterima langsung pada perguruan tinggi yang mengakui sertifikat negara maju dan lulusan dimungkinkan memperoleh sertifikat nasional.
Selain itu dalam tataran praktis, perangkat pembelajaran dibuat sangat sederhana. Hal ini memudahkan para guru mendesainnya, yakni hanya 3 (tiga) kolom berupa SK dan KD, proses pembelajaran dan kultur sekolah. Dalam proses pembelajaran terimplisit komponen-komponen rencana pelaksanaan pembelajaran. Desain yang sangat ramping penekanannya pada inti pembelajaran. Kekuatan pembelajaran terletak pada kemampuan guru sebagai fasilitator yang aktif dan peka terhadap kebutuhan siswa. Kultur sekolah mutlak dituangkan untuk melatih pembiasaan siswa dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap SK-KD setiap mata pelajaran. Kini saatnya penerapan kurikulum SBI dan desainnya mutlak dilaksanakan dan dievaluasi.
Sumber; Pos Kupang/Kamis, 20 Agustus 2009
0 komentar:
Posting Komentar